ISIS dalam Perspektif Perang Hibrida (1)
Oleh. M. Arief Pranoto
Berbagai berita dan kajian tentang Islamic State of Irak and Syam (ISIS), telah banyak kita baca di berbagai media baik cetak, online, elektronik,
media sosial, blog pribadi, dll oleh para pakar, peneliti, akademisi,
ataupun pengamat. Tentunya dengan beragam sudut pandang serta variatif
hasil. Apapun kesimpulan telaah tak boleh dikatakan secara hitam putih:
“salah atau benar”, karena selain berbasis fakta serta data-data, kajian
tersebut juga menggunakan teori, postulat, asumsi, ataupun perspektif
tertentu sebagai pisau bedahnya. Syah-syah saja.
Pendapat
saya perihal ISIS pun sebenarnya sudah ada di tiga buah artikel, antara
lain (1) “False Flag Operation Mengkambinghitamkan ISIS?”, (2) “ISIS,
Stigma Lanjutan Pengganti Isue Al Qaeda”, dan ke (3) “ISIS: Alat Yahudi
Menggapai Israel Raya”. Tulisan kali ini yang keempat.
Judul
pertama adalah tanggapan atas artikelnya Hendrajit, Direktur Eksekutif
Global Future Institute, Jakarta, yang bertajuk: “Strategi Sarang Lebah”
ala CIA, MI-6 dan Mossad. Inti komentar saya, bahwa isue ISIS kelak
---seperti isue-isue sebelumnya--- akan dijadikan alat dan pintu masuk
ke negara target. Target siapa? Target dari koalisi militer pimpinan
Amerika (AS). ISIS hanyalah false flag operation, sebagaimana
dulu Paman Sam membidani serta memelihara al Qaeda dan Taliban, kemudian
setelah besar dijadikan “tumbal hegemoni”-nya, justru diperangi sendiri
oleh AS dan sekutunya dengan berbagai dalih.
Untuk
artikel kedua ---masih menanggapi tulisan Hendrajit--- lebih
menitikberatkan pada “stigma bergerak”. Artinya apapun penggebyaran isue
oleh media massa milik (berafiliasi) Barat soal radikalisme Islam
(entah Boko Haram, ISIS, dll), hanyalah isue lanjutan pengganti stigma
al Qaeda yang dinilai gagal dalam pagelaran War on Terror (WoT)
karena ikonnya, Osama bin Laden sudah “tewas” di Pakistan. Secara
tersirat, al Qaeda dinyatakan tutup buku karena malah menyebabkan krisis
ekonomi bagi ‘sang empu’.
Sedang tulisan ketiga agak sedikit berbeda dibanding sebelumnya, selain perspektifnya tak lazim yaitu Erezt Israel (Negara
Israel Raya), cita-cita Zionist yang belum tercapai. Ya. Ambisi bangsa
Israel hingga kini, memang menginginkan teritorialnya sebagaimana Raja
Salomo (Nabi Sulaiman) yang dulu membentang antara Pantai Barat Syam
(Lebanon dan Syria) hingga ke tepi sungai Eufrat (Kawasan Barat Iraq).
Pantaslah bila isue dan “lembaga”-nya bertitel “Irak dan Syam” (ISIS),
bukan cuma “Syria”, tetapi Negeri Syam yang meliputi Lebanon, Irak,
Palestina, Jordania (http://id.wikipedia.org/wiki/Syam).
Bukankah publik global mengakui teritorial Israel hanya seluas sekarang
ini, bahkan beberapa negara di dunia termasuk Indonesia pun masih belum
mengakui keberadaan Israel sebagai negara?
Sebelum
melangkah jauh, kita urai sedikit tentang ‘perang hibrida’ yang menjadi
perspektif kali ini. Catatan ini, tidak lagi bicara mengenai definisi
secara lengkap, atau epistimologi, ontologi, aksiologi, dll terkait
sifat dan karakteristik perang, kecuali mungkin hanya sedikit guna
mengantar bahasan (menyambungkan) semata. Tak ada maksud menggurui
siapapun, terutama pihak-pihak yang berkompeten, atau lebih ahli, dll.
Artinya, jika timbul perbedaan pendapat, anggaplah kewajaran yang perlu
didiskusikan kembali tanpa harus mengabaikan substansi.
