Strategi Gelap Singapura “Melindungi” Selat Malaka (5)

Oleh. M. Arief Pranoto


Apa langkah Singapura dalam rangka mempertahankan posisi sebagai epicentrum (titik magnet)-nya di Asia Tenggara, lalu bagaimana antisipasi terhadap malacca dilemma? Bukankah Selat Malaka adalah nafas, bahkan jantung bagi dinamika kehidupannya? Itulah persoalan nyata Negeri Singa kini dan ke depan. Sebagamana pernah dibahas sebelumnya, jika kelak tertutup atau ditutup Selat Malaka, maka akan “mati” Singapura!

Sekilas Skema DCA
Upaya di sektor gas misalnya, bahwa ketergantungan Negeri Singa atas pasokan 80% gas Natuna membuatnya atur strategi melalui (tawaran) Defence Cooperation Agreement (DCA) kepada Indonesia. Inti DCA ialah pinjam lokasi bagi latihan militer Singapura di Natuna. Seperti kita maklumi bersama, minimnya ruang teritorial baik di perairan, daratan dan udara membuat “nganggur” personel militer dan peralatan tempur miliknya. Tak ada ruang untuk latihan. Mungkin tentara Paman Lee itu mirip anak kota yang takut “jalanan becek”, oleh sebab tak pernah latihan di medan nyata, hanya latihan kering dan simulasi.

Soal DCA, jangan sekali-kali lengah! Tawaran skema tersebut hanya open agenda, sedang hidden agenda seandainya ia lolos, niscaya akan berdiri pangkalan militer asing (Singapura dan sekutu) di Natuna. Jangan pernah terjadi. Sekali lagi, perihal pangkalan militer pun kemungkinan juga sasaran antara, karena terdapat hal lebih signifikan lagi yaitu penguasaan gas Natuna oleh otoritas Singapura. Sekali kayuh dua pulau terlewati. Ada tempat latihan dan pangkalan militer, sekaligus cengkraman atas aliran gas Natuna.

Syukurlah tawaran DCA digantung, meski Paman Lee menjanjikan ekstradisi dan tukar perkara yang selama ini ditabukannya. Agaknya segenap elit dan petinggi republik ini menyadari, jika kelak bercokol pangkalan militer asing di Natuna maka seperti membuka pintu bagi kolonialisme secarasymmetric, kendati dari perspektif asymmetric strategy, sebenarnya kita telah dijajah oleh asing melalui “sistem”.

“Menutup” Selat Malaka
Tak dapat dipungkiri, Selat Makala memang nafas dan jantung bagi Paman Lee. Tersumbat jantungnya bakal tersengal-sengal nafasnya. Dengan kata lain, tatkala berkembang rencana, fenomena, atau aktivitas pembangunan dll di sekitar selat tersebut, terutama jika kegiatan dilakukan para negeri tetangga yang berpotensi memunculkan “kompetitor” bagi Selat Malaka, maka dipastikan ia akan berusaha “memadamkan”, menghambat, bahkan kalau perlu menggagalkan rencana dengan segala cara. Itulah makna kata menutup dari sub bab “Menutup” Selat Malaka di atas. Segala aktivitas yang memiliki dampak kompetitif pada selat dimaksud.

Adanya latihan perang-perangan angkatan laut Cina di selatan Jawa, dekat pulau Christmas milik Aussie, boleh diibaratkan “pukulan” bagi Singapura. Betapa tidak, bahwa selama perjalanan kapal-kapal perang Paman Mao tanpa sedikitpun melewati Selat Malaka, akan tetapi justru melalui alur-alur laut (ALKI) di Indonesia. Saat berangkat melintas di ALKI I dengan rute Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, SELAT SUNDA, dan terakhir menuju Samudera Hindia. Sedangkan rute pulang melintasi ALKI II, yakni SELAT LOMBOK, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Sawu, Laut Cina Selatan, lalu kembali lagi ke pangkalannya di Hainan. Tampaknya Cina ingin memberi pesan kepada Paman Lee, bahwa peran Selat Malaka baginya sudah bisa digantikan oleh selat dan perairan lain (Indonesia) jika hendak berlayar ke Lautan Hindia.

Peristiwa di selatan Jawa, sekurang-kurangnya telah mematahkan teori Zhao Yuncheng dariChina‘s Institute of Contemporary International Relations: “whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.” Termasuk juga menguburstatement Presiden Hu Jiantao akan ketergantungan kepada Paman Lee karena 80% impor minyaknya melalui Selat Malaka. Bagi Cina kini, tampaknya Selat Malaka sudah dianggap masa lalu.

Zaman Pak Habibie menjadi Presiden RI ke 3, Negeri Singa itu sempat cemas karena mimpinya memiliki Sabang, Batam dan Bintan yang mampu mengalahkan Singapura. Bahkan ketika Lee menghadap ke Jakarta guna membangun komitmen pun ditolak oleh Habibie, sebab ia yakin Indonesia pasti dirugikan. Dan kejatuhan Habibie melalui “kudeta” di MPR berupa penolakan pertanggungjawabannya, diyakini oleh banyak pihak ada kontribusi Singapura pada kudeta halus tersebut, karena terkait mimpi-mimpi Habibie jika terwujud akan mampu “menutup” Selat Malaka. Era Bung Karno (BK) lebih hebat lagi, mungkin Indonesia ibarat hantu yang hadir di setiap mimpi Paman Lee karena visi BK terhadap neokolonialisme membuatnya tak lelap tidur.

Bersambung ke (6)

0 komentar

Write Down Your Responses