Seni dan strategi beruang merah (2)
Oleh. M. Arief Pranoto (Seni dan strategi beruang merah di Timur Tengah)
Dinamika politik Rusia terlihat dramatis. Apaboleh buat, setiap hubungan apapun memang tidak berlangsung di ruang hampa. Dengan Israel misalnya, niscaya ada efek langsung dan tidak langsung. Atau dengan Iran, Syria dan seterusnya. Menjadi logis apabila kepentingan nasionalnya mutlak didahulukan terkait kebijakan non ideologis di Timur Tengah. Itulah yang harus disadari bersama.
Ada semacam nostalgia berkembang di jajaran negara Arab, agar kebijakan Rusia di Timur Tengah hendaknya lebih “Soviet” lagi. Aspirasi serta hasrat ini, sering muncul baik melalui pernyataan di publik maupun pribadi. Bahkan ketika memberi kuliah di Institut Negeri Hubungan Internasional, Moskow (2005) pun, tak kurang Bashar al Assad berkata: " .. peran Rusia di dunia sangat besar dan memiliki otoritas kolosal, terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Ada harapan besar di negara-negara bahwa Rusia akan mengembalikan posisi awal dalam urusan dunia". Gayung bersambut, Aljazair pun menyatakan harapan yang sama, bukan karena motivasi pengampunan utang era Soviet doeloe sebesar $ 7,5 Milyar, namun semata untuk kepentingan “pendinginan” suasana panas di Timur Tengah akibat geliat Israel selaku organ pemecah di Jazirah Arab versi Henry Bannerman, PM Inggris (1901).
Penjualan berbagai jenis senjata buatan Rusia kepada Syria sejak 2003-an, pernah disinyalir disamping mampu menurunkan superioritas Israel di kawasan tersebut juga mengancam militer AS yang tengah ekspansi di Irak doeloe. Sehingga Israel dan AS menekan diplomasi Rusia untuk meninggalkan kesepakatan senjata dengan pertimbangan sewaktu-waktu senjata itu bisa jatuh ke tangan yang salah (maksudnya mungkin Hamas dan Hizbullah). Sebaliknya Putin balik menuduh Israel memberikan “uang besar” untuk kampanye calon presiden, Viktor Yuschenko -- sosok oposisi penetang Kremlin di Ukraina.
Segala upaya Putin meminimalisir kekhawatiran Israel atas penjualan senjata ke Syria, sebenarnya mencerminkan perspektif hegemoninya di Timur Tengah, artinya Israel sangat “diperhitungkan” oleh Rusia. Ada dua alasan memang, antara lain: (1) bahwa perdagangan dengan Israel jauh lebih besar dibanding Syria, dan (2) menurut analisis Ruslan Pukhov, “menjual senjata ke Syria akan menyelesaikan masalah dari satu atau dua perusahaan Rusia, tetapi tidak akan mengubah situasi di sektor industri militer". Sekali lagi, kepentingan nasional Rusia ternyata lebih dikedepankan oleh Putin berbasis kebijakan non ideologis di Dunia Arab.
Manakala terjadi pembunuhan mantan PM Libanon Rafiq Hariri (Maret, 2005), maka Rusia bersama-sama AS, Eropa dan Israel menekan Syria agar segera keluar dari Libanon, dan seketika memang ditindaklanjuti oleh Bashar al Assad. Hubungan pun sepertinya merenggang. Akhirnya para pejabatnya disuruh memperbaiki kembali keretakan hubungan tersebut. Salah satunya ialah kunjungan Yuri Baluyevsky, Kepala Staf Umum ke Syria selama tiga hari (Februari 2006) dan bertemu langsung Presiden Assad membahas berbagai topik, di antara bahasan adalah soal Hamas, dimana sebagian pemimpinnya tinggal di Syria.
Semakin jelas terlihat bahwa hubungan Rusia dan Israel dalam banyak hal dipengaruhi pilihan strategis terhadap Syria, sekutu dekatnya selain Iran. Maka pantas tatkala ekslalasi “musim semi Arab” kemarin meningkat, dengan segera kapal perang Rusia merapat ke perairan Syria untuk melindungi masuknya ‘intervensi fisik’ dari luar.
