Antara geopolitik, konflik dan demokrasi
Oleh. M. Arief Pranoto dan Hendrajit
Geo
itu bahasa Inggris, arti Indonesianya adalah bumi, tanah, dan
seterusnya. Ia adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan
angin serta merupakan asal-usul manusia (Adam) dulu. Dimanapun geo,
seharusnya tak hanya mengantar manusia atau bangsa pada gerbang
kemerdekaan tetapi lebih jauh lagi yakni membentuk bangsa dan negara
yang hidup di atasnya bermartabat di dunia.
Seperti dikatakan oleh Bung Karno, “Dulu
Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya adalah Tarakan untuk
menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi
pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan
Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana
menjadikan manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin
kesejahteraannya” (1956). Dengan demikian, geopolitik merupakan
ilmu tua yang mampu mengintegrasikan semua hakikat keilmuan, karena di
atas geo itulah seluruh permasalahan manusia diselesaikan. Manakala abai
terhadap geopolitik, hal itu merupakan titik awal dan sumber bencana
bagi ilmu-ilmu (politik) yang ada.
Memahami dan implementasi geopolitik itu sederhana saja, menurut Panglima Besar Soedirman: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947); atau Bung Karno menyebut “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik” (1965); Pak Harto dulu sering menyatakan:
“.. kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang
sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara" (1967);
dan menurut Dirgo D. Purbo, dosen pasca sarjana Kajian Ketahanan
Nasional Universitas Indonesia sekaligus pakar perminyakan Indonesia
menyebut bahwa wawasan nusantara merupakan agenda kepentingan nasional
Republik Indonesia (2003).
Geopolitik
meniscayakan orang belajar tentang realitas dan hakikat materi serta
non materi atau spirit. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas
dari kedua dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non
materi), sementara ilmu dan filsafat membentang dalam spektrum di atas
permukaan. Dengan demikian geopolitik sebagai ilmu dan kenyataan hidup,
umurnya sudah setua bumi bahkan seuzur kehidupan manusia itu sendiri.
Di
era modern, geopolitik suatu bangsa sering terdangkalkan bahkan ada
yang dinihilkan dengan doktrin-doktrin global seperti kebebasan,
demokrasi, profesionalisme, globalisasi, HAM dan lainnya. Ia dituduh
sebagai aliran pemikiran bidang pertahanan, dianggap hanya sekedar
domain militer saja. Inti tujuannya mungkin agar tercitra bahwa
geopolitik kini sudah tidak relevan lagi di era globalisasi, terutama
bagi fungsi atau institusi non militer.
Teori
Machinder, Guilford dan lainnya tentang geopolitik sebenarnya hanya
“meramu” atau mempeta kawasan berdasar kekayaan minyak, oleh karena dari
aspek histori ilmu, geopolitik adalah realitas politik semenjak Adam
turun ke bumi. Perselisihan antara Habil dan Qabil pada awal kehidupan
tempo doeloe merupakan contoh realitas politik yang tak boleh dipungkiri
siapapun. Bahkan segala bentuk peperangan di era Fir’aun, atau sejak
zaman Babylonia, Romawi, Perang Dunia, atau konflik-konflik di berbagai
negara baik yang vertikal maupun bersifat horizontal serta modus dan
methode kolonialisme ataupun imperialisme gaya baru di masa kini,
disebabkan karena kepentingan geopolitik. Contoh aktual ialah Syria.
Negeri ini meski tak kaya minyak seperti Lybia, Irak, atau Arab Saudi
namun diperebutkan berbagai adidaya dunia semata-mata karena geopolitic pipeline serta geostrategic possition.
Geopolitik Indonesia
Indonesia
memiliki geopolitik yang strategis dalam interaksi global, selain
posisinya di antara dua samudera dan dua benua yang merupakan peluang
betapa besar peran yang bisa dimainkan di panggung internasional, juga
memiliki kekayaan alam (SDA) beraneka lagi melimpah ruah. Tetapi bangsa
ini tidak mampu “mengelola” secara tepat dan baik letak
ke-”strategis”-an posisi dan kekayaan SDA yang dimiliki. Mungkin hanya
di era BK, Indonesia mampu mengelola geopolitiknya.
Makanya
ia menggempur Belanda di Irian Barat dan “mempermainkan” Amerika
Serikat. BK memahami jika Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan
pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan nisaya bakal mengancam
kedaulatan Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat
merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di
wilayah barat memiliki lumbung minyak Sumatera, Jawa dan Kalimantan,
sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi
negara paling kuat di Asia.
Sumatera
adalah salah satu bukti nyata. Pulau di sebelah barat Indonesia ini tak
sekadar cerita tentang pulau emas, eksotisme alam liar nan indah atau
kemashyuran Sriwijaya. Secara geopolitik Sumatera ini sejatinya sangat
strategis, namun celakanya banyak orang Indonesia sendiri yang tidak
menyadarinya. Sumetara adalah tempat pertama sekaligus terakhir di Asia
Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional (Baca Sumetara Tempo Doeloe, dari Marcopoli sampai Tan Malaka, Anthony Reid, ed).
