Membaca Darurat Energi dari Perspektif Geopolitik
Oleh. M. Arief Pranoto
Parahnya persoalan minyak dan gas (migas) telah diisyaratkan oleh
para pakar energi, bahwa Indonesia telah memasuki fase DARURAT ENERGI.
Benarkah? Tatkala di permukann terlihat landai, maka sesungguhnya
situasi itu ibarat bara dalam tumpukan jerami, tinggal dipercik sedikit
api (peristiwa kecil) maka akan meletus, membakar banyak hal terutama
menyerap serta melumpuhkan “energi” bangsa ini. Mungkin itulah analog
yang agak cocok untuk memotret secara sekilas kondisi permasalahan migas
di republik tercinta ini.
Namun mengurai ‘darurat migas’
sesuai isyarat di atas, sebenarnya tidak pelik-pelik amat. Artinya,
selain tak begitu rumit menganatomi (mapping) permasalahan yang
muncul, juga tak susah-susah amat mencari solusi terbaik atau bagaimana
jalan keluarnya. Kenapa demikian, sejatinya persoalan utama dalam dunia
migas kita hanya masalah political will dan political action elit politik dan segenap pejabat negara (pemerintah) berkompeten dalam rangka meraih kembali status negara mandiri (autarky) di
bidang energi. Seperti dulu lagi. Itulah hal dan pokok-pokok paling
krusial yang mutlak digelorakan, digebyaran serta dilangkahkan secara
gegap gempita oleh para elit politik dan segenap komponen bangsa. Dalam
bahasa sastranya ialah: “Aku rindu dirimu (Indonesia) yang dulu”.
Nah, celoteh ini tidak ada niatan menggurui siapapun, terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten selain sekedar ingin sharing
pemahaman semata. Bila terselip data atau pendapat berbeda, atau
barangkali pemakaian istilah teknis dan taktis yang kurang tepat baik
arti, maksud dan makna, anggaplah kewajaran yang perlu didiskusikan
lebih dalam ---intinya--- demi meraih pointes dan butiran
bagaimana mencapai kemandirian serta kedaulatan energi yang dirasa
semakin lama kian menjauh dari harapan. Inilah celoteh tak ilmiah,
santai dan sederhana.
Mempetakan KETERGANTUNGAN ENERGI (impor) di Bumi Pertiwi, maka mapping ini wajib diawali breakdowning atas faktor-faktor yang berpengaruh, kenapa kok ketergantungan migas
sifatnya berkelanjutan seolah-olah tidak dapat dibendung, padahal kita
dulu tergolong negara surplus energi (1977 dan 1995). Apa yang tengah
terjadi? Selanjutnya, dalam kajian sederhana ini kami coba melihat dari
sisi internal dan eksternal, antara lain:
Pertama, faktor
internal. Beberapa hal yang dominan mempengaruhi kadar ketergantungan
atas kebutuhan energi di Indonesia meliputi: (1) terbatasnya kilang
minyak. Hingga kini, kita cuma memiliki 6 buah kilang yang berada di
Balikpapan, Sorong, Balongan, Cilacap, Dumai dan Plaju. Semenjak 1994-an
memang tak ada lagi penambahan (dan pembangunan) kilang, meski rencana
bahkan studi kelayakan pernah dan telah dilakukan. Entah kenapa. Tak
layak, atau karena ada power lain yang menghalangi? (2) berperannya jaringan Mafia Barkeley dimana mereka dapat mempengaruhi policy
bidang energi di Indonesia, ketika terbetik khabar bahwa ‘mafia’ ini
yang menghambat gerak laju pembangunan kilang melalui jaringannya di
salah satu Kementerian, memang perlu pendalaman lebih jauh; (3) belitan
skema ekonomi neoliberalisme yang kian meraja-lela di republik ini, dan
(4) berlangsungnya praktek-praktek Mafia Migas di dunia perminyakan
nasional.
Untuk beberapa variabel
internal di atas tadi, nanti akan diperdalam sedikit pada pembahasan
serta diskusi, sekarang kita lanjut saja ke faktor berikutnya atas
ketergantungan (impor) energi.
Kedua adalah faktor eksternal. Keberadaan The Seven Sisters. Tak
bisa dipungkiri, bahwa kuku-kuku korporasi (MNCs) global seperti
ExxonMobil, ChevronTexaco --Chevron Corporation--, Shell, BP, Gulf Oil,
dan lain-lain milik adidaya dunia telah kuat tertancap investasinya di
Bumi Pertiwi. Sesungguhnya tidak ada masalah dengan investasi asing
dimanapun sepanjang mereka memakmurkan rakyat, kecuali bila track record-nya
hampir tidak pernah membuat sejahtera rakyat (terutama masyarakat di
sekeliling/daerah dimana MNCs berdiri), maka hal itu layak
dipertanyakan, “Apakah ini model kolonialisme baru?”
