Gejala Perang Dunia III

Oleh. M. Arief Pranoto (Gejala Perang Dunia III: mencermati perubahan musim dan pola shock and awe di Jalur Sutra)


Betapa masa depan kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian dunia kini tengah muram di ujung jalan. Termenung di persimpangan, mengambang dalam ‘peta perang’ (roadmap) yang hendak dinyalakan oleh Amerika Serikat (AS) dan para sekutu di Syria dan sekitarnya. Tampaknya Perang Dunia (PD) III kini bukan lagi sebuah konsep yang abstrak, mengingat gejala-gejalanya terlihat semakin nyata. Berbagai negara telah mempersiapkan secara sungguh-sungguh menghadapi PD dimaksud. Para adidaya baru pun menggeliat bangun mempertontonkan “aura”-nya. Tak kurang Rusia show of force atas teknologi perangnya, Cina tak mau ketinggalan. Ia pamerkan kapal induk, satelit, smart bom dan lainnya. Saudi Arabia memborong 84 pesawat boeing baru jenis  F-15SA dan modernisasi 70 pesawat dari Washington, yang merupakan rangkaian kesepakatan kali pertama Oktober 2010 sebagai bagian dari penjualan senjata AS senilai 60 miliar dolar kepada Arab Saudi, mencakup Black Hawk dan helikopter tempur Apache, dan banyak lagi contoh-contoh lainnya.

Paling fenomenal lagi menyentak kita semua mungkin geliat Jepang dan Cina. Ya, kedua negara seolah-olah kompak “menolak US dollar” dalam setiap transaksinya. Itu berarti perusahaan di Cina dan Jepang dapat mengkonversi mata uangnya secara langsung, tanpa terlebih dahulu mengkonversi ke dolar AS.  Luar biasa. Sikap tersebut diperkirakan mampu menimbulkan gelombang imitasi global, ditiru oleh negara-negara lain, baik karena efek langsung maupun tak langsung, atau oleh sebab snawball process alami. Maknanya, bahwa tidak lama lagi bakal muncul “tsunami dolar”. Ya. Dolar akan mudik menerjang negeri asalnya, menjadi tumpukan kertas-kertas tidak berharga.

Kembali ke gejala PD III, bahwa tema sentral yang ditabuh adalah nuklir dengan Iran sebagai lakon sekaligus “kambing hitam”, sedang banyak negara juga memproduksi nuklir namun tak menjadi masalah apa-apa. Tak gentar sedikitpun, kendati titik bidik superpower dan sekutu mengarah ke Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara), terutama fokus bidikan kini ada di Syria dan Iran. Tatkala  timbul pertanyaan kenapa dipilih Jalur Sutra, kemungkinan besar asumsi Tony Cartalucci dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, mengilhami para pengambil kebijakan di Gedung Putih, yakni: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”.

Buku Killing Hope: US Military and CIA Intervention Since World War II  karya dari William Blum menyebut, bahwa AS memiliki rekor tertinggi sebagai agresor dalam sejarah perang modern. Ia mengungkap, bahwa AS pasca kemerdekaan dekade 1776-an justru aktif menciptakan gelombang pertempuran serta mengobarkan sembilan perang besar. Sekitar 200-an kali bahkan mungkin lebih invasi militer yang ia ciptakan. Dan terhitung semenjak 1977 - 1993 telah menyerbu 32-an wilayah di luar negaranya.

Data dalam buku Blum tersebut, tidak termasuk sinergi smart dan hard power-nya yang dimulai dari Tunisia, Yaman, Mesir, Libya dan seterusnya berkedok “Musim Semi Arab”. Itulah potret kembara militer AS sejak kemerdekaan hingga kini. Akan tetapi gerakannya kali ini sungguh membuat cemas bersama, karena dalam desain global militer di Pentagon bertajuk “Penaklukan Dunia” sesuai paparan Jenderal Wesley Clark (2005) mantan Komandan NATO benar-benar mengancam perdamaian dunia. Tak kurang Michel Chossudovsky, Pendiri dan Direktur CRG dan Finian Cunningham, peneliti pada CRG (The Globalizaton of War: The “Military Roadmap” to World War III, di www.globalresearch.ca), menggambarkan jika perang nuklir diluncurkan, seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar!

