Melacak revolusi warna
Oleh. M. Arief Pranoto (Melacak revolusi warna, virus ganti rezim di berbagai negara)
Bermula dari istilah media Barat dalam rangka menggambarkan gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an ke atas. Revolusi Berwarna atau sering disebut “revolusi warna” kini semakin populer, karena sesungguhnya bukanlah suatu gejolak biasa namun merupakan setting politik praktis di berbagai belahan dunia mengatas-namakan gerakan rakyat. Uniq memang, sebutan bagi setiap gerakan selalu mengambil nama-nama serta mengadopsi warna bunga sebagai simbolnya.
Bermula dari istilah media Barat dalam rangka menggambarkan gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an ke atas. Revolusi Berwarna atau sering disebut “revolusi warna” kini semakin populer, karena sesungguhnya bukanlah suatu gejolak biasa namun merupakan setting politik praktis di berbagai belahan dunia mengatas-namakan gerakan rakyat. Uniq memang, sebutan bagi setiap gerakan selalu mengambil nama-nama serta mengadopsi warna bunga sebagai simbolnya.
Selain berciri tanpa kekerasan (nonviolent resistance.), penting dicatat pada awal tulisan ini bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peranan teramat vital dalam gerakan ini. Dengan kata lain, LSM termasuk kelompok pemuda serta mahasiswa ialah ujung tombak bagi skenario ganti rezim di suatu negara.
Adapun tuntutan yang diusung dalam revolusi non kekerasan ini berkisar isue-isue global antara lain demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), korupsi, kemiskinan, akuntabilitas dan lainnya. Ia punya pola-pola bersifat umum karena berpedoman buku wajib yang sama yakni “From Dictatorship To Democracy”-nya Gene Sharp, sarjana senior di Albert Einstein Institute (AEI). Dan seringkali lambang dan slogan gerakan massa pun sama pula. Sebagai contoh revolusi yang menerjang bekas negara Pakta Warsawa di Yugoslavia (2000), revolusi mawar di Georgia (2003), revolusi oranye di Ukraina (2004), revolusi tulip di Kyrgystan (2005), revolusi cedar di Lebanon (2005) dan lainnya, termasuk gejolak yang kini tengah melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) terdapat kemiripan logo “Tangan Mengepal”, dan slogan singkat yang artinya “CUKUP” sesuai bahasa negara-negara sasaran. Misalnya di Mesir bernama Kifaya (cukup), di Georgia disebut Kmara (cukup), di Ukraina namanya Pora(waktunya), di Kyrgystan berslogan Kelkel (zaman baru) dan seterusnya.
Agaknya slogan dalam revolusi warna itu ibarat “ruh gerakan” guna menyatukan semangat massa sekaligus sebagai tujuannya. Artinya kendati tidak selamanya demikian, namun inti maknanya ingin mengakhiri rezim berkuasa tanpa harus banyak darah mengucur.
Bahwa hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi dari gerakan-gerakan selama ini berbasis kurikulum yang bersumber dari bukunya Gene Sharp di atas. Dan ternyata diajarkan oleh Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan bagi pengunjuk rasa tanpa kekerasan yang logonya Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju. Konon CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan sebagainya. Adakah para demonstran Indonesia termasuk yang dilatihnya?
Ya, melawan rezim tanpa senjata merupakan methode baku bahkan menjadi kunci strategi untuk kesuksesan revolusi model ini. Sasarannya ialah memanipulasi serta mencuri simpati publik melaluisupport media massa dan jejaring sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lainnya.
Ketika analis geopolitik DR Webster G. Tarpley merasa curiga, bahwa terdapat kesamaan antara revolusi yang kini terjadi di Jalur Sutra dengan pergolakan di Serbia sewatu mengusir Slobodon Milosevic. Itulah yang doeloe dan kini berlangsung. Tidak ada peristiwa terjadi secara kebetulan. Gerakan rakyat di Serbia memang tidak murni sebab didukung Amerika Serikat (AS) via Central Intellegent Agency (CIA). Juga tak boleh dilupakan adalah peran National Endowment for Democracy(NED), LSM “seribu proyek”-nya Pentagon yang dibiayai Kongres AS hingga jutaan dolar per tahun.
Menurut Prof Michel Chossudovsky, analis dan peneliti pada Central for Research on Globalization(CRG), revolusi berwarna adalah operasi CIA mendukung gerakan-gerakan protes guna memicu perubahan rezim di bawah gerakan pro-demokrasi. Tujuan utama ialah menggulingkan pemerintahan syah melalui protes dan kerusuhan sosial.
