Napak Tilas Kejayaan Nusantara di wilayah Gempol - Pasuruan
Oleh. Hamid Ghuzali
Tak komplit kiranya kalau kita melewati lumpur Lapindo di Porong
tanpa pergi ke wilayah kecamatan Gempol yang hanya berjarak 5 km dari
lumpur Lapindo. Selain terkenal dengan makanan khasnya yaitu cenil dan
klepon, di wilayah ini kita akan menemukan banyak sekali situs sejarah
peninggalan era Mpu Sendok di abad ke 9 hingga peninggalan Airlangga dan
Majapahit.
Tujuan kita pertama adalah Prasasti Cungrang
yang berada di jalan raya Surabaya – Malang masuk kearah barat, tepatnya
di Balai dusun Sukci, desa Bulusari Kecamatan Gempol Kabupaten
Pasuruan.
Prasasti Cungrang ini dikeluarkan pada hari
Jum’at Pahing tanggal 12 Suklapaksa, bukan Asuji tahun 851 Saka atau
pada tanggal 18 September 929 Masehi.
Prasasti Cungrang
merupakan peninggalan dari Mpu Sindok, yang bergelar Sri Maharaja Rakai
Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Memerintah Kerajaan Medang dari
tahun 929 hingga 947 yang memindahkan kerajaan Medang dari Poh Pitu,
Kedu ke Watugaluh Jawa Timur.
Kepindahan kerajaan ini bisa jadi
erat hubungannya dengan bencana alam yang terjadi di wilayah sana,
terutama kalau melihat struktur batuan yang terkubur diwilayah sana
(perlu analisa mendalam terutama dalam hubungannya kebencanaan nasional,
i.e meletusnya gunung Penanggungan).
Isi dari Prasasti
ini adalah Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa
(Mpu Sindok) menurunkan perintah kepada Pu Kuala, agar Desa Cunggrang
yang termasuk wilayah Bawang di bawah pemerintahan Wahuta Wungkal
dijadikan Sima atau tanah perdikan untuk pertapaan di Pawitra dan
prasada silunglung sang siddha dewata rakryan Bawang, ayah rakryan
binihaji sri prameswari dyah kbi. Tugas penduduk yang daerahnya
dijadikan perdikan ialah memerlihara pertapaan dan prasada, juga
memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra.
Dari isi
prasasti itu, ada dua nama tempat yang perlu mendapat perhatian yaitu
Cunggrang dan Pawitra. Wilayah Cunggrang tentunya tidak jauh dari tempat
prasasti ditemukan (di Desa Sukci sekarang), Nama Cunggrang terdapat
juga di dalam pupuh Nagarakertagama diantaranya Pupuh 58 : Warna I sah
nira rin jajawa rin, padameyan ikan dinunun, Mande cungran apet kalanon
numabas in wanadealnon Darmma karsyan I parcwanin acala pawitra inaran
Ramya nika panunan, lurahlurah bhasa kbidun. Artinya : Tersebut dari
Jajawa Baginda berangkat ke Desa Padameyan. Berhenti di Cunggrang,
mencari pemandangan, masuk hutan rindang. Kearah asrama para pertapa di
lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin
menelan orang yang memandang.
Tentang Pademeyan dapat
diidentifikasi dengan Kedamaian yang terletak di sebelah utara
Kapulungan. Satu kilometer dari desa Kedamaian ditemukan pula reruntuhan
bangunan candi desa Keboireng. Pada pupuh 78 Negarakertagama disebut
Desa Keresian seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan. Pucangan,
Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman,
didirikan lingga dan saluran air. Yang mulia Mahaguru – demikian sebutan
beliau.
Dari segi linguis pawitra (bahasa Sansekerta)
berarti alat pembersih yang dapat menghilangkan kleca (cacat, dosa,
noda), jadi yang mempunyai kekuatan untuk membersihkan atau mencapai
sesuatu yang bersih, murni, bebas dari bahaya, keramat, suci atau kudus.
Pawitra memang terkenal sebagai nama lama Gunung Penanggungan. Di
Pawitra terdapat bangunan pertapaan (sang hyang dharmmacrama ing
pawitra) & bangunan pemandian (sang hyang tirtha panenran ing
pawitra).
Merujuk ke Pawitra tadi maka kita bisa lanjut ke kunjungan berikutnya yaitu Candi Belahan atau Candi Sumber Tetek.
Akses menuju lokasi, bisa melalui tiga jalur, lewat jalur Watukosek, lewat Raya Gempol-Apollo, atau juga lewat jalur pandaan.
Akses
paling recommended adalah melalui jalan raya Gempol-Pandaan, dari
pertigaan Pom Bensin Pelem , menuju ke arah barat dan berjarak kurang
lebih berjarak 10 km dari jalan utama melewati desa Jeruk Purut yang
jalannya dipaving blok semua. Hal ini dikarenakan sepanjang area
tersebut sekarang banyak terdapat penambangan sirtu (pasir & batu)
yang diambil dari lereng timur gunung Penanggungan.