Sebagai
semacam barikade yang dihadapkan pada titik-titik masuk maritim ke Asia
bagian timur, Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang
pelayaran. Emas dari rangkaian pegunungannnya, lalu kapur barus dari
hutan-hutannnya, menarik para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet
Suvarna dvipa-Tanah Emas. Bukan itu saja. Beberapa jejak peninggalan
tertua dari pengaruh India, Arab, dan Cina di Asia Tenggara dapat
ditemukan di Sumatera. Luar biasa!
Deli,
di Sumatera Timur, sekadar ilustrasi yang lain lagi. Jika kita
menelisik ke 1919, Tan Malaka dalam autobiografinya Dari Penjara ke
Penjara, sudah melukiskan Deli sebagai tanah emas, surga buat kaum
kapitalis. Di perbatasan Deli dengan Aceh, terdapat minyak tanah yang
berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak.
Bahkan,
di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat besi. Seperti di Singkep,
Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauksit di Riau
dan Alumunium terdapat di Asahan, Deli. Bahkan jika dihubungkan dengan
arang di Sawahlunto dan airmancur Sungai Asahan, yang punya kodrat nomor
2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat
mengadakan perindustrian berat apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat
diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah, dan lain lain dari tanah.
Kalau
kita mempelajari dan menyerap apa yang menjadi ketahanan budaya dan
ketahanan nasional negara-negara lain, Iran bisa kita jadikan contoh
nyata yang paling aktual. Betapa kesadaran dan wawasan geopolitik dan
geostrategi para elit pemerintahan di Iran, merupakan salah satu faktor
kebangkitan Iran sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan oleh
negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan
Cina.
Dengan
segala kelebihan serta keterbatasannya mampu memaksimalkan peran
geopolitik dalam perpolitikan global. Setidak-tidaknya ancaman penutupan
Selat Hormuz oleh Ahmadinejad dalam psy war kemarin telah
membuat “kekhawatiran” para adidaya dunia, terutama bagi jajaran negara
yang sangat tergantung dari dinamika selat tersebut. Ini cuma sekilas
contoh, betapa dahsyat pemanfaatan geopolitik suatu bangsa bila dikelola
secara baik, bahkan dapat dijadikan geopolitic weapon.
Sebagaimana
diurai di atas, ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini
terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga bangsa ini tak mampu
mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga
rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam kelimpahan
rahmat-Nya.
Tatkala
abai terhadap geopolitik, para elit pun seperti kehabisan waktu dan
energi berdebat kesana-kemari dalam derivatif berbagai paradigma serta
teori sosial politik yang sebenarnya telah dihegemoni oleh kepentingan
asing. Terjebak gegap diskusi pada tataran permukaan malah melupakan
hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang di bawah permukaan. Nonsense.
Bahwa debatisasi berbagai elemen bangsa kini diduga kuat telah dirajut
oleh asing dan kaum komprador menjadi “industri demokrasi” dengan
berbagai manufaktur dan fabrikasi, seperti perbedaan pendapat,
demonstrasi, ego sektoral, konflik, parlemen jalanan dan lainnya.
Maka
inilah kemenangan wilayah simbol-simbol (kulit) namun tersungkur di
ruang hakiki (substansi). Lembaga pendidikan dan pusat kajian dipompa
hanya sekedar mengejar gelar serta status sosial dengan paradigma dan
teori yang telah dikendalikan, berputar-putar dalam isue serta
terminologi “rekayasa” (demokrasi, HAM, lingkungan dll) yang berpihak
kepada kepentingan luar tetapi nihil terhadap historisme yang mutlak
harus dipikul dan menjadi tanggung jawab sejarah, sosial dan realitas
politik terutama bagi kepentingan nasional saat ini.
Dangkalnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik, Mudah Masuk Perangkap Skema Kepentingan Strategis Asing.
Sebagai
contoh sederhana ialah maraknya berbagai konflik di tanah air
sesungguhnya tak boleh dilepas dari hipotesa sebagai “hajatan asing”
dalam rangka protection oil flow atau blockade somebody else oil flow.
Pola yang lazim digunakan oleh kolonialisme ialah menghadirkan pasukan
multinasional melalui resolusi PBB dengan alasan HAM dan kemanusiaan,
lalu dikeroyok ala NATO seperti Libya atau berujung referendum
sebagaimana terjadi di Sudan, Timor Timur dan lainnya. Itulah potensi
yang bakal terjadi di republik ini, sementara para elit bangsa “sibuk”
dengan dinamika di permukaan namun melupakan what lies beneath the surface
(apa yang terkandung di bawah permukaan). Sekali lagi, lupa geopolitik
ialah awal bercokolnya “permainan asing” dan menjadi penyebab
kehancuran sebuah bangsa.
Bangkitlah bangsaku!
(Sumber : http://www.theglobal-review.com)
0 komentar
Write Down Your Responses