Konflik Laut Cina Selatan (Bag-1)

Oleh. M. Arief Pranoto
(Konflik Laut Cina Selatan: Cermin Pergeseran Geopolitik Global; Bag-1)

Sengketa kawasan beberapa negara di Laut Cina Selatan, khususnya konflik atas Kepulauan (disingkat: Kep) Spratly dan Kep Paracel ternyata memiliki referensi panjang. Berbagai literatur menyatakan bahwa perebutan keduanya semenjak dulu memang melibatkan banyak negara, antara lain Inggris, Prancis, Jepang, Vietnam dan Cina. Tampaknya kini lebih banyak lagi peserta yang masuk lingkaran sengketa, terutama sejak Komisi PBB tentang Batas Landas Kontinen pada Mei 2009 menetapkan pengajuan klaim untuk rak kontinental diperpanjang di luar 200 mil garis pantai. Akibatnya Vietnam, Malaysia, dan lain-lain baik secara terpisah atau bersama-sama mengajukan perpanjangan. Ini memicu protes Cina.

Ya, ribetnya pertikaian teritorial ini ternyata bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain.

Sekilas tentang UNCLOS 1982 adalah rezim Hukum Internasional yang mengatur hak-hak dan tanggung jawab negara-negara pesisir dalam wilayah kekuasaan maritim. Ia diberlakukan tahun 1996. Di bawah UNCLOS, semua negara pesisir diberi hak zona 200 mil bahari zona ekonomi ekslusif (EEZ) dari garis pantai, diberi kedaulatan atas semua sumber termasuk di laut dan di dasar laut. Para negara pesisir diberikan hak untuk melintasi ZEE melalui laut dan penerbangan melalui udara.

Kembali ke kawasan sengketa, menurut Dieter Heinzig, Kep Spratly dibatasi oleh perairan Philipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Ia terletak sekitar 1.110 km dari pelabuhan Yu Lin, Pulau Hainan, Cina dan 500 km dari pantai Kalimantan bagian utara. Sedang Paracel di sebelah utara Spratly berjarak 300-an km sebelah tenggara Cina. Menurut Gu Yunguan, Direktur Institute Arkielogi Provinsi Guangdong, gugusan pulau tersebut dikuasai Dinasti Han (206-220 SM). Adanya temuan 98% benda-benda yang merupakan komoditas dagang Cina tempo doeloe, semakin menebalkan klaim Cina atas Kep Paracel melalui upaya di berbagai forum dengan berpedoman sejarah dan dokumen arkeologi. Intinya ingin meraih pengakuan publik internasional bahwa kedua kepulauan bagian teritorialnya.

Sementara klaim Vietnam lain pula, ia mengaku sudah menguasai kepulauan tersebut sejak abad ke-17. Selain merujuk pada Hukum Internasional, juga menyertakan aspek historis. Catatan sejarah Vietnam mengungkap, bahwa Kep Paracel disebut Hoang Sa dalam bahasa Vietnam, dahulu masuk wilayah distrik Binh Son, Vietnam. Selain Vietnam saling klaim atas kepulauan tersebut melibatkan juga Malaysia, Philipina, Brunai Darussalam dan Taiwan. Kawasan itu memang berserak di antara 200-an pulau dimana sebagian besar tak berpenghuni, hanya gundukan karang-karang serta minim akan sumber air tawar.

Secara garis besar pertikaian kepulauan di atas dapat digolongkan sebagai berikut, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly: antara Cina versus beberapa negara yaitu Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya tengah ribut dengan Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik versus Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya.

Ya, mencoba menyingkat tanpa mengurangi esensi maupun substansi, maka tekanan bahasan dalam tulisan tak ilmiah ini difokuskan pada Kep Paracel, Spratly dan sekitarnya. Pertanyaan menarik timbul: Adakah sengketa teritorial antara Cina dengan Indonesia?

Kendati Indonesia tidak termasuk penuntut gugusan kepulauan bermasalah tersebut, rupanya ada fakta lain terkait konflik bilateral dengan Cina atas landas kontinen di sepanjang Laut Cina Selatan, namun tak sempat mencuat karena diplomatnya berhasil meyakinkan Indonesia bahwa tidak ada masalah kemaritiman di perairan. Padahal bila merujuk Peta Cina 1947, terlihat 9 (sembilan) garis putus-putus dan berbentuk lidah meliputi wilayah Pulau Hainan sampai ke Pantai Kalimantan, mencakup Teluk Tonkin, Kep Paracel dan Spratly. Demikian pula dekade 1995-an, berdasarkan Peta Cina memperlihatkan bahwa ladang gas Natuna, meski jaraknya 1.000-an mil di selatan Cina diakui berada dalam teritorialnya. Ya, Cina pernah mengklaim sebagian Laut Natuna hingga perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat serta sekeliling Vietnam.

