ISIS, “Bidak Catur” Pengganti Resolusi PBB! (3/Habis)

Oleh. M. Arief Pranoto

Mungkin inilah akhir bahasan dari tulisan tak ilmiah ini. Pertanyaan asumsinya ialah, “Apakah ISIS merupakan false flag operation bagi kepentingan Barat; atau, benarkah ia sekedar isue pengganti dari skenario al Qaeda yang sudah tutup layar di Irak dulu (2012)?”

LiputanIslam.com (LI) menulis, bahwa al-Qaeda dan afiliasinya hadir di berbagai negara dengan sebutan berbeda. Di Afghanistan namanya “Taliban”, Di Yaman dijuluki “al-Qaeda in Arabian Peninsula”, di Libya bernama “Ansar al-Sharia”, di Nigeria stigmanya “Boko Haram”, di Aljazair bernama “al-Qaeda in Islamic Maghreb”, di Syria disebut “Jabhat al-Nusra”, di Somalia istilahnya “al-Shabab”, sementara di Indonesia? Mereka menyebut diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Dan agaknya, mereka juga tengah membidani ‘kelompok radikal’ di India dan Cina. Entah apa namanya. Apakah ini berarti, bahwa kelahiran ‘Islam Radikal’ kelak di Cina dan India sesuai janji Simon Elliot alias Badaghdai sebagaimana prolog tulisan ini? Entahlah.

Tak bisa dipungkiri siapapun, model afiliasi terpopuler kini adalah ISIS. Mereka itu, entah Boko Haram, atau MIT, al Shabab, Jabhat al Nusra, Ansar al Sharia, bahkan ISIS itu sendiri, sejatinya merupakan ranting atau anak-anak yang lahir dari “rahim” al Qaeda.  

LI menjelaskan, mereka adalah kelompok teroris memakai bendera Islam, menyebabkan kian meluasnya Islamphobia di muka bumi. Mereka penganut ideologi Wahabi Takfiri, yaitu kelompok yang mudah mengkafir-kafirkan pihak yang berlainan faham. Bukankah al Qaeda dibentuk, didanai, dan dipersenjatai oleh AS dengan tujuan untuk mendestabilisasi kedaulatan negara lain? Terutama jajaran negara yang memiliki deposit serta kekayaan SDA yang melimpah. Inilah yang kini berlangsung. Conflict is the protection oil flow!

Terkait uraian LI di atas, retorikanya adalah, “Akankah Boko Haram akan muncul di Nigeria jika ia hanya penghasil gaplek dan tiwul? Apakah bakal lahir al-Shabab, bila geopolitik Somalia tidak memiliki urgensi bagi kepentingan (kolonialisme) Barat? Atau, mungkinkan lahir MIT, kalau Indonesia hanya penghasil jambu mente? Maukah Badaghdi bersumpah melindungi muslim di Cina, jika Xinjiang cuma kota wisata belaka? Bukankah deposit dan potensi minyak terbesar yang dimiliki Cina itu ada di Xinjiang?  

Jelas sudah, ISIS cuma false flag operation. “Operasi bendera palsu”. Seolah-olah bekerja sama (Islam) sebagai kawan, padahal bekerja untuk kepentingan musuh. Semacam deception atau taktik pengelabuhan. Biar kelompok Islam tertentu beranggapan, seakan-akan tengah melakukan misi suci agama menghadapi para adidaya anti Islam, tetapi prakteknya, justru gerakan mereka dalam kendali dan pengawasan agen intelijen seperti CIA, MI-6, Mossad, dan lainnya. Pada gilirannya, gerakan kelompok ini justru merupakan kontra produktif bagi citra Islam itu sendiri. Tersirat tujuannya, agar kaum muslim terstigma sebagai golongan keras kepala, tidak berperikemanusiaan, suka berperang, dll yang tidak mencerminkan layaknya akhlak ajaran Islam.

Mundur sebentar. Kita kilas balik atas ‘penutupan skenario’ al Qaeda di Irak, tatkala tersebar video “kematian” Osama bin Laden yang mayatnya dibuang ke laut. Siapapun mungkin memahami, bahwa Osama (simbol muslim) merupakan ikon aktual sebagai musuh AS dan sekutu pasca Perang Dingin, meski Obama sendiri menilai, Rusia sekarang justru dianggap sebagai ancaman terbesar kedua setelah Ebola, sementara ISIS, al Qaeda dan teroris lainnya menempati urutan ketiga. Apakah ini akibat ‘kekalahan’-nya di Ukraina?

