Seni dan strategi beruang merah (1)

Oleh. M. Arief Pranoto (Seni dan strategi beruang merah di Timur Tengah)

Setelah Uni Soviet pecah dekade 1992-an dahulu, kebijakan Rusia di Dunia Arab dan sekitarnya cenderung non ideologis. Ini sungguh berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Mungkin juga menimbang kerasnya persaingan antar negara di internal Jazirah Arab akibat methode “belah bambu” yang dijalankan oleh Barat (baca: Pecah Belah Islam ala Rand Corporation, Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, www.theglobal-review.com).

Ada kesepakatan berjalan baik di bidang militer, diplomatik maupun energi antara Rusia, Arab dan Israel tanpa ia memihak salah satu di antaranya. Akan tetapi justru kedekatan dengan Hamas dan Iran malah dianggap berpotensi merusak harmonisasi yang telah terjalin. Benar atau tidaknya, ini masih menjadi pertanyaan besar. Namun tampak dari prolog ini, asumsi Jean Bricmont bahwa ‘setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis’--- sepertinya telah ditinggalkan Putin.

Catatan tak ilmiah ini mencoba mengurai seni yang dimainkan Putin dalam menterapkan kebijakan ‘Beruang Merah’ di Timur Tengah, asyik berselancar di antara negara-negara yang secara politis saling berseberangan. Inilah coretan sederhananya.

Garis besar kebijakan Rusia di Timur Tengah, terlihat meniru pola Amerika Serikat (AS) yaitu bersifat non ideologis dan berpihak pada kepentingan nasionalnya. Ini benang merah. Namun dalam implementasi, entah kenapa Rusia terlihat lebih cerdas. Dalam perspektif Rusia sendiri, Timur Tengah bukanlah tujuan utama sehingga pendekatannya cenderung pragmatis. Tetapi mungkin untuk jangka panjang, sepertinya ia ingin menancapkan pengaruh agar dianggap sebagai “kekuatan besar lagi nyata”. Putin menyadari, bahwa mustahil membawa kembali Rusia seperti zaman kedigdayaan Soviet tempo doeloe. Mendekati saja sudah cukup baginya.

Dengan demikian, fokusnya kini pada peran tradisional sebagai pemasok senjata terkemuka, sekaligus mengakses pasar seluas-luasnya bagi perusahaan-perusahaan energi. Bila sebelum-sebelumnya hanya membeli minyak dari Irak kemudian menjualnya kembali ke Eropa dan AS, sekarang telah melangkah jauh, baik ke Arab Saudi, Iran, Syria, Yordania maupun Israel, dan lainnya.

Selama kepemimpinan Putin, hubungan ekonomi dengan Israel berkembang signifikan kendati agak sedikit trouble terkait undangan Kremlin kepada Hamas ke Moskow, Februasi 2006 yang lalu. Secara fisik hubungan dengan Israel memang belum akrab. Dan upaya untuk membangun kepercayaan, kerja sama dan kemitraan terus intensif dilakukan. Selain kerja sama energi, industri berat, penerbangan serta obat-obatan, bahkan semenjak tahun 1989-an hampir satu juta orang Yahudi bekas Uni Soviet telah berimigrasi sehingga populasi Israel naik 20 %.

Terkait imigrasi eks warga Soviet ternyata menyimpan sedikit masalah. Beberapa imigran dicurigai menyalurkan ratusan juta dolar ke bank-bank Israel, namun pemerintahnya menolak permintaan ekstradisi bagi kelompok oligarki Rusia yang kuat yakni Leonid Nevzlin, Vladimir Dubov dan Mikhail Brudno (semua mantan mitra dalam Yukos Mikhail Khodorkovsky), Vladimir Gusinsky (konglomerat media) dan Arkadi Gaydamak (dealer senjata dicurigai). Perlu dicatat disini, bahwa skandal imigrasi sama sekali tak mempengaruhi hubungan kedua negara, terutama sektor energi.

Dalam perkembangannya, demi menjaga keseimbangan energi Israel, PM Sharon pun bertemu Alexy Millner, Ketua Gazprom guna meningkatkan porsi gas Rusia dari 1 % naik menjadi 25 % pada tahun 2025 nanti. Sedangkan pada November 2005, ketika terdapat kesepakatan antara Rusia dan Turki untuk proyek Pipa Gas Alam Stream Biru sebesar $ 3, 4 Milyar. Israel berharap kerja sama minyak dan gas dapat diperluas melalui Pipa Stream Biru langsung ke Eilat, salah satu kota di Israel.

Tatkala meletus tragedi di Beslan 2004 (terorisme) yang menewaskan 300-an orang lebih, maka Israel-lah pertama berdiri mengecam teroris dan mengucapkan belasungkawa kepada Rusia. Sebenarnya pasca serangan teroris 1999 dan 2004, secara diam-diam badan intelijen Rusia telah mulai bekerjasama dengan Mossad. Juga kerjasama kontra-terorisme berupa pelatihan, keamanan perbatasan dan lainnya. Dan tahun 2004 pasukan anti teror Rusia-Israel melakukan latihan gabungan.