Kenapa Spratly dan Paracel Diperebutkan?

Dari semua sengketa barangkali yang menarik ialah Kep Spratly. Kenapa demikian, betapa geografisnya memiliki leverage dibanding pulau-pulau lain. Artinya selain merupakan jalur perairan internasional, ia dianggap strategis dari aspek pertahanan karena geo-possition dan yang utama ialah kandungan sumber daya alam (SDA) berupa minyak dan gas alam. Lebih signifikan sebenarnya dari kajian geopolitik, artinya jika menguasai Spratly berarti akan mengontrol lintasan rute pelayaran antara Pasifik atau Asia Timur menuju Lautan Hindia.

Penemuan minyak dan gas bumi pertama di kepulauan ini tahun 1968. Prakiraan kandungan minyak di Kep Spartly ialah 10 milyar ton (International Herald Tribune, 3 Juni 1995), tetapi The Geology and Mineral Resources Ministry of the People's Republic of China memperkirakan kandungannya sekitar 17,7 miliar ton. Masih simpang siur. Tetapi jika merujuk lembaga geologi Cina di atas, fakta ini menempatkannya sebagai kawasan dengan cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Dan bagi Cina, penguasaan terhadap kepulauan tersebut akan mengurangi ketergantungan impor minyak dari Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah dan kawasan Heartland lain.

Lain Spratly lain pula leverage Kep Paracel. Meski daratannya berkarang lagi tandus, namun urgendi Cina atas kepulauan tersebut tak kalah penting dibanding Spratly. Oleh karena dari aspek keamanan bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan. Secara geostrategi, menguasai dua kepulauan tersebut bisa menjadi “batu loncatan” menyerang Daratan Asia, katanya! Itu dugaan extreem tersirat.

Tatkala Cina menerbitkan kebijakan ”Empat Modernisasi” Era 1978-an bidang administrasi, politik, ekonomi, dan pasar keuangan. Sepertinya harus dibarengi hasrat menjadi kekuatan maritim yang dominan di Laut Cina Selatan. Maka semenjak itulah Laut Cina Selatan, di mata Negeri Tirai Bambu menjadi kawasan strategis bernilai politis dan ekonomis sebab 80% impor minyaknya melalui jalur ini. Disini tersirat makna bahwa selain terkandung potensi konflik tinggi terkait distribusi minyak, mengharuskan ia mutlak bekerjasama dengan negara-negara lain di sekitar kawasan. Singkat kata bahwa Kep Spratly dan Paracel menjadi rebutan berbagai negara karena faktor geopolitik, baik berupa kandungan minyak dan gas bumi maupun geostrategy possition di jalur perairan internasional.

Dalam perspektif politik luar negeri Indonesia, kebangkitan dan geliat Cina pada tahun-tahun mendatang mutlak harus ada pantauan secara khusus mengingat embrio konflik di kawasan tersebut ada lagi nyata. Sebagaimana disinggung di muka, Laut Natuna sangat vital bagi Cina maupun Indonesia karena merupakan jalur utama menuju kota-kota penting di Asia Timur. Bahwa gangguan terhadap komunikasi, pelayaran, ketegangan di sekitar kawasan Natuna niscaya berdampak negatif pada kepentingan Indonesia dan kestabilan regional.

Masalah tak kalah penting ialah sejak 8 Mei 1992, The Chinese National Offshore Oil Company milik Cina dan Crestone Energy Company dari Amerika Serikat (AS) melakukan explorasi dan exploitasi minyak dan gas bumi di kawasan seluas 25.000 km di wilayah Nansha, Barat Laut Cina Selatan dimana lokasinya dekat dengan Natuna. Ada dugaan pemakaian teknologi (baru) dalam exploitasi minyak dasar laut konon mampu merambah ke wilayah Indonesia tanpa terlihat di permukaan. Sesuai uraian sekilas tadi, jika terkait UNCLOS maka Indonesia pun masuk dalam lingkaran sengketa hak atas Landas Kontinen di sekitar Kep Natuna. Hal ini mutlak dicermati dan diwaspadai oleh Indonesia. Sudahkah elit dan bangsa ini mengantisipasi Kepentingan Nasionalnya?

0 komentar

Write Down Your Responses