Singapura: “Negeri Makelar” Sarangnya Koruptor? (4)
Oleh. M. Arief Pranoto
Sebagaimana pengantar kemarin, tulisan ini juga kelanjutan 3 (tiga) artikel sebelumnya, antara lain: ‘Benarkah Australia dan Singapura itu “Ujung Tombak" Kolonialisme di Indonesia (1)’, ‘Menakar Kharakter Bebal Politik Luar Negeri Australia (2)’ dan ‘Singapura: “Israel”-nya Asia Tenggara (3)’. Prolog ini sekedar mengingatkan agar tak putus dalam merajut topik. Selamat membaca dan tetaplah berpikir merdeka!
Urgensi Selat Malaka
Ketika merebak anekdot global bahwa Israel itu “Amerika Kecil”, sedang Amerika adalah “Israel Besar”, maka anekdot yang tepat untuk Singapura ialah “Israel”-nya Asia Tenggara. Apa boleh buat. Peringatan kemerdekaan Israel yang dirayakan secara besar-besaran di Singapura setidaknya telah menguak kedok, kemana sejatinya ia berkiblat. Tak kurang, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri, KH. Muhyidin Junaidi mengatakan, peringatan besar-besaran kemerdekaan Israel di Singapura menunjukkan posisi penting Israel di Asia Tenggara.
Namun di sisi lain, sesuatu yang riskan sebenarnya melekat pada Singapura terkait geopolitiknya, yakni ketergantungan terhadap Selat Malaka. Tak bisa dielak, bahkan selat ini boleh dianggap “nafas” bagi dinamika kehidupannya. Memang hampir semua ekspor impor di Asia Tenggara, bahkan di dunia mutlak harus melalui dan transit di Negeri Singa. Entah bagaimana awalnya “sistem makelar” ini dibuat, sehingga kini seperti dijadikan pakem global. Termasuk transaksi perbankan, dan lain-lain.
Udang Indonesia misalnya, sebelum diekspor ke berbagai negara harus “ngantong” dulu di Singapura. Belum jenis komoditi lain. Minyak jangan ditanya, justru judulnya sungguh ironis: “Indonesia impor minyak dari Singapura” hanya karena ketiadaan refenery (kilang minyak) di republik tercinta ini. Bahkan ketergantungan minyak dari luar sempat dijadikan sarana “menakut-nakuti” bangsa ini oleh Wakil Menteri (Wamen) ESDM ketika panas-panasnya hubungan Indonesia –Singapura akibat penamaan Usman Harun pada kapal angkatan laut: "Kalau Singapura dan Malaysia tidak ekspor BBM, dalam waktu lima hari kita bisa meninggal. Sebab kita punya banyak pesawat tempur, nah itu mau diisi apa kalau bukan BBM. Mau diisi air?," kata Susilo Siswoutomo, Wamen ESDM di Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Pakuwon, Sukabumi, (9/2/2014). Luar biasa!
Kembali ke Negeri Singa. Ketergantungan terhadap Selat Malaka, boleh dinilai keunggulan tetapi juga dapat dianggap kelemahan. Sekali lagi, inilah riskannya. Bahasa sederhananya, tutup saja Selat Malaka maka akan “mati” Singapura!
Memang selat dimaksud jalur strategis lagi tersibuk di dunia setelah Selat Hormuz di Teluk Persia.Chokepoints of shipping in the world. Kenapa dianggap selat strategis di Asia, selain peran vital bagi negara-negara di sekeliling, juga tak sedikit negara lain pun bergantung atas geoposisi di jalur perairan internasional. Tak bisa dipungkiri, Selat Malaka merupakan salah satu pintu (utama) pelayaran dari Lautan Pasifik (khususnya perairan Cina) menuju Lautan Hindia.
Data Kementerian Pertahanan RI menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal-kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74%. Dan tahun 2020 diprakiraan mencapai 114.000 kapal. Alangkah sibuknya. Menurut Goldman Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak ialah Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang paling aktif melintasi Selat Malaka.
The Malacca Dilemma
Dampak atas tingginya volume pelayaran, diyakini bakal menjadi kendala bagi para pengguna jalur Selat Malaka. Kini pun mulai terlihat. Traffic congestions misalnya, adalah kemacetan akibat semakin sempitnya jalur, atau pendangkalan di beberapa bagian selat. Hal ini, selain menimbulkan pelambatan waktu jelajah sebab sibuknya pelayaran, juga berpotensi muncul masalah baru seperti kerawanan pembajakan, atau kejahatan lain. Boleh jadi terdapat biaya tambahan akibat waktu tempuh lebih lama, atau sistem pengamanan ekstra bagi kapal-kapal yang melintas, dan masih ada dilema lain terkait hal-hal teknis, taktis operasional bahkan aspek politis dalam lingkup perairan dan pelayaran internasional. Inilah sekilas the malacca dilemma yang mengendala dan secara alamih bakal menemui titik puncak (kemacetan).
Khusus bagi Cina, the malacca dilemma menyimpan hazard tersendiri bagi kepentingan nasionalnya. Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations mengatakan: “whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.” Bahkan Presiden Hu Jiantao pernah menegaskan, malacca dilemma merupakan masalah kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80% impor minyak Cina melalui Selat Malaka, oleh sebab itu keamanan jalur di “selat basah” ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi negeri Tirai Bambu.
Kembali lagi ke Singapura. Belum lagi “cara gelap” terhadap para negeri tetangga terutama Indonesia. Tak boleh dipungkiri, hingga kini ia menolak perjanjian ekstradisi dengan Indonesia dalam hal kerjasama antisipasi kejahatan. Sudah menjadi rahasia umum, ia dianggap safe house,tempat yang nyaman untuk pelaku tindak pidana terutama kaum koruptor, atau pengemplang duit rakyat Indonesia.
Menurut sumber Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, bahwa di Singapura kini tersimpan Rp 400 triliun uang Indonesia yang “diparkir”. Entah uang apa serta dari mana, informasi belum terkuak jelas. Konon jumlah tersebut kian bertambah beberapa kali lipat sejak pemilu 2009 lalu. Adanya bocoran bahwa uang tadi dalam kendali para konglomerat Cina yang berbasis di Singapura, serta akan dikembalikan lagi ke Indonesia apabila presiden mendatang selaras dengan keinginan mereka. Retorikanya adalah: siapa calon presiden pada Pemilu 2014 ini yang pencitraannya didukung oleh para konglomerat Cina secara gegap gempita? Sebuah retorika memang tak perlu jawaban agar tulisan ini bisa dilanjutkan lagi.
Bersambung ke (5)
0 komentar
Write Down Your Responses