Dilema seorang guru honorer daerah
Oleh. Hamid Ghuzali
Suatu hari aku terkesima dan terenyuh saat mengobrol dengan seorang guru honorer
disebuah warung kopi disudut pedesaan. Dia mengeluhkan tentang gaji
bulanannya yang selalu diambilkan dari dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah). Ya gajinya tidak lebih dari 250 ribu rupiah minus potongan
daerah sebesar 50 ribu rupiah.
Yang menarik katanya ketika dana BOS yang setiap bulannya cair itu
“Diotak-atik” guna mencukupi biaya operasional sekolah minus “japrem”
untuk keperluan kepala sekolah dan stafnya, tidak cukup untuk menggaji
guru honorer yang jumlahnya melebihi guru yang sudah PNS disekolah
terserbut. Alih alih mendapatkan gaji, malahan gajinya ditunda hingga
bulan depan yang otomatis “otak-atik” dana BOS makin menggembung juga.
Nasib sang guru bantu inipun juga di-amini oleh rekan seprofesinya yang juga ikutan nimbrung di warung kopi sebelah. Katanya, saya sudah mengajukan semua syarat-syarat untuk diangkat
jadi pegawai negeri pak termasuk juga masuk dalam daftar NUPTK (Nomer
Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) tapi hingga detik ini-pun belum
juga ada kabar beritanya. Boro-boro mengangkat tenaga honorer seperti saya, malahan kepala
sekolah yang seharusnya melindungi dan mengayomi bawahannya justru sibuk
dan asyik dengan memasukkan guru PNS dari tempat lain ke sekolah kami
dimana dia bekerja yang otomatis akan makin mempersempit kemungkinan
saya dan rekan-rekan honorer untuk diangkat menjadi guru PNS.
Kalau dilihat dari jam terbangnya mereka rata-rata lebih dari 5 tahun
mengajar ditempat yang sama dan beberapa tahun ditempat / kota lain
dengan tujuan agar bisa diangkat menjadi seorang PNS ditempat baru
tersebut.
Ada info menarik yang aku tangkap dari pembicaraan mereka berdua
bahwa selama ini mereka ibaratnya sebagai sapi perah yang bisa
dimanfaatkan oleh guru PNS se-enaknya dewe. Mulai dari tugas sebagai
guru pendamping, guru mata pelajaran hingga guru ekstrakurikuler dan
guru les tambahan disekolah (yang otomatis juga gratis, berhubung dana
BOS tidak mencukupi).
Disini seperti ada jurang pemisah antara guru PNS dan honorer,
seperti ada istilah antara tenaga “legal” dan tenaga “Illegal”. Tidak
ada lagi istilah peri kemanusiaan, yang ada hanya eksploitasi mereka
sebagai tenaga utama mendampingi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
Tugas guru PNS kebanyakan tak lebih sebatas menerima laporan dari guru
honorer, “mengakui” hasil kerja terbaik dari guru honorer sebagai hasil
karyanya berikut tanda-tangan di berbagai hasil bidang studi yang
kesemuanya merupakan jerih payah dari para guru bantu atau honorer. Memang ada beberapa guru PNS yang “amanah” dan biasa terjun All In dalam kegiatan belajar mengajar tapi jumlah mereka itu dibilang minim dan nyaris tak kelihatan dimuka umum.
Yang menarik saat ini kata mereka adalah terkait status guru SD yang
harus harus sekolah lagi di pendidikan guru sekolah dasar (PGSD),
padahal mereka sudah mengantongi ijasah dari pendidikan sarjana S-1,
semisal bahasa inggris yang bobot dan nilainya justru lebih tinggi
dibandingkan dengan pendidikan PGSD itu sendiri. Ibaratnya seperti turun
peringkat atau derajat.
Disinyalir keputusan untuk sekolah lagi di PGSD seperti di atas
dianggap cacat hukum dan menyalahi hukum perundangan yang berlaku serta
bisa diajukan tuntutan balik dilembaga peradilan melalui lembaga
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke badan yang menanganinya.
Dilain sisi menyentil soal penggunaan UU terbaru tentang penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris. Mungkin untuk guru yang sudah sertifikasi dan PNS bisa dialihkan ke
tempat pendidikan yang lain semisal Sekolah Menengah Pertama (SMP) tapi
bagaimana nasibnya dengan guru-guru sukwan atau honorer yang lain,
akankah pemerintah akan membuangnya begitu saja, sedangkan mereka sudah
mengabdi ditempat itu bertahun-tahun lamanya.
Terus manakah yang disebut kesejahteraan guru? Apakah Cuma PNS saja?
Saya pribadi sangat menghormati profesi guru sebagai soko guru yang
melahirkan insan-insan muda yang berkharakter demi kelangsungan dan
martabat bangsa kita didunia internasional. Bahasa Inggris merupakan
salah satunya alat komunikasi yang efektif dalam mengemban tugas
kenegaraan maupun diplomasi orang-orang kita terhadap dunia luar.
Sangatlah naïf jika sekelas menteri, bupati ataupun wakil daerah saja
untuk berbicara bahasa inggris masih putus-putus atau malahan
menggunakan penerjemah. Dan ini merupakan pukulan telak dalam
berdiplomasi.
Menarik untuk dicermatinya serta ditarik benang merah yang selama
ini terjadi terhadap nasib seorang tenaga sukarelawan atau honorer yang
masih terkatung-katung nasibnya diantara makin banyaknya “titipan” guru
PNS yang tidak berbobot dengan kesungguhan guru honorer yang bekerja
membanting tulang dalam melaksanakan tugas mulia sebagai seorang guru.
Kiranya ada peran pemerintah dan semua lapisan masyarakat disini guna
menelusuri benang merah yang selama ini terjadi dan tidak pernah muncul
dipermukaan yang kemungkinan saluran komunikasinya terputus atau
sengaja diputus oleh oknum atau-pun aparat pendidikan guna melanggengkan
korupsi berjama’ah mereka selama ini yang lolos dari jerat hukum akibat
kerjasama tahu sama tahu (TST) diantara mereka dalam berbuat keji dan
kemungkaran ditengah gaung pemerintah dalam melancarkan slogan “Clean
Government” yang bersih dan berwibawa.
Akhirnya ditemaram senja sayup-sayup kudengar lagu hymne guru :
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa
Referensi :
http://kampus.okezone.com/read/2012/10/19/373/706488/guru-dan-murid-tolak-bahasa-inggris-dihapus
http://utamiutar.com/index.php/tahun-2013-bahasa-inggris-dihapus/
http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/13/11331821/Sekali.Lagi.Ditegaskan.Bahasa.Inggris.SD.Tak.Dihapus
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/13/jeritan-guru-honorer-403023.html
http://tunas63.wordpress.com/2011/11/05/syarat-peserta-sertifikasi-guru-kuota-2012/
http://2011.web.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=167&Itemid=312
0 komentar
Write Down Your Responses