Ya, sepertinya AS hendak memaksakan grand design-nya di Jalur Sutra. Entah kenapa. Indikasi terlihat dari penyebaran militer secara bersamaan di berbagai belahan dunia. Maka harap maklum ketika kini banyak bertebar stigmaisasi dan dalih-dalih pembenar mengawali pagelaran perang, termasuk gerakan tambahan oleh AS Cs dalam rangka ‘pemanasan’. Sebagai contoh, Iran dianggap ancaman untuk Israel, AS dan dunia; atau tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat kepada rezim Bashar al Assad; ataupun sanksi diplomasi, finansial dan ekonomi terhadap Iran agar ia tidak bisa menjual minyak, dan sebagainya. Dan agaknya, sanksi terakhir ini justru dibalik oleh Iran dengan ancaman penutupan Selat Hormuz sehingga menyulut pro-kontra dunia mengingat betapa vitalnya selat tersebut dalam skema distribusi (minyak) kargo baik antar negara maupun antar benua. 

Menyimak hal di atas, sepertinya skenario yang tengah dijalankan Paman Sam mirip atau bahkan persis tatkala George W. Bush dulu memblokade ekonomi Irak sekitar 10-an tahun, sebelum akhirnya Saddam Husain diserbu (2003), kemudian digantung (2007); atau blokade ekonomi selama 18 bulan oleh Israel terhadap Palestina yang berujung Perang Gaza dekade 2008-an (baca: Pesta Kabaret di Gaza, di www.theglobal-review.com), demikian seterusnya. Ya. Ada semacam shock and awe untuk langkah awal, sebagai permulaan. Disinyalir, begitulah pola tetap yang sering ia mainkan sebelum menggelar suatu peperangan --- artinya “sasaran target” dibuat lemah terlebih dahulu dari sisi internal, baru kemudian diserang habis-habisan!

Tambahan lain yang layak dicermati ialah penciptaan destabilisasi politik melalui perang sipil atau pemberontakan. Fase ini digelar ketika methode smart power ala “Musim Semi Arab” gagal membuat lengser rezim yang ditarget. Hal ini tergambar di Libya dan Syria. Artinya untuk methode di kedua negara tadi memang berbeda dengan pola-pola di Tunisia, Yaman dan Mesir yang cukup melalui gerakan massa secara terus menerus, sehingga membikin gerah para elit “boneka” seperti Ben Ali, Abdullah dan Mobarak pun terbirit turun takhta.

Namun diluar dugaan, timbul “kebangkitan Islam” sebagai fenomena yang mencengangkan bahkan membuat babak-belur AS dan sekutu karena misinya tidak juga memetik hasil. Misalnya, perlawanan maha dahsyat dari Taliban dan tentara lokal di Irak dan Afghanistan ---dalam konsep militer modern, mereka cuma sekelas pengacau keamanan, atau sejenis insurgent--- selama kurang lebih 10 tahun, dan ternyata mengakibatkan AS dan sekutu (sekitar 42 negara) tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara/NATO dan International Security Assistance Force (ISAF), terpaksa menarik mundur pasukan tanpa membawa hasil apa-apa kecuali khabar tentang tentara tewas, gila, cacat permanen dan yang vital adalah krisis ekonomi bagi negara-negara yang terlibat perang dan sharing saham!

Agaknya kisah “kebangkitan” di Irak dan Afghanistan terulang lagi, meski dengan kemasan berbeda. Setidak-tidaknya di Yaman, Tunisia dan Mesir yang dianggap “Musim Semi”-nya kepentingan-kepentingan Barat oleh media mainstream, niscaya berubah 180 derajat menjadi “Musim Gugur” bagi AS dan sekutunya. Betapa gelombang kedua revolusi kembali marak di jalan-jalan bertajuk “perubahan sistem”, tak cuma sekedar ganti rezim sebagaimana target “revolusi warna”-nya CANVAS (baca: Melacak Revolusi Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara, di Global Future Institute (GFI), www.theglobal-review.com).   

Isyarat Hugo Chaves, bahwa perang kolonial yang ditebar AS hendak memulihkan sistem kapitalis yang cenderung bangkrut (baca: Modus dan Seri Baru Perang kolonial, Waspada buat Indonesia, di GFI, www.theglobal-review.com), maka menyamakan tata cara pemulihan suatu sistem dengan menjiplak pola pemulihan Great Depression (1930) via PD, merupakan gebyah uyah dan cermin generalisasi tindakan yang lahir dari kerangka logika teramat panik. Saya jadi teringat tesis Bung Karno, Proklamator Indonesia: “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”.

Akhirnya tibalah pada retorika dari catatan singkat ini, yakni manakala AS dan sekutunya bernafsu mengobarkan PD III dengan tujuan jahat memulihkan sistem kapitalis yang telah bangkrut, apakah roadmap itu merupakan kecerdasan, kebandelan, kebodohan, atau cermin keputus-asaan dari para elit kapitalis yang meremote jalannya perang dari kejauhan; bukankah di Jalur Sutra kini banyak fenomena yang tidak pernah ditemui sewaktu pecah PD II doeloe? Silahkan kita semua mencermatinya.

0 komentar

Write Down Your Responses