Indonesia di serbu
Oleh. M. Arief Pranoto
Sungguh sedih serta prihatin mencermati dinamika politik di republik ini, dimana rakyat “dilulu” (dijejali) berbagai mainan yang seolak-olah mengasyikkan tetapi berujung perpecahan bagi bangsa dan negara, sedang banyak warga itu sendiri tidak memahami lagi tak menyadari. Geliat Indonesia seakan terjebak dalam trap “modus potong babi”. Calon korban diajak kerjasama, setelah gemuk disembelih!
Sungguh sedih serta prihatin mencermati dinamika politik di republik ini, dimana rakyat “dilulu” (dijejali) berbagai mainan yang seolak-olah mengasyikkan tetapi berujung perpecahan bagi bangsa dan negara, sedang banyak warga itu sendiri tidak memahami lagi tak menyadari. Geliat Indonesia seakan terjebak dalam trap “modus potong babi”. Calon korban diajak kerjasama, setelah gemuk disembelih!
Lihatlah! Otonomi di masing-masing daerah yang mulanya bermaksud memangkas birokrasi lalu menciptakan pemerataan, justru menyebabkan marak tindak korupsi. Siapapun elit terpilih, niscaya terjebak berbuat. Ya. Kondisi ini seperti diciptakan. Sistem demokrasi pasca reformasi malah menumbuhkan industri baru bertitel “pencitraan”, menjual hiasan dan format bagi raja-raja kecil (Kepala Daerah) agar senantiasa tebar pesona berbekal baliho dan sembako dalam rangka meraih serta mempertahankan dukungan rakyat.
Dengan demikian, bahwa penguasa yang sesungguhnya dalam sistem demokrasi ialah para pemilik modal, dimana mereka telah memberikan pendanaan kampanye para calon, dengan imbalan bahwa setiap kebijakan dan keputusan konstitusi harus menjamin kepentingan kaum kapitalis (Tim Riset Global Future Institute).
Lembaga dan instansi pemerintah tertelan doktrin “profesionalisme” secara kaku, sombong dan angkuh. Akhirnya arogansi sektoral merebak bak cendawan di musim hujan. Modusnya benar sendiri, merasa hebat sendiri. Lalu bentrokan serta konflik antar aparat pun menjadi hiburan menarik di media-media. Berebut tua, atau telah menjadi budaya? Dan agaknya rakyat meniru pula. Polanya mirip ---menghembuskan isme dan sintimen--- dalam kelompok-kelompok atas nama suku, aliran agama, ras, golongan dan lainnya. O, semakin dahsyat saja konflik-konflik di negeri tercinta ini.
Bahwa kebebasan telah menggiring bangsa dalam perilaku tanpa etika, menjauh dari keagungan local wisdom para leluhurnya doeloe. Betapa menyedihkan. Atas nama freedom mengabaikan etika lalu memaki-maki pimpinan dan tetuanya seperti perilaku orang tanpa pekerti lagi seakan tak berpendidikan. Memang yang tua-tua sering kebacut, sedang yang muda membikin ibu pertiwi ini kecewa. Seperti ada ruh adu domba membonceng dalam tatanan negara kini.
Di satu sisi, terdapat usaha-usaha dalam rangka legalisasi ganja oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Entah bertujuan apa, bangsa ini hendak dibawanya kemana. Hikmah emas Perang Candu di Cina tempo doeloe diabaikannya. Bukankah narkoba sarana termurah merusak bangsa? Tampaknya sejarah generasi muda di negeri Tirai Bambu yang lumpuh akibat (perang) candu tak membuatnya sadar juga. Jangan-jangan mereka juga pecandu narkoba, sehingga logikanya tumpul entah kemana.
Sedang pada sisi lain, tidak sedikit LSM menjadi corong rakyat membenci pemerintahan bermuara terhadap Partai Politik. Politisasi menjadi warna kental dimana-mana. Pemerintah korup! Hak azasi manusia, demokratisasi! Itulah isue-isue yang ditabuh, kendati ia cuma agenda terbuka namun cukup lumayan menggoyang negara. Bangsa ini lupa atau gagal mencerna bahwa salah satu hidden agendaasing “mempeta negeri” semakin dalam penitrasinya hingga ke pelosok desa. Asyik mendata potensi dan sumber-sumberdaya daerah berkedok pemberdayaan, entaskan kemiskinan dan lainnya. Maka ibarat cara orang memecah duren, mapping dan posisi Indonesia makin jelas tergambar dari luar --- tinggal dibelah saja!
Dirasakan bersama, bahwa gelagat republik kini tengah digiring menuju federasi, sebuah konsep usang tahun 2000-an yang ditolak berbagai elemen bangsa. Ya, bagi Indonesia yang terlahir sebagai Negara Kesatuan maka federalisasi ---apapun bentuk dan kemasan--- itu adalah “menyalahi kodrat”. Keluar jalur, mengingkari takdirnya.
Inti pokok Negara Kesatuan bahwa pemerintah pusatlah yang membentuk daerah-daerah karena ia lebih duluan berdiri, sedang konsep Negara Federal justru kebalikannya, yaitu daerah (negara bagian) telah terlebih dahulu ada dan berperan, kemudian bersepakat untuk membentuk united (pemerintah pusat). Salah satu contohnya adalah United State of America.
Dalam konteks apapun, sesuatu perbuatan menyalahi kodrat dan takdirnya, atau tindakan yang keluar dari pakemnya akan bermuara KEHANCURAN bagi diri. Misalnya Kesultanan Utsmaniyah yang agamis menjadi berantakan ketika disusupi ide sekulerisme. Atau pecahnya Uni Soviet yang otoriter dan tertutup sebab dihembuskan demokratisasi, keterbukaan dan lainnya. Bagi Indonesia sendiri, sesungguhnya otonomi daerah itu merupakan “langkah awal dan penghalusan dari federal”.
Ketika geliat Indonesia mengarah kepada federalisasi tanpa rakyat itu sendiri menyadari, bukankah ini merupakan proses penghancuran sebuah negara, melalui penyesatan-penyesatan berasal dari fabrikasi perbedaan pendapat atas nama demokrasi dan kebebasan berbicara. Itulah yang kini tengah terjadi.
Silahkan saudara-saudara mencermatinya!
0 komentar
Write Down Your Responses