Balik lagi soal radikalisme agama. Jika merujuk “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order” (Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia)-nya Samuel P Huntington, intinya: “Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya!” Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32-an konflik-konflik di dunia tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab akibat dan kenapa konflik terjadi. Mengapa demikian, inilah yang tengah dijalankan. Opini dibentuk, asumsi-asumsi mulai ditebar bahwa skenario “Barat verus Islam” itu sebuah kebenaran.

Dalam buku “Who Are We? The Challenges to America's National Identity” (2004), Huntington semakin tegas mengilustrasikan ide-idenya, bahwa musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel 'militan' sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan makna sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, Islam (militan) benar-benar menggantikan posisi Soviet (komunis) sebagai musuh utama AS dan sekutu.

Menyimak seluk beluk ISIS dan dinamikanya, kian lama semakin kentara hendak kemana isue itu ‘dilabuhkan’. Silahkan dicermati. Manakala pandangan masyarakat internasional focus atas bombardir pesawat AS dan sekutu kepada ISIS di Syria, maka pertanyaan yang timbul, “Apakah target bombardir hanya ISIS? Bagaimana target inti (militer) Bashar al Assad yang selalu lepas akibat dijegal veto Cina dan Rusia?”  Papan catur telah dihampar, hybrid war berkecamuk semakin dalam.

Obama menegaskan hari Rabu (24/9/2014) di DK-PBB ketika menyetujui resolusi anti gerakan terorisme internasional yang dirancang AS, “Tidak ada solusi militer yang ampuh untuk menumpas terorisme global. Untuk itu harus ada persatuan negara-negara dunia untuk melawan terorisme!” Inilah sikap AS dalam merespon isu-isu internasional untuk menggunakan kekerasan dan tindakan tanpa mandat PBB, hanya berdasarkan kepentingan nasional mereka.

Maka dari perairan pun, 1 (satu) gugus kapal induk terbaru USS George H Bush tengah uji kemampuan, dibantu Cruiser USS Philphine Sea dan Destroyer Arleigh Burke memuntahkan rudal-rudal jelajah. Dari dirgantara, jet-jet tempur puluhan negara jago perang juga membombardir. Retorikanya, “Siapa menjamin, bahwa sasarannya cuma ISIS saja? Siapa berani menjamin, target bidikan tidak akan menyasar ke rakyat sipil dan (militer) Bashar al Assad?”   

Sedang melalui darat, meskipun kaum pemberontak berhasil dipukul mundur dari ibukota Damaskus oleh serdadu Syria, bukankah Amerika (akan dan sudah) men-deploy ribuan ( sekitar 13.000-an personel) melalui Irak? Tinggal dimobilisasi di Tirkit, lalu masuk melalui al Mafrak, kota konspirasi di Jordan, selanjutnya menyeberang ke Syria. Sekali lagi, bidak-bidak telah disusun.

Berbagai matra dan penjuru telah dikepung. Puluhan negara bersemangat menggempur satu negara berdaulat berbekal stigma “mengejar ISIS” atas nama kepentingan nasionalnya namun di negerinya orang, bukannya berbekal resolusi PBB sebagaimana lazimnya hukum internasional. Inikah yang tengah berlangsung? Dunia diam membisu!

Akhirnya tibalah di ujung tulisan ini. Ada beberapa learning points yang bisa dipetik terkait bahasan ISIS dalam perspektif perang hibrida, antara lain adalah:

Pertama, bila diibaratkan permainan catur, ISIS hanyalah pion yang dikorbankan untuk sekedar “membuka pintu” pertahanan dari kelompok negara target (Syria, Irak, dll). Inilah taktik false flag operation. Artinya ketika pintu telah terbuka, maka negara-negara target niscaya bakal diserbu dari berbagai arah dan penjuru;

Kedua, di Irak contohnya, ia (ISIS) cuma sekedar dalih dan sarana ‘comeback’-nya militer koalisi pimpinan Paman Sam setelah sebelumnya dianggap gagal, lalu hengkang (tahun 2003 - 2012-an) dari Negeri 1001 Malam;

Ketiga, sedang peran ISIS di Syria merupakan dalih guna menyerbu secara terang-terangan dengan kekuatan militer meski belum ada mandat (resolusi) PBB, dimana resolusi tersebut senantiasa diganjal oleh veto Cina dan Rusia;

Keempat, dalam forum DK-PBB, ia sebagai alat pemersatu bagi kelompok negara-negara kolonial untuk mensyahkan sikap dan tindakannya, bahwa seolah-olah ada common enemy (musuh bersama) yakni ancaman terorisme global.

Singkat cerita, ISIS adalah “bidak catur” pengganti  Resolusi PBB yang tak kunjung terbit dari DK-PBB. Barangkali, inilah permainan biadab yang ditampilkan dengan tata cara (seolah-olah) beradab!

,

0 komentar

Write Down Your Responses