Indonesia dan Pesan Pujangga

Oleh. M. Arief Pranoto


Jujur saja, coretan ini terinspirasi oleh status di facebook-nya Mas Hendrajit (16/6/2012), Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta tempat saya biasa cangkruk dan ngopi-ngopi menjelang malam tiba, atau diskusi terbatas dengan staf GFI, atau seringkali justru cuma ngobrol ngalor-ngidul.

Bunyi statusnya begini:

“Oleh Yahya Cholil Staquf. Minggu lalu di Doha, Qatar, saya mengikuti International Working Group for Compassion (Kelompok Kerja Internasional untuk Rahmah) yang dipandegani oleh Karen Armstrong. Pesertanya para tokoh agama-agama samawi dari berbagai negara. Gagasannya adalah: bagaimana mewujudkan compassion (bahasa kita: rahmah) yang merupakan inti ajaran semua agama dalam praktek beragama ummatnya.

Para peserta berdiskusi seru tentang makna praktis (wujud praktek) dari compassion itu. Saya mengerti bahasa Inggris maupun Arab yang mereka gunakan. Tapi saya merasa tersesat dalam keramaian sehingga cuma bisa ngowoh, sampai seseorang meminta saya ikut bicara.

"Rasanya, saya tidak bisa ikut menyumbang definisi", kata saya, "Dari tadi saya menunggu apabila diskusi sampai kepada masalah seperti yang kami hadapi di Indonesia. Karena kami, komunitas Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia, menghadapi masalah yang berbeda arahnya dari masalah Anda semua. Terus terang, selama ini kami jarang memikirkan definisi 'compassion', karena selama berabad-abad dengan mudah bisa menyaksikan teladan hidup praktek compassion itu, yang ditradisikan oleh para pemimpin dan guru-guru kami. Kalau disini Anda semua mencari definisi 'compassion', kami sebenarnya telah menghidupinya dalam tradisi kami selama ini, dan kini sedang menghadap ancaman terkikis oleh kampanye Islam formalistik dan radikal yang gencar. Telah bertahun-tahun kami bertarung menghadapi ancaman itu, hingga kami sampai pada fakta bahwa sumber ancaman itu bersifat global. Maka sekarang kami sedang berusaha meraih kerjasama global dengan pihak mana pun yang sama prihatinnya dengan kami, untuk menghadapi ancaman itu bersama-sama".

Kasus di atas bagi saya cukup menarik, meskipun saya tidak kenal siapa Yahya Cholil Staquf. Tetapi dari uraiannya, dapat dipahami bahwa ia adalah tokoh NU, Ormas Islam terbesar selain Muhamadiyah di republik tercinta ini.

Mencoba menangkap “kegelisahan hati”-nya sewaktu mengikuti working group agama-agama samawi (langit) di Doha, perihal compassion atau Rahmah, arti dalam bahasa Arab. Arti Indonesianya ialah KASIH SAYANG. Adapun bentuk kegelisahan Cholil adalah sebagai berikut:

(1) Dalam diskusi dan bahasan praktek rahmah di forum tersebut, ia seperti “tersesat di keramaian”. Kenapa demikian oleh karena praktek beragama di Indonesia kini justru terkikis oleh model Islam formalistik dan radikal;

(2) Praktek beragama di tanah air, khusus dalam hal rahmah sesungguhnya tidak lagi pada pencarian definisi seperti dalam working group, namun telah sampai tahapan praktek atau implementasi. Adanya keteladanan dari pemimpin misalnya, guru, orang tua, atau suri tauladan seorang senior dan lainnya sudah merupakan tradisi (budaya) bahkan telah ada sejak dari dulu;

(3) Tetapi dalam prakteknya sekarang, entah karena globalisasi, tradisi (mulia) keteladanan akan rahmah dari para “pemimpin dan orang-orang tua” semakin hilang akibat pengaruh dan ancaman yang bersifat global. Itulah yang kini terjadi.

Demikian “tiga kegelisahan” seorang Yahya Cholil dari NU, kalau tidak salah tangkap. Luar biasa memang, sebagai negara muslim terbesar di dunia, bolehkan kegelisahan di atas diidentikkan dengan kegelisahan dunia muslim pada umumnya? Entahlah.

Catatan sederhana di bawah ini mencoba mengurai pokok kegelisahan Cholil, lalu mengaplikasikan dalam praktek berbangsa dan bernegara di republik tercinta. Nah, inilah uraian tak ilmiahnya.

Mengurai maksud dan makna “kasih sayang” (rahmah atau compassion) sebenarnya sederhana sekali. Bila diurai berdasar tafsir, maka bisa diambil contoh-contoh dari situasi, peristiwa, siklus alam, dan lainnya. Misal ada siang - ada malam; lelaki - perempuan, sedih - gembira dan seterusnya. Sudah barang tentu, yang mutlak adalah “ada pencipta” dan “yang dicipta”. Itulah pokok bahasan nanti. Mencermati keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan (sementara), bahwa terdapat dua area atau kawasan dalam catatan ini. Pertama adalah Kawasan Tuhan, dan kedua ialah Kawasan Manusia.