Taqiyuddin
An Nabani mengingatan, “Penjajahan merupakan metode baku kapitalis
sedang yang berubah hanya cara dan sarananya” (1977). Mari kita perdalam
asumsi Nabani tadi. Bahwa sesungguhnya, Bung Karno (BK) dulu juga sudah
mengingatkan bangsa terkait kolonialisme baru, “Bahwa imperialisme
bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negara atau bangsa lain, tetapi
bisa hanya mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tidak usyah
di jalankan dengan pedang, atau bedil, atau meriam atau kapal perang
(1960). Retorika pun muncul, “Inikah (kolonialisme baru) yang tengah
berlangsung?”
Tak boleh dielak siapapun, bahwa skema (dan
tujuan) kolonialisme dimanapun-sampai kapanpun dipastikan tak akan
pernah berubah, yaitu penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam
(SDA) negara target melalui cara mencari bahan baku semurah-murahnya
dan menciptakan pasar seluas-luasnya. Ini yang mutlak ditanam di benak
kita.
Jika menelaah dari dimensi “time” (waktu) dan struggle (berjuang) pada perilaku geopolitik, bahwa target penjajahan tempo deoloe
hanya sebatas mencari rempah-rempah, maka target kolonialisme di era
modern adalah emas, minyak, gas alam dan jenis-jenis tambang lain. What lies beneath the surface.
Apa yang terkandung di bawah permukaan. Bahkan seorang Vandana Shiva
dari India pun berani berkomentar: "Bila kolonialisasi lama hanya
merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh
kehidupan!". Sekali lagi, inikah yang tengah terjadi di Indonesia?
Merujuk statement An Nabhani, BK, Shiva, dll bahwa perilaku offensive
geopolitik modern yang dikembangkan Barat ialah menguasai ekonomi dan
SDA di negeri target menyamar (dan menumpang secara gelap) pada gerak
investasi, manajemen konflik, capacity building, atau kalau
perlu --- secara terang-terangan melalui militer sebagaimana invasi
koalisi militer pimpinan Amerika (AS) di Irak (2003-2012) dan
Afghanistan (2001-20013) dengan aneka dalih, bahkan agaknya model
tersebut terus berlanjut hingga kini melalui pintu (isue) baru bertajuk Islamic State of Irak and Syam (ISIS).
Ia juga sering berkedok gerakan massa mengatasnamakan HAM, demokrasi, pemimpin tirani misalnya ---seperti Arab Spring--- atau kadang-kadang via pintu bencana sebagaimana kasus di Haiti, ataupun cover
memerangi wabah penyakit (Ebola, Flu Burung) ala ‘pendudukkan’ di
Afrika, dll. Bagi pemimpin yang sadar akan (geopolitik) potensi kekayaan
alamnya, niscaya tidak mau diatur oleh kolonialisme global melalui
tangan dan kaki-kaki Multinational Corporations (MNCs) serta variannya.
Pintu masuk paling gampang di negara berdaulat memang isue demokrasi, korupsi, freedom,
instoleransi, dsb karena nilai-nilai global itu sudah “diterima”
masyarakat internasional di berbagai negara, akan tetapi sering juga via manajemen konflik berupa adu domba (devide et impera) di negeri yang diincar SDA-nya. Setelah timbul konflik, tahap berikutnya adalah “intervensi” atas nama capacity building,
atau bahkan operasi militer berdalih pembelaan HAM, mengejar ISIS,
menegakkan intolerans dari salah satu pihak yang berkonflik di dalam
negeri tersebut. Itulah sisi lain (dan contoh kecil) cara “investasi
asing” dari perspektif kolonialisme di sebuah negara bila dicermati atas
dasar pemahaman geopolitik dan konstitusi negara (Indonesia) secara
benar.
Selanjutnya, catatan sederhana ini tidak akan membahas lagi soal rencana “turun” (capacity building)-nya armada laut AS di perairan kita yang disuruh Bu Susi, Menteri Kelautan dan Perikanan RI dalam rangka membantu memberantas illegal fishing,
sekali lagi --- kami tidak akan mendiskusikannya kembali karena pakem
(geopolitik)-nya telah jelas: “Pertahankan rumah serta pekarangan kita
sekalian” (Jenderal Soedirman, 1947). Kebijakan mengundang armada asing
di perairan Indonesia, ibarat pemilik (tuan)-nya justru meminta agar
rumah dan pekarangannya diacak-acak oleh orang luar. Inilah yang kini
terjadi.
