Jangan terpancing
Oleh. Ki Jenggung; (Jangan terpancing : hal positif dari kelakuan Malaysia)
Banyak orang bilang, kita sudah terlalu “menyakralkan” seni-budaya asli sehingga tak boleh diutak-utik. Kata mereka, zaman sudah berubah. Dan, Malaysia tahu pasar guna mendongkrak gengsi dan nilai komersial seni budaya tetangganya yang terbengkalai itu. Kutu di seberang tampak, gajah di pelupuk tak terlihat.
Indonesia sedang mengalami proses cuci otak untuk menjadi “manusia modern”, “masyarakat dunia”, sehingga harus berorientasi ke Barat. Kebudayaan Timur? Itu kuno, bodoh, terkebelakang, tak bisa menghasilkan “teknologi tinggi”. Ketika orang Indonesia sudah kehilangan orientasi, dibuat bingung, limbung, maka dengan senyum kemenangan kaum kapitalis dunia masuk dengan jaminan keamanan, kenyamanan first class service. Atas jasa Malaysialah kita sadar sebentar lalu lupa kembali, life goes on as usual.
Apa Malaysia berjasa betulan? Sedikit. Hanya pengingat. Negeri kecil ini seperti kancil menghadapi raksasa yang namanya Indonesia—yang sejak zaman Orla sudah diberi label agresor oleh orang Barat, terutama AS. Dia lemparkan isu-isu kecil. Kalau lolos, Malaysia yang mengunduh hasilnya, Indonesia gigit jari.
David melawan GoliathSiapa tak ngeri berhadapan dengan negara besar yang penduduknya temperamental, ganas, agresif, dan kini sedang frustasi karena presidennya lemah? Presidennya boleh lemah, tapi energi negeri besarnya luar biasa. Sejak ribuan tahun sudah dilirik bangsa lain karena sumber dayanya yang luar biasa. Ini bukan kata penghibur, melainkan fakta sejarah—yang baru tergali—membuktikannya. Malaysia “ngeri” karena pengalaman digebrak Sukarno. Hanya Inggris dan Beruang Teddy Amerika yang membuat negeri itu masih hidup, tapi dengan hati empot-empotan.
Sejak awal kemerdekaan RI, sejumlah tokoh Malaya ingin bergabung dengan Indonesia yang dianggap heroik mampu merebut kemerdekaannya, dan bukan dihadiahi. Lalu, ketika Malaysia terbentuk, Kalimantan Utara ingin membelot dan bergabung ke NKRI. Ini cukup sudah untuk melegitimasi Indonesia sebagai agresor.
Malaysia yang terbentuk kemudian—atas hadiah empuk negara imperalias-kapitalis—menghadapi masalah pelik. Sebab, puak Melayu tertepikan, kalah bersaing dengan orang Cina dan India. Mahathir Muhammad mengadakan otokritik tentang puak Melayu, kemudian implemtasinya adalah menggiring orang Melayu ke daerah perkotaan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kekosongan di perkebunan diisi oleh orang Melayu kelaparan dari Indonesia, hingga sekarang. Guna memperkuat daya tawar, didatangkan guru, dosen, dan cendekiawan dari Indonesia juga.
Kalau dulu David hanyalah makhluk kecil, kurus, tak berdaya, menghadapi Goliath yang memiliki daya tempur tinggi, semangat nasionalisme besar, dan punya peralatan perang terbaik di Asia Tenggara, maka kini Goliath tinggal raksasa ompong yang bodoh. Dan, David sudah jadi pemuda tampan, lihai, santun, tenang, dan tentu saja licik.
“Goliath sekarang ini tidak bodoh, tapi guoblok sekali!” pekik Mat Semprul dari dalam warung.
Mungkin itu betul, sebab Indonesia kini tak tahu apa yang harus diperbuat. Presidennya dipusingkan oleh problema partai abal-abal bentukannya sendiri, apalagi mikir negara. Ada kementerian yang mengurusi pariwisata, dan ada yang mengurusi kebudayaan. Keduanya tak jelas, baru terlihat kalau menjelang akhir tahun banyak iklan layanan masyarakat yang tidak membeber program, melainkan cuma menebar pesona dan citra diri.
Awas beruang di belakangMalaysia akan terus menggiri-giri, mengganggu Indonesia supaya terpancing dan membikin stori. Kasarnya: perang. Dengan perjanjian pertahanan dengan Beruang Teddy dan Kanguru, maka Indonesia siap jadi bahan pesta nikmat. Ada 17.500 pulau akan dibagi-bagi, siapa yang menguasai. Dan, tentu pulau besar dan menghasilkan emas seperti dalam dongeng Eldorado akan jadi bagian Tuan Besar Beruang Teddy. Itulah tugas atau peran negeri kecil dan paranoid guna menghadapi Goliath yang bego.
Kalau negeri besar tapi linglung itu mengamuk, menyerang Malaysia, maka Beruang Teddy besar ganas yang ada di belakangnya dengan mudah mengerahkan armada ketujuhnya mengacak-acak Indonesia. Sudah lama Beruang kesetanan itu mengincar Indonesia secara “legal” seperti mereka mengacak-acak Irak, negara-negara Timteng lain dan Afghanistan sekarang ini. Mereka mencari alasan tepat untuk berpesta pora di Indonesia sebagai the next Iraq, Afghanistan. Antek-antek mereka sangat banyak yang siap melancarkan tujuan itu di dalam negeri.
Kita masih berterimakasih pada Malaysia dengan syarat, kita langsung sadar akan jatidiri sebagai bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, bukan sektarianisme yang akan mempermudah agresor masuk ke Indonesia. Semakin banyak ide sektarian impor, akan semakin mudah kita terpecah, lantas kian mudah kita dikunyah. Mau?
(Sumber : https://www.facebook.com/notes/m-djoko-yuwono/jangan-terpancing-/10151239217864128?notif_t=note_reply)
0 komentar
Write Down Your Responses