Kawasan Tuhan ialah kawasan yang tak dapat dijamah oleh manusia, sedang kawasan kedua (area manusia) bisa dirambah. Maksudnya adalah bahwa semua itu merupakan bukti kebesaran Dia, Yang Maha Perkasa. Sementara area kedua tentang Kawasan Manusia duduknya sebagai pemimpin di alam semesta ini. Modal pemimpin ialah kasih sayang. Dengan kata lain, semua itu untuk membedakan antara pemimpin dan yang dipimpin sesuai kadar dan kemampuan masing-masing. Kemampuan Maha Besar (Akbar) milik Allah. Tuhan kita semua. Kemampuan kedua paling besar ialah kemampuan kasih sayang manusia. Meski hewan pun memiliki kasih sayang, tetapi tidak sama seperti yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kasih sayang keduanya berbeda. Ya. Kasih sayang binatang adalah pengorbanan dirinya kepada Tuhannya dan kepada manusia.

Dengan demikian, seorang pemimpin tanpa kasih sayang adalah OMONG KOSONG. Itulah kasih sayang berdasarkan tafsir dan maksud, agar menjadi tentram jiwa ini. Sedang filsafat kasih sayang dalam kehidupan pujangga, tertuang dalam sastranya: ”menang tanpo perang, kalah tanpo ngasorake, nglurug tanpo bolo, sakti tanpo aji”, demikian seterusnya. Begitu indah dan bermakna namun begitu bersahaja ucapan seorang pujangga. Adakah ia tengah diantara kita kini? Mudah-mudahan saja.

Sebagaimana kegelisahan Cholil dalam working group di Doha, tampaknya unsur kasih sayang hampir punah dari habitatnya di segala lini kehidupan. Kendati tidak terlihat secara jelas, namun ditengarai munculnya banyak sifat serta perilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti sopo siro-sopo ingsun, atau adigang-adigung-adiguno dan lainnya. Menguatnya gejala rasa tak peduli (apatis) terhadap lingkungan sekitar, justru semakin menambah beban kehidupan.

Retorikanya, kepada siapa lagi rakyat kecil hendak bernaung, berharap dan mengadu, tatkala kasih sayang hampir tak ada. Menangislah Ibu Pertiwi, keringlah air matanya bila suara hati cuma boleh bergumam saja. Ibarat bunyi lebah kehilangan induk, atau bakal berpindah alamat? Entah kemana. Itulah pesan pujangga. Hati-hati dan waspada itu lebih baik.

Ketika aroma aji mumpung menyengat di segala penjuru. Katanya lagi musim “karaoke”, alias keruk sana - keruk sini, sabet sana-sini: OKE. Betapa negeri ini seperti tidak ber-Tuan, atau mungkin sudah tak ber-Tuhan. Sedang sila pertama dari Pancasila telah terabaikan bahkan diabaikan, bagaimana bisa meneruskan sila-sila lanjutannya? Itulah perlunya Ilmu (Tauhid) dalam Tata Negara. Semua terjadi karena setiap diri sadar bahwa penghormatan telah punah, hingga menyeruak kental rasa takut, kemudian ketidakpastian timbul disana-sini. Terutama sekali musnahnya KEPERCAYAAN rakyat terhadap para pemimpin.

Ya. Kasih sayang terhadap sesama kini telah kabur, berubah remang dan tidak jelas, sehingga banyak orang bingung menghadapi masalah. Sementara ajaran leluhur tempo doeloe telah mengingatkan anak bangsa ini melalui sastranya : lha ngopo ngurusi wong lali, wong lali kuwi bingung atine amergo nuruti bener karepe dewe sing bener nurut marang Pengerane (buat apa mengurusi orang lupa, orang lupa itu bingung hatinya karena menurut benarnya sendiri padahal yang benar menurut tata cara Tuhannya).

Penghormatan kepada pahlawan pun hampir punah. Jas Merah, kata Bung Karno. “Jangan lupakan sejarah” kini cuma sekedar dogma tanpa ada ujud keseharian. Bila dahulu pahlawan ditaburi bunga dibawakan bokor kencana, namun kini pepatah itu bergeser : Pah! Lawan, Pah! Lawan! Ayo Taburi, Bokong! Kencan! Aaahhh ...

Silahkan teliti dan cermati untaian kalimat pujangga. Semoga dipahami. Ingat, ingat dan ingatlah bahwa praktek berbangsa dan bernegara sepertinya ya begitu-begitu saja, tidak ada yang bergeser hanya berubah nama. Andai para elit dan pemimpin bangsa ini menerapkan kasih sayang kepada rakyat. Niscaya segala masalah berbangsa dan bernegara mudah terselesaikan. Ibarat bunyi ombak di lautan, maha luas! Hulupis kuntul baris. Seiring dan seirama, laksana tsunami mengangkat apa saja. Apa yang ada.

Begitulah tutur pujangga. Lalu ia pun tersenyum sambil berbisik, di negeri ini masih banyak yang memiliki jiwa seperti dimaksud. "Semoga Badai Cepat Berlalu". Sayup terdengar nyanyian di radio, suaranya lamat di kejauhan : "Bangkitlah rakyatku! Bangkitlah bangsaku demi kejayaan Indonesia raya!".

(Disarikan dari berbagai sumber)

0 komentar

Write Down Your Responses