Sedang menurut Andrew Gavin Marshall, juga peneliti di CRG, bahwa revolusi warna merupakan awal Perang Dunia III. Menurutnya, itu adalah taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS ke perbatasan Rusia dan Cina sesuai salah satu strategi dan tujuan membentuk New World Order(Tatanan Dunia Baru), dengan membatasi gerak Cina dan Rusia serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan itu. Agaknya statement kedua peneliti CRG di atas selaras dengan ungkapan Tony Cartalucci, kolumnis pada RT News Chanel. Ia menyatakan: "Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia ". Luar biasa. Tapi benarkah demikian?
Upaya ganti rezim di berbagai negara model non kekerasan ini, sudah tentu didukung oleh LSM skala internasional seperti NED, Freedom House, International Republic Institute dan lainnya sebagai ujung tombak, berkolaborasi dengan LSM lokal di negara yang ditarget. Sebagai contoh sukses Gerakan 6 April melengserkan Mobarak ialah buah kerjasana antara NED dengan berbagai elemen pemuda Mesir terutama Ikhwanul Muslimin (IM); atau turunnya resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang, adalah hasil laporan (palsu) 70-an LSM lokal yang didukung NED tentang kondisi Libya kepada PBB. Akhirnya justru NATO dibawah pimpinan AS memporak-porandakan negeri makmur itu, kendati hasil akhir justru NATO sendiri kedodoran alias tidak jelas arah kemenangannya. Maka beberapa analisis menyebut tentang “Kematian Gaddafi” yang tiba-tiba hanya sekedar propaganda saja, artinya sengaja dicipta agar NATO tidak malu menarik pasukannya dari Libya, oleh karena perlawanan maha dahsyat dalam Perang Libya ---seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan--- membuat para negara agresor justru semakin jauh dari kemenangan. Ingin untung malah buntung!
Kembali ke revolusi warna, bahwa konflik yang kini melanda kelompok negara Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) semakin nyata arahnya. Ya, pola dan strategi gerakan seperti hendak disamakan oleh AS ketika ia doeloe sukses melumpuhkan Pakta Warsa, yaitu dengan mengangkat isue-isue soal HAM, korupsi, atau kediktatoran rezim sebagai materi tuntutannya; kemudian menggunakan LSM guna menciptakan opini publik melalui media massa agar timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah; lalu ada blow up media dan jejaring sosial secara gencar dan seterusnya. Sasaran antara ialah destabilisasi dan kerusuhan sosial di suatu negara, dimana ujung semuanya ialah meminta intervensi internasional dan hadirnya pasukan asing!
Memang selain terdapat pola yang sama di setiap gerakan massa di berbagai negara, juga ada benang merah yang tidak boleh diabaikan, yakni kekuatan asing yang berada di balik semua gerakan malah terlindungi dan aman-aman saja --- asyik meremot dari kejauhan. Kenapa justru hal ini dilupakan oleh publik?
Melacak revolusi warna sungguh menarik, apalagi ketika Michel Chossudovsky berasumsi bahwaOccupy Wall Street atau “Menempati Wall Street”, yaitu gerakan akar rumput yang kini marak di seluruh AS, bahkan telah merambah hingga ke Australia dan beberapa negara Eropa, juga disinyalir sebagai revolusi berwarna. Indikasi ini terlihat ketika banyak LSM yang terlibat gerakan justru sangat tergantung pendanaannya dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller, McArthur, Tides dan lainnya. CANVAS pun terlibat. Ivan Marovic, salah seorang pimpinan CANVAS memberikan statementperihal gerakan protes di New York bahwa tidak ada yang spontan dalam sebuah “peristiwa revolusioner” (16 Oktober 2011, www. globalresearch.ca). Bukankah ia adalah anak organisasi NED, LSM seribu proyek milik Pentagon?
Politik praktis memang apa yang tersirat bukan yang tersurat, kata Pepe Escobar. Maka merujuk judul tulisan sederhana ini bahwa revolusi warna adalah virus ganti rezim dimanapun berada termasuk bisa menyerang AS itu sendiri, negeri tempat kelahiran sang virus. Apaboleh buat. Itulah yang mungkin sedang terjadi.
Dan Mr Barack Obama, presiden terpilih secara demokratis, kemungkinan tidak menyadari bahwa sesungguhnya skenario kaum hawkish tengah menjebaknya semenjak masih kampanye doeloe? (baca: Terjebak Skenario Hawkish, 12-01-2011 di www.global-review.com). Lalu, bagaimana dengan kiprah gerakan massa di Indonesia? Silahkan saudara-saudara menyimak, menganalog, mengkaji dan mencermati.
Waspadalah! Virus itu kini menyebar kemana-mana
0 komentar
Write Down Your Responses