Membangun Indonesia dengan kemarahan

Oleh. Taufik Wijaya

Sulit sekali menemukan manusia Indonesia hari ini, yang mengaku hidup bahagia di Indonesia. Hampir semuanya mengeluh. Marah. Petani marah, buruh marah, pekerja seni marah, jurnalis marah, dosen marah, guru marah, suporter sepakbola marah, preman marah, pelajar marah, pedagang kaki lima marah, mahasiswa marah, nelayan marah, pun ulama marah.

Tetapi, bukan hanya rakyat yang marah. Para aktor pemerintahan pun bersikap sama.  Presiden marah, menteri marah, anggota dewan marah, polisi marah, tentara marah, gubernur marah, bupati marah, walikota marah, kepala dinas marah, camat marah, lurah marah, kepala desa marah, serta ketua rukun tetangga pun marah.

Eh, para pengusaha pun marah. Begitupun  juga dengan para koruptor yang marah-marah saat disidangkan.
Kemarahan ini selama bertahun-tahun menyebabkan ratusan manusia Indonesia tewas, atau dihukum meskipun tidak bersalah. Caranya mulai dari mengeluarkan kebijakan, pengadilan yang tidak fair, hingga aksi bom bunuh diri, dan aksi kriminalitas.
Mengapa mereka marah? Sebab mereka tidak mau disalahkan atau merasa bertanggungjawab. Mereka justru merasa telah dizalimi. Petani marah karena tanahnya dirampas, polisi marah karena harga dirinya telah dilecehkan, presiden marah karena dirinya telah dihina, pengusaha marah karena merasa telah mengeluarkan banyak uang tapi bisnisnya terganggu, para koruptor marah karena merasa dikorbankan, serta para ulama marah karena tidak ada lagi yang mendengarkan atau menjalankan apa yang telah difatwakannya.

Jika semuanya saling marah dan menyalahkan, siapa yang sebenarnya pantas menerima kemarahan tersebut?
Sampai saat ini tidak satu pun yang mengaku bertanggungjawab atau yang siap dimarahi. Para pendukung dan keluarga para pemimpin bangsa ini, mulai dari Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, serta SBY, merasa bukan sebagai pihak yang pantas dimarahi atau yang bertanggungjawab atas semua kekecewaan yang melahirkan kemarahan tersebut. Mereka justru mengajak rakyat memarahi pemimpin lainnya.

Nah, maka jika kondisi terus bertahan di Indonesia, maka ke depan produk kebudayaan yang menonjol di Indonesia yakni tradisi marah-marah.

Syetan yang Dimarahi

Pada akhirnya seperti yang saya yakini sejak kecil, yang diajarkan orangtua, para guru, ulama, serta para tetangga, sosok yang pantas dimarahi manusia atas semua persoalan yang ada di dunia ini yakni syetan. Dalam ajaran agama apa pun, khususnya Islam, eksistensi syetan merupakan sosok yang harus dihindari atau dilawan, sebab syetan ini memiliki misi agar manusia menjauhi dari apa yang diinginkan Tuhan terhadap manusia sebagai manusia yang baik.

Jika demikian, sangat wajar jika bangsa Indonesa marah kepada syetan. Syetan yang dimaksud ini yakni syetan dari kaum jin yang disebut iblis.

Persoalannya, sifat yang memandang dirinya sebagai pihak yang paling benar atau tidak pernah melakukan kesalahan atau yang paling sempurna, sehingga menyebutkan atau menuduh pihak lain—di luar dirinya--sebagai iblis, juga merupakan sifat syetan.
Sebab eksistensi syetan ini ada dua, yakni syetan dari jin dan syetan dari manusia, seperti dijelaskan Allah dalam firmanNya, “Kami jadikan para Nabi itu musuh-musuh setan yaitu dari jenis manusia dan Jin.” (Qs. 6 Al-an’am : 112).

Sifat menyalahkan orang lain, dan memandang dirinya sebagai pihak yang paling benar merupakan sifat sombong. Sifat sombong sendiri, merupakan sifat syetan yang ada di diri manusia.

Allah Swt maupun Nabi Muhammad Saw sangat membenci sifat sombong ini. Misalnya Nabi Muhammad Saw bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, Kemuliaan adalah kain-Ku, dan kesombongan-Ku adalah selendang-Ku. Barangsiapa menyaingi-Ku di salah satu dari keduanya, sungguh Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)

Sementara Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.”(Q. S. al-A’raaf [7]: 40)

Nah, jika orang lain jangan disalahkan, lalu siapa yang harus disalahkan terhadap kondisi Indonesia hari ini? Mungkin, sudah saatnya kita menyalahkan diri sendiri. Artinya, kita harus jujur terhadap diri sendiri sebagai orang yang bertanggungjawab atas semua persoalan yang ada di Indonesia saat ini. Sebab apa yang ada hari ini, kitalah sebagai penyebabnya. Baik secara langsung maupun tidak langsung.

Jika tidak percaya? Ya, teruslah menyalahkan orang lain, tetaplah menyatakan diri sebagai orang yang paling benar. Lampaui sikap nabi yang selalu menangis di hadapan Allah, sebagai manusia penuh salah.

0 komentar

Write Down Your Responses