Kembali ke diskusi faktor internal yang tadi kita loncati. Bila berangkat dari data sebelum keluar dari OPEC, Indonesia adalah net oil exporter (kelompok negara pengekspor minyak), tetapi semenjak tahun 2004-an ia berubah sebagai net oil importer
(pengimpor minyak). Kenapa demikian, mohon maaf apabila catatan ini
tidak lagi membahas berapa (dahulu) jumlah produksi dan konsumsi minyak
di Indonesia sehingga mampu meraih status net oil exporter,
atau mengapa ia keluar dari OPEC, dan lain-lain kecuali sekilas untuk
menyambung bahasan. Untuk menyingkat paparan namun supaya tetap akurat pointers-nya nanti, maka data-data yang ditampilkan berbasis praktek dan operasional migas dekade 2013 – 2014, walau sekilas saja.
Konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) kita sekarang berkisar antara 1,5 juta - 1,6
juta barel per hari (bph). Itu data teknis. Adalah keniscayaan bila tren
konsumsi akan meningkat dari waktu ke waktu seiring dinamika sosial
kemasyarakatan, pertambahan penduduk dan terutama hiruk-pikuk politik
sebagaimana isyarat “Energy Policy”-nya Guildford (1973), "When it comes to oil is 90% all about politics and 10% its about oil itself” .
Jika diperkenankan menafsir statement Guildford, bahwa tampilan data terkait hal-hal teknis perminyakan mungkin akan ditemui banyak dark number
(penggelapan data) sesuai kepentingan dan kemana arah (geo) politik
bergerak. Sedangkan 'data kering' saja sering digelapkan demi sebuah
onani (menyenangkan diri sendiri) agar dikatakan berhasil, dll apalagi
ini 'data yang basah'? Dengan demikian, riil produksi dan konsumsi
minyak yang terilis di media massa oleh pihak tertentu (dan kompeten)
niscaya belum menggambarkan fakta dan data sebenarnya, karena kentalnya
faktor politis.
Di satu sisi, produksi minyak dari 6 kilang di muka tadi berisar 830 ribu - 950 ribu bph dan lifting-nya
cenderung menurun akibat faktor operasional dan teknis. Ini juga
data-data teknis. Ingat isyarat Guildford di atas. Sedang sisi lain,
sisa kekurangan untuk konsumsi BBM kita peroleh lewat impor dari banyak
negara seperti Arab Saudi, Aljazair, Malaysia, Cina, Yemen, Australia,
Vietnam, Nigeria, Brunei, Papua New Guene (PNG), Pakistan, Rwanda, Oman,
Angola, Thailand, Irak, Iran, dan lainnya.
Kajian atas keriskanan supply minyak bahwa 60% kebutuhan impor diangkut via kapal-kapal
tanker melalui jalur perairan, dengan kata lain, jika kelak terjadi
“ganguan” dimana berakibat tersendatnya pasokan, entah gara-gara
‘kemacetan’ di jalur perairan, ataupun ada masalah politik dengan
(negara) pengekspor, mungkin ada gejolak politik di negara (asal)
produsen, atau tiba-tiba meletus perang terbuka di jalur perairan
tersebut, maka niscaya ketersendatan tersebut akan menjadi penyebab
utama atas kelangkaan energi di tanah air. Saat ini, produksi internal
baru memenuhi 40% dari konsumsi dalam negeri.
Apa boleh buat, meskipun negeri ini memiliki cadangan strategis nasional tetapi toh berkisar
20-an hari saja. Boleh bandingkan dengan sesama pengimpor minyak
seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea Seatan, dll yang memiliki cadangan
strategis hingga 100 hari, bahkan khabarnya sudah dinaikkan kapasitasnya
menjadi 200 hari.
Pertanyaannya sekarang,”Apakah
ketergantungan ini dibiarkan berlanjut, sedang Indonesia memiliki
potensi atas ketahanan energi sebagaimana dulu pernah terjadi; bukankah
para elit politik dan segolongan pakar sudah memahami anatomi darurat
energi, tinggal bagaimana kita mengantisipasi kondisi (ancaman)
tersebut?”
(Bersambung ke 2)
0 komentar
Write Down Your Responses