Perjalanan
dilanjut masuk desa Belahan hingga kurang lebih 30 menit, menyusuri
perkampungan penduduk, diselingi dengan hamparan bukit dan persawahan di
jalur aspal yang tidak begitu bagus dan menanjak melewati tebing yang
curam yang persis seperti gambaran Negarakertagama pupuh 58 yang
menyebutkan berada di tebing yang curam dilereng gunung Penanggungan
dengan ketinggian sekitar 700 mdpl.
Candi Sumber Tetek
diduga merupakan petirtaan (tempat mandi) yang di peruntukkan bagi kedua
permaisuri Raja Airlangga, yaitu Dewi Laksmi dan Dewi Sri. Uniknya, di
kedua puting payudara (tetek) Dewi Laksmi itu mengeluarkan air. Kedua
arca itu melambangkan kesuburan. Dulunya di candi itu sebenarnya juga
ada arca Wisnu menunggang garuda, yang kini disimpan di museum purbakala
Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Yang menarik dari candi
ini adalah air yang mengalir dari celah-celah bukit Penanggungan ini
tiada habisnya walaupun musim kemarau sekalipun selama berabad-abad
lamanya.
Masyarakat Desa Wonosunyo, - Belahan, dan desa-desa lain
di sekitarnya sering memanfaatkan air yang keluar dari candi ini untuk
kebutuhan air minum sehari hari. Mereka biasanya langsung mengkonsumsi
air itu tanpa harus merebusnya terlebih dulu.
Candi Sumber Tetek
ini dibangun pada abad ke-11. Hal ini seperti angka tahun yang terpahat
pada batu ini, menunjukkan tahun 971 Caka, atau 1049 Masehi. Satu lagi
berbentuk batu tegak (menhir) berukuran setinggi pinggang orang dewasa.
Sayangnya,
pemerintah daerah atau pengelola situs kurang memperhatikan fasilitas
dan sarana penunjang wisata sejarah ini. Warung makanan, toilet, dan
tempat parkir yang memadai juga belum terlihat di sana. Tempatnya yang
berada di atas pegunungan merupakan nilai lebih yang seharusnya menjadi
daya pikat wisatawan. Jalan menuju candi yang rusak berat harusnya
menjadi prioritas utama yang harus segera ditangani. Supaya, wisatawan
dengan nyamannya bisa mengunjungi warisan Raja Airlangga ini.
Dari
atas bukit inilah kita bisa memandang ke utara sebatas mata memandang
termasuk kepulan asap dari lumpur Lapindo – Porong akan sangat jelas
terlihat dari puncak petirtaan ini.
Acara terakhir tak
komplit kiranya kalau kita tidak masuk ke area petirtaan Jolo Tundo yang
bisa di akses dari pertigaan Japanan, Gempol kearah Watukosek (Pusdik
Brimob) terus belok kiri menuju desa Jolotundo. Jalan masuknya sangat
mulus dan bagus dibandingkan jika kita menuju petirtaan Candi Belahan.
Sebelum masuk kesana kita akan melewati wilayah yang disebut Kutogirang
yang konon disinilah tempat dilangsungkannya upacara resepsi jamuan
makan raja dan para tamunya (Kuto girang diambil dari kata Mahkota yang
artinya Tahta dan Girang yang artinya bersenang-senang – Red).
Baik
Petirtaan Candi Belahan maupun Jolo Tundo merupakan warisan peninggalan
Airlangga dari kerajaan Kahuripan – Kediri dan kedua petirtaan inipun
masih terus dipakai oleh penerus kerajaan Majapahit sebagai bagian dari
upacara kenegaraan (Jamus Nuswantara) terutama pelantikan Raja dan
Permainsuri Raja.
Dalam prosesi di atas khusus untuk air
suci biasanya diambil dari Petirtaan Candi Belahan dan untuk siraman
calon permainsuri dan raja biasanya dilaksanakan di Petirtaan Jolotundo.
Ada
hikmah yang tersirat dari lawatan terakhir ke petirtaan Jalatundo,
dimana antara pemandian putri dan pemandian putra terpisah cukup jauh
dan ada sebuah tabir.
Hal ini menunjukkan bahwa saat itu etika /
tata krama secara Islam sudah masuk dalam upacara kenegaraan sejak
ribuan tahun silam.
Tambahan : Sebenarnya disekitaran
gunung penanggungan kita akan mendapati puluhan candi-candi dan punden
berundak peninggalan mulai dari abad ke 8 hingga ke 16. Salah satu candi
yang berada disalah satu bukit Bekel misalnya Candi Putri, Candi Putra,
Candi Gentong dan Candi Sinta.
(https://www.facebook.com/notes/ghuzilla-humeid/napak-tilas-kejayaan-nusantara-di-wilayah-gempol-pasuruan/970376349644365?pnref=story)
0 komentar
Write Down Your Responses