Rusia terus mengurai kerja samanya. Selain membuat penghalang perbatasan antara Rusia-Chechnya dengan mencontoh di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Israel juga menjual pesawat tak berawak untuk membantu patroli Rusia di perbatasan. Maka dengan ada kerja sama kontra-terorisme tadi, setidaknya “ketegangan hubungan” akibat kehadiran Hamas di Moskow 2006-an lalu, tak lagi mengganggu.

Akan tetapi meski hubungan telah cukup mesra, Israel masih mempunyai alasan untuk khawatir akibat dukungan Rusia terhadap nuklir Iran, kemudian penjualan senjata-senjata ke Syria, atau legitimasi Moskow terhadap Hamas, termasuk kurangnya perhatian Kremlin atas meningkatnya anti-Semitisme di Rusia. Agaknya kendala yang dinilai mampu merusak hubungan Rusia-Israel ialah dukungannya atas nuklir Iran. Walaupun kenyataan hubungan Rusia-Iran sebatas aspek ekonomi semata, namun Israel khawatir bakal muncul ancaman keamanan berasal dari militer Iran, terutama nuklirnya.

Adanya proyek enam reaktor nuklir dari Iran senilai $ 10 Milyar, bagi Rusia merupakan “berkah” karena menghidupkan lagi pasar teknologi nuklir yang sudah menyusut, dan memperkerjakan ribuan ilmuwan Rusia kelas atas. Hubungan bertambah erat tatkala Iran membeli satelit komunikasi dan jet-jet tempur buatan Rusia, serta munculnya gagasan agar proyek minyak dan gas Iran dikelola sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan Rusia.

Tetapi gilirannya, hubungan kerja sama Rusia-Iran ditafsirkan oleh Israel sebagai ancaman yang berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan di Jazirah Arab, terutama bila Iran menggunakan nuklir sipilnya menjadi senjata nuklir. Ya, memang hanya Ahmaddinejad satu-satunya pemimpin di dunia yang berani menyangkal Holocaust, sekaligus menyerukan “Israel dihapus dari peta dunia”.


Adapun dalam hubungan dengan Syria, ada event menjengkelkan Israel terkait hal tersebut. Misalnya, sewaktu Bashar al Assad diundang oleh Moskow dekade 2005-an, Putin pun menyambut, “Syria ialah negara yang memiliki hubungan khusus dengan Uni Soviet, dan hari ini Rusia memiliki hubungan sangat hangat”. Kemudian Moskow menghapus 73 % utangnya Damaskus sebesar $ 13, 4 Milyar, lalu menjual rudal Strelets dengan mengabaikan protes AS dan Israel yang khawatir senjata itu jatuh ke Hizbullah, Hamas dan seterusnya. Dan paling membuat marah mungkin pernyataan Putin, bahwa pesawat Israel kini tidak akan lagi dapat terbang di atas Istana Presiden Syria. Busyet!

Hal lain yang mengganggu Israel ialah penolakan Putin untuk memasukkan Hamas dan Hizbullah sebagai organisasi teroris, serta membiarkan uang bebas mengalir dari Rusia kepada dua musuh Israel tadi. Tampilan sikap yang seolah “mendua” dalam berhubungan dengan Israel semakin nampak ketika Maret 2006 Putin mengundang Hamas ke Moskow. Tak kurang Meir Sheetrit, Menteri Pedidikan Israel cuma berani membuat perbandingan undangan untuk Hamas dengan hipotesa bagaimana bila Israel mengundang juga pemimpin Chechnya, oleh karena Putin pernahwanti-wanti, “saya percaya, akan merasa sangat buruk jika Israel mengundang organisasi teror Chechnya ke Israel dan memberi legitimasi". Itulah seni Putin. Sebuah sikap “kemunafikan” ditampilkan terhadap Israel karena hubungan mesra dengan “para teroris” yang justru ingin kehancuran Israel.

Masih terdapat kekhawatiran Israel atas pembiaran Kremlin terhadap gelombang anti-Semit di Rusia, karena November 2005 lalu pernah ada 10.000-an massa bergerak di jalan-jalan utama Moskow membawa tanda-tanda swastika dan penghormatan kepada Nazi. Demikian pula keberpihakan kuat Putin kepada Islam, ini bisa dilihat dari statement dan kebijakannya. Sebagai misal penutupan media massa yang memuat kartun Nabi Muhammad sewaktu Hamas akan berkunjung, atau ketika pergi ke Checnya (2005) ia menyatakan, “Rusia selalu mejadi bek paling setia, dapat diandalkan dan konsisten terhadap kepentingan Islam”. Tak dapat disangkal, bahwa tingkat kelahiran dan perkembangan Islam di Rusia sekarang ini lebih tinggi dari sebelumnya!

Beberapa Komunitas Pertahanan di Israel curiga atas sikap Rusia selama ini di Timur Tengah, bahkan ada yang menyebut sebagai “penyesatan”. Pertanyaan kenapa demikian, sebab tahun 2002 Putin pernah berjanji, bahwa Rusia tidak akan membantu musuh-musuh Israel. Timbul suara keras menanyakan, apakah Rusia ingin kembali layaknya Soviet doeloe, terutama ketika merangkul Hamas secara resmi?

0 komentar

Write Down Your Responses