Sementara hubungan dengan Iran, terkait statement kontroversial Ahmaddinejad bahwa Israel dihapus dari peta dunia, menimbulkan masalah tersendiri di internal Rusia. Artinya meski “keberatan” Israel tidak berpengaruh baik pada penjualan senjata maupun kerja sama nuklir Iran, disini terlihat seni Putin dalam mengambil ‘jalan tengah’ mengendapkan rasa khawatir Israel cukup melalui retorika Sergey Lavrov, Menteri Luar Negeri, bahwa intinya komentar Ahmadinejad "tidak bisa diterima" dan berjanji untuk "membawa ini menjadi perhatian Iran". Lalu Israel pun diam tak berkoar lagi.
Ya. Sebagai pemasok senjata konvensional Iran dan perangkat militer lain seperti kendaraan lapis baja, rudal pertahanan udara dan lainnya, sudah barang tentu jalinan ekonomi ini tidak mungkin dikorbankan hanya gara-gara “keberatan” Israel. Selanjutnya adalah Andrei Piontkovsky, analis Rusia berpendapat (Maret 2006), “bahwa penjualan M1 Tor 9M330 Sistem Pertahanan Udara ke Iran menghapus pilihan terakhir (rencana) Israel pada serangan militer terhadap instalasi nuklir Iran”. Luar biasa. Jika ini benar, maka Rusia tidak sekedar menjual teknologi nuklir saja, tetapi diam-diam juga melindungi program nuklir Iran.
Putin juga menjalin hubungan dengan Palestina. Tak boleh dipungkiri, Uni Soviet doeloe dikenal sebagai “dermawan” terkemuka. Dukungannya kepada Otoritas Palestina telah berlangsung sejak era Yasser Arafat sampai sekarang. Keterlibatan Rusia dalam konflik Israel-Palestina, baik di lapangan berupa pengiriman kendaraan lapis baja sejumlah 50 buah tahun 1994 di zaman Boris Yeltsin, maupun ketika Putin berkuasa tahun 2000-an, hingga pada sidang PBB selalu menentang tindakan Israel di wilayah Palestina. Pada April 2005, Putin mengunjungi makam Yasser Arafat dan berjanji untuk memberikan bantuan teknis, pasokan peralatan dan pelatihan kepada kepemimpinan Palestina. Namun karena situasi dan kondisi politik berkembang lain, agaknya komitmen tadi tertunda.
Akhirnya tibalah pada ujung catatan tak ilmiah ini. Ya. Kalau mencermati seni Putin memainkan kebijakannya di Timur Tengah, maka diperoleh beberapa pointers yang dapat dipetik sebagai learning point, antara lain adalah sebagai berikut:
(1) sejarah masa lalu (Uni Soviet) tetap menjadi pijakan utama Rusia dalam memainkan perannya, namun dengan pendekatan berbeda. Artinya jika doeloe menggunakan kekuatan militer (simetris)dengan kebijakan ideologis, kini bersifat pragmatis berbasis non ideologis dimana ujungnya sama, yakni kepentingan nasionalnya;
(2) dengan pola pragmatis tersebut ia bisa memainkan peran yang seolah-olah “ganda” di antara negara-negara yang bersaing bahkan saling bermusuhan, tetapi akhirnya cenderung clear karena kebijakan tersebut tak mengada-ada;
(3) tingginya daya tawar Rusia di Jazirah Arab, selain akibat kejayaan masa lalu Soviet melegenda, juga peran tradisional sebagai pemasok senjata semakin difokuskan, termasuk show of force militer ketika menduduki Georgia dalam waktu singkat (seminggu), dan
(4) bahwa ekspansi ekonomi kepada negara yang dituju tidak menggunakan isue-isue aktual seperti demokrasi, kebebasan, HAM dan lainnya yang lazim dilakukan Barat, tetapi semata-mata karena kerja sama non ideologis demi kepentingan nasional masing-masing pihak terpenuhi.
Dengan demikian, asumsi Bricmont di atas sebenarnya masih berlaku bagi Putin, hanya dipenggal kalimat bagian belakangnya: Ya, sistem dominasi memang tergantung kekuatan militer!
(Disarikan dari berbagai sumber)
0 komentar
Write Down Your Responses