Libya dan Syria Dikoyak Perang Hibrida (2)
Oleh. M. Arief Pranoto
Telah dijelaskan di muka walau sepintas, bahwa perang hibrida (hybrid war) merupakan campuran model antara asimetris, proxy,
perang informasi (ujudnya bisa propaganda, edit dan kontra berita,
penyesatan, dll) serta perang konvensional itu sendiri. Ada kombinasi
empat jenis perang dalam prakteknya, atau bisa juga lebih. Artinya,
model mana duluan, siapa di belakang, kapan bersamaan, atau bagaimana
manuver simultan dengan intensitas berbeda --- maka terpulang dari the man behind the (gun) strategy.
Masih
ingat gejolak politik di Libya tatkala tangan-tangan asing menggusur
Moamar Khadafi dari tampuk kekuasaannya? Barangkali, itulah contoh
aktual perang hibrida. Kendati ada contoh lain di beberapa negara, namun
permisalan ini sengaja memilih negara (Libya) di lintasan Jalur Sutera
supaya lebih nyambung jika terkait eksistensi ISIS nanti.
Dalam hybrid war, antara metode asimetris, proxy, penyesatan informasi, dan serbuan militer (simetris atau hard power)
berlangsung silih berganti. Entah mungkin serempak, atau simultan, dst
tergantung situasi serta kepiawaian para pihak. Mari kita breakdown sepintas garis-garis besarnya (benang merah) untuk memahami kronologis.
Bermula dari Arab Spring atau
‘Musim Semi Arab’. Inilah model perang asimetris bermodus seolah-olah
gerakan (rakyat) massa sebagaimana pernah menggulung negara-negara Pakta
Warsawa dekade 2000-an bertajuk Colour Revolution atau Revolusi Warna.
Apa hendak dikata, meskipun serbuan smart power atau strategi asimetris Barat melalui National Endowment for Democracy
(NED) ---ia dijuluki LSM spesialis ganti rezim milik Pentagon, dibiayai
oleh Kongres AS--- tergolong sukses menurunkan Ben Ali di Tunisia tanpa
tercium bau mesiu, atau mejatuhkan Abdullah di Yaman tanpa bunyi
peluru, lalu mendepak Hosni Mobarak di Mesir, dll ternyata ia (Arab Spring) terkendala tatkala merambah Syria, juga mengalami hambatan ketika hendak menyulut Libya. Kenapa contoh kegagalan Arab Spring hanya
pada kasus Syria dan Libya (bukan di Iran), oleh sebab pola gejolak di
kedua negara hampir-hampir mirip, cuma sedikit berbeda akibat faktor
kepemimpinan. Meski sekilas, nanti akan kita ulas perbedaaannya.
Untuk sementara, skenario “Arab Spring”-nya
Barat cq NED di Iran, kita abaikan saja. Kurang menarik. Selain
gerakannya dinilai gagal, juga tidak ada kelanjutan perang sipil, hanya
isue nuklir, embargo-embago politik dan ekonomi, dll. Tak ada lagi
manuver atau gerakan massa di lapangan kecuali sesekali via bom-bom
provokatif di tengah kota. Sepertinya, manuver politik asing di Iran
melalui sisi internal telah ‘terbaca’, sehingga hampir-hampir tak
direspon rakyat Negeri Para Mullah atas provokasi serta adu domba oleh
media-media (asing) dan LSM setempat.
Kembali ke Libya. Ketika gerakan segolongan rakyat (dan unjuk rasa) berpola Arab Spring
tidak meraih respon dari rakyatnya Khadafi, betapa tingkat
kesejahteraan para warga relatif baik, maka otomatis provokasi asing
melalui isue korupsi, pemimpin tirani, dll yang disebar via media
massa dan media sosial dengan corong LSM, terbukti gagal. Modus gerakan
massa di Libya tidak sedahsyat saat manuver NED dkk menggulung Tunisia,
Yaman, dan Mesir. Pola pun seketika diubah. Modus kolonialisme
dinaikkan derajatnya, dari gerakan massa menjadi perang sipil atau
pemberontakan bersenjata. Tampaknya, perubahan pola tersebut terjadi
pula di Syria yang hingga kini terus berlangsung.
Pada
episode perang sipil, terlihat perbedaan seni kepemimpinan antara
Khadafi dan Bashar al Assad dalam mengelola situasi yang berkecamuk di
masing-masing negara. Dan agaknya, seni masing-masing kepemimpinan
menciptakan kondisi yang berbeda pula. Misalnya, bila Khadafi terpancing
oleh fluktuatif ancaman di internal negeri, lalu menghajar kaum
pemberontak (ciptaan Barat) melalui bombardir pesawat-pesawat tempur.
Itulah blunder Khadafi kelak. Sedangkan Assad tetap cool, ia
hanya mengayun manuver separatis (bikinan asing) melalui kontra-kontra
intelijen. Militer diturunkan oleh Assad di wilayah yang dianggap
darurat, itupun tidak secara vulgar dan frontal.
Pada
gilirannya, bombardir terhadap kaum pemberontak direspon secara langsung
oleh sekitar 70-an LSM Libya dan internasional guna menjustifikasi
stigma bahwa “ada pelanggaran HAM berat” dilakukan oleh Khadafi. Lalu,
terbitlah Resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang (No Fly Zone). Apa yang terjadi kemudian, bukan sekedar larangan terbang belaka, tetapi Barat dalam hal ini Amerika (AS) dan sekutunya North Atlantic Treaty Organization (NATO)
justru balik membombardir Libya. Puluhan negara jago perang yang
tergabung di NATO menggempur Libya hingga porak-poranda. Khadafi
dinyatakan “tewas?”, pemerintahan (definitif) bubar, pemerintah
sementara tak digubris, perampokan harta Khadafi berkedok pembekuan
aset-asetnya di luar negeri pun menjadi fenomena, pergolakan senjata
bermotif saling klaim SDA di internal negeri terus berlanjut, dan
lain-lain. Libya kini, ibarat ladang ditinggal pemiliknya, menjadi
rebutan banyak orang. Ia seperti “negara tanpa tuan”.
Lain
Libya, lain pula Syria. Meski terus bergejolak, akibat seni
kepemimpinan Assad maka atmosfer politik (global) di Syria berbeda
dengan negeri tempat kelahiran Khadafi. Betapa militer negara lain
hingga saat ini tidak diperkenankan masuk secara terang-terangan karena
belum ada mandat PBB. Upaya untuk menerbitkan resolusi oleh AS dan
sekutu senantiasa diganjal oleh veto Cina dan Rusia setiap kali diajukan
draft resolusi di forum DK-PBB.
Dengan demikian, kolonialisme di Syria, seyogyanya tidak berubah sejak kegagalan Arab Spring
kemarin, dan seyogyanya pula, pergolakan bersenjata masih berpola
seperti beberapa tahun lalu yakni perang sipil. Tidak ada bombardir (dan
keroyokan) dari koalisi militer pimpinan Amerika, dll. Akan tetapi,
manakala terdapat tanda-tanda, isyarat dan sinyalir bahwa koalisi
militer Barat telah mulai ‘memasuki’ teritorial Syria, maka pertanyaan
yang muncul adalah, “Dari pintu mana mereka masuk; lalu, apa peran ISIS
dalam perang hibrida yang terus berkecamuk di Syria?”
Bersambung ke (3)
0 komentar
Write Down Your Responses