Konflik Laut Cina Selatan (Bag-2)
Oleh. M. Arief Pranoto
(Konflik Laut Cina Selatan: Cermin Pergeseran Geopolitik Global; Bag-2)
Sekilas mapping konflik terdiri atas: Cina - Vietnam, Filipina - Malaysia, Filipina - Taiwan, Filipina - Cina, Malaysia - Vietnam, Filipina - Vietnam, Malaysia - Brunai, Taiwan - Cina dan Indonesia - Cina. Rumit memang, meski langkah-langkah diplomasi sering digelar baik secara bilateral maupun multilateral, sepertinya “jalan ditempat”. Oleh sebab benang merah sengketa berkaitan erat dengan national interest atau Kepentingan Nasional masing-masing dalam rangka mewujudkan kedaulatan serta (hegemoni) jaminan keamanan pelayaran dan explorasi SDA. Forum ASEAN pun seperti mandul karena sebatas mediasi bukan mengurus soal demarkasi/tapal batas. Pertanyaannya: Negara mana yang rela Kepentingan Nasionalnya dikuasai pihak lain?
Tampaknya Cina berambisi memasukkan kedua kepulauan tersebut ke wilayah maritim seluas 200 mil di Undang-Undang Maritim Cina yang baru. Di satu pihak, upaya Cina memasukkan Spratly dan Paracel dalam wilayahnya menuai protes keras dari DPR RI ketika Sidang AIPO bulan September 1996 dahulu (era sebelum reformasi). Badan Kerja Sama Antar Parlemen DPR RI memiliki data, bahwa masih terdapat sengketa antara Cina dengan beberapa negara ASEAN. Sementara di pihak lain, ia menolak UNCLOS dengan statement “kedaulatan yang tidak terbantahkan” atas Laut Cina Selatan. Sudah barang tentu sinyal pertikaian di Laut Cina Selatan semakin mengental mengingat Taiwan, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei pun memiliki tuntutan sama atas perairan dan kepulauan dimaksud justru berdasarkan Hukum Internasional.
Mundur sejenak ke belakang, bahwa kegagalan perestroika dan glasnot era Uni Sovyet yang berujung pecahnya Negeri Tirai Besi dahulu, menginspirasi Tirai Bambu agar konsisten dan komitmen terhadap “Sosialisme Bercirikan Cina”. Artinya perekonomian boleh saja “bebas” tetapi kontrol politik tetap dalam kendali Partai Komunis Cina (PKC). Bertahannya Cina sebagai Nation State identik bertahannya PKC. Seandainya PKC bubar maka Cina pun bakal terpecah seperti halnya Uni Sovyet tempo hari. Dengan demikian, konsekuensi logis yang timbul siapapun pemimpin tampil, eksistensi PKC adalah harga mati. Tak bisa ditawar-tawar. Lapangan Tianamen mungkin sebagai saksi bisu atas implementasi “harga mati” di Tiongkok ketika sekelompok reformis binaan asing mencoba gugat sistem yang sudah ada. Reformasi di Cina memang berbeda dengan reformasi di Sovyet, bahkan tidak akan pernah ditemui model reformasi di berbagai belahan dunia lainnya. Anekdot pun kuat merebak: “Bukan Cina menjadi Komunis, tetapi Komunis yang menjadi Cina”. Luar biasa!
Sebagai anak bangsa dari Ibu Pertiwi, jujur saya merindukan slogan semacam itu menerpa republik tercinta ini dalam ujud: “Bukan Indonesia menjadi Pancasila, namun Pancasila yang menjadi Indonesia!”. Tetapi entah kapan, manakala nilai-nilai dan ideologi asing hampir “mengerak” pada dinamika sosial politik segenap tumpah darah ini, sedang sebagian elit bangsa entah tidak sadar atau membiarkan, justru larut dalam skema asing.
Menurut Prof Wang Gung Wu (Seminar CSIS, 16 Nopember 1997), selain Cina berpenduduk besar, memiliki kekayaan SDA, punya kebudayaan dan tradisi tua di dunia, pasca reformasi mengalami masa transformasi dan konvergensi kearah kapitalisme yang akhirnya melahirkan konsep “one country and two system”, yaitu sistem negara dengan elaborasi ideologi antara sosialisme dan kapitalisme hidup berdampingan.
Kajian penulis, konsep Sosialisme Bercirikan Cina yang dilandasi one country and two system, titik beratnya adalah swasta pada satu sisi, sementara peran negara diperkecil di sisi lain. Gambaran sederhana contohnya, pengusaha boleh di depan membuka ladang-ladang usaha di negara luar, namun ada back up militer (negara) di belakang. Apakah Overseas Chinese (OC) bagian dari konsep ini? Masih perlu penelitian. Dalam diskusi terbatas di Kepentingan Nasioanal RI (KENARI) pimpinan Dirgo D. Purbo (22/8/2012) terkuak data, bahwa kelompok OC ini merupakan salah satu penyangga ekonomi. Sekitar 60% investasi di Cina konon berasal dari kelompok tersebut.
Pola kapitalis justru kebalikan dari Cina. Dalam kapitalisme, para serdadu maju duluan membuat “kapling-kapling” di wilayah target, baik secara tertutup (intelijen) maupun terbuka (militer), tetapi swasta selaku pemodal atau donatur meremot dibalik layar. Ini kajian pustaka serta insight atas cermatan yang terjadi. Dan pola meluaskan pasar semacam ini, pasca Perang Dunia II sesungguhnya banyak memetik kesuksesan. Buku Hendrajit Dkk bertajuk “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia” menguak sedikit success story pola-pola ini. Misalnya tergusurnya Arbenz Guzman di Guatamela, atau tersingkirnya Salvador Allende di Chili, dan banyak lagi. Silahkan dibaca sendiri bukunya.
Akan tetapi memasuki abad XXI, pola ini malah sebagai “biang krisis” bagi sistem sosial dan ekonomi di AS ketika modal (swasta) perang ternyata tidak kembali, terutama sewaktu menginvasi Afghanistan dan Irak secara militer hingga 10-an tahun, sementara (“kapling”) SDA kedua negara tidak bisa dikuasai. Retorikanya, kalau modal pokok pun amblas di medan tempur, jangankan untung? Tiada kata selain rontok ekonomi negara-negara yang sharing saham dalam peperangan!
Kedua pola diatas berbalik 180 derajat dengan Indonesia. Di republik ini, dunia usaha dan banyak bidang bisnis seringkali meminta perlindungan kepada “preman”. Entah preman sungguhan atau "preman berseragam". Esensinya sama. Militer dan polisi justru dikebiri, tidak boleh melakukan kegiatan bisnis kendati diam-diam banyak juga yang melakukan demi “umega”, usaha menambah gaji. Entah kenapa, mungkin demi menjaga netralitas atau profesionalisme.
Kembali ke Cina, bila action keluar ia memakai Pendekatan Panda (lembut/simpati) namun di internal sendiri menggunakan Pendekatan Naga (keras). Hal ini dibuktikan di Tianamen dahulu, atau hukuman tembak mati bagi koruptor, dan lainnya. Sangat berbeda dengan kondisi di republik tercinta dimana para koruptor “memetik” remisi (potong tahanan) setiap tahun.
Cina Negara Maritim, Tak Terbendung!
Penetapan sebagai “Negara Maritim” dekade 1978-an, intinya memproklamirkan diri bahwa Angkatan Laut (AL) Cina sudah di level Blue Water, sekelas Britania Raya maupun AL-nya Paman Sam. Ia berambisi merambah hingga Lautan Hindia meski paham di perairan tersebut bercokol Amerika Serikat (AS). Ada dua pangkalan militer AS mengendalikan dari Pulau Socotra, di Tanduk Afrika dan di Diego Garcia, Kep Chargos. Tampaknya Cina tidak gentar. Ambisi itu terlihat dari strategi dan upaya pembangunan dermaga-dermaga secara signifikan di pantai Timur dan Selatan. Selain diperuntukan bagi kapal swasta (dagang) bersandar, juga tempat merapatnya kapal-kapal perang. Pelabuhan Sittwe di Myanmar misalnya, pipanisasi dibangun sepanjang 2.300 Km dari Teluk Bengal, Myanmar sampai ke Kunming, Cina Selatan.
Ia juga memanfaatkan negara-negara di Tepian Sungai Mekong atau Greater Subregion Mekong(GSM). Dimana dalam pertemuan GSM di Viantine, Laos (30/3) sepakat membangun jalan raya trans-nasional sepanjang 1800 km dari Kunming, Cina sampai ke Bangkok dan Yunan. Hal ini merupakan indikasi betapa “perambahan”-nya telah bergerak via negara-negara pesisir di Lautan Hindia. Dengan demikian, kehendak keras Cina atas penguasaan Spratly dan Paracel semata-mata karena geopolitik, yakni mengontrol pelayaran antara Pasifik, atau Asia Timur menuju Lautan Hindia melalui kedua kepulauan tersebut.
Ya, pesatnya kemajuan suatu negara bidang ekonomi selain seiring meningkatkan sektor industri, niscaya pararel dengan pembangunan dan peran militer. Sistem dominasi kata Jean Bricmott, sangat tergantung peran militer kendati diperlukan pembenaran ideologis. Apabila “pembenaran ideologis” ala Barat melalui paket (DHL) demokrasi, HAM dan lingkungan, maka Cina via Kebijakan Panda (simpatik). Itu yang terjadi. Tampaknya Pendekatan Panda Cina justru lebih populer di banyak belahan dunia daripada paket DHL-nya Barat yang cenderung “usil” atas urusan internal negara lain.
Akhirnya bisa dipastikan, bahwa kedua kepulauan tadi tidak bakal dilepas oleh Cina apapun alasan, ketika gerakan militer dan upaya menjadi negara maritim handal perlu geostrategi dan butuh energi (minyak). Maka harap maklum, jika sekarang saja sudah ditempatkan garnisun dan pangkalan militer di Sansha, pusat pemerintahan Kep Paracel dan Kep Spartly. Itulah string of pearl, strategi handal Cina di perairan!
Secara politis ketegangan di antara negara-negara kawasan Laut Cina Selatan cenderung meningkat dari waktu ke waktu karena miskinnya win-win solution. Semua negara yang terlibat pertikaian saling klaim, merasa paling benar sendiri. Kondisi ini merupakan latenitas dan sumber ketidak-stabilan bila dipicu accident tertentu, artinya sewaktu-waktu bisa meletus konflik (militer) terbuka sebagaimana era-era sebelumnya.
Sudah barang tentu, “suhu panas” ini akan mempengaruhi negara-negara sekeliling yang berdekatan dengan wilayah sengketa. Secara proximatis geografi, posisi Indonesia sangat dekat dengan Laut Cina Selatan baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik. Pertanyaan menggelitik pun timbul: Sudahkan elit dan bangsa ini menyadari lalu membuat skema antisipasi?
0 komentar
Write Down Your Responses