Sekilas Perang Hibrida
Meski
dalam sedikit hal kurang selaras isi paparan KSAD, Jenderal TNI Gatot
Nurmantyo tentang ‘perang asimetris’, akan tetapi untuk jenis
perang-perang lainnya, saya sangat sepakat. Menurutnya, sifat dan
karakteristik perang telah bergeser seiring dengan perkembangan
teknologi. Kemungkinan terjadi perang konvensional (perang militer
terbuka) semakin kecil. Ada tuntutan kepentingan kelompok untuk
“menciptakan” perang-perang jenis baru yang meliputi perang asimetris,
perang proxy, dan perang hibrida.
Perang asimetris adalah perang antara belligerent
atau pihak-pihak berperang yang kekuatan militernya sangat berbeda.
Jujur saja, inilah "isi materi" yang (saya) kurang sepakat. Esensi dan
kharakter peperangan asimetris tidak hanya antara pihak serta
kekuatannya, namun lebih kepada peperangan dengan medan tempur yang luas
meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dll dilakukan
secara nir-militer (asimetris). Peperangan antar pihak-pihak yang tak
berimbang sebagaimana pemaparan Pak Gatot di atas, lebih cenderung
disebut taktik gerilya, modus pemberontakan, dsb (baca: Meluruskan Makna
dan Hakekat Perang Asimetris di www.theglobal-review.com). Silahkan didiskusikan lebih dalam.
Selanjutnya, perang proxy atau proxy war ialah
konfrontasi antardua (negara) kekuatan besar dengan menggunakan pemain
pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan
untuk mengurangi konflik langsung yang beresiko kehancuran fatal. Ada
pihak ketiga sebagai pemain pengganti, biasanya negara kecil, namun
sering juga nonstate actors seperti LSM, organisasi massa, Multinational Corporations
(MNCs), kelompok masyarakat, perorangan, dll. Dan dalam perang proxy
ini, sulit dikenali siapa kawan dan siapa lawan karena musuh
dikendalikan nonstate actors dari kejauhan.
Sedangkan perang hibrida, merupakan perang yang menggabungkan (kombinasi) teknik perang konvensional, perang asimetris, proxy,
perang informasi, dll untuk mendapat kemenangan atas pihak lawan. Pada
saat kondisi kuat, perang konvensional dilakukan untuk mengalahkan pihak
lawan. Namun, pada saat situasi kurang menguntungkan, cara-cara lain
dilakukan untuk melemahkan pihak musuh. Intinya, perang hibrida adalah
kombinasi dari perang konvensional, dan jenis-jenis perang baru
sebagaimana sekilas diurai di atas.
Kita kembali ke ISIS
lagi. Setidaknya, sejak dideklarasikan tanggal 29 Juni 2014 oleh
Abubakar al-Baghdadi (sebagai Khalifah), bendera ISIS semakin berkibar,
kian mengglobal. Entah kenapa, media-media mainsteam aktif menggebyarkan kiprah serta kekejamannya (menyembelih manusia) yang merupakan ‘core business’-nya
daripada modus bom-bom bunuh diri seperti lazimnya. Al Baghdadi yang
ternyata bernama Simon Elliot ---agen Mossad, Badan Intelijen Israel---
memiliki misi guna memperluas wilayah ISIS dari mulai Allepo di Syria
hingga ke Propinsi Diyala, Irak Timur sebagaimana wilayah Erezt Israel yang dicita-citakan Israel.
Melalui
Al Furqon sayap medianya, al-Baghdadi mengingatkan umat Islam yang
tertindas di (Cina, India), Palestina, Somalia, Jazirah Arab, Kaukasus,
Syam, Mesir, Irak, Pakistan, Iran, Afghanistan, (Philipina, Indonesia),
Tunisia Iran, Libya, Aljazair dan Maroko perlu segera dibantu. Ia
bersumpah untuk “memberi pertolongan dan membalas” secara setimpal atas
penindasan terhadap umat Islam tersebut.
Retorika pun
muncul, “Mengapa sumpah al Baghdadi hanya ditujukan kepada bangsa di
negara-negara yang kaya (potensi) sumberdaya alam/SDA, dan wilayah yang
memiliki derajat geopolitik tinggi dari perspektif (konflik) politik
global?” Kenapa ia tidak melindungi Malaysia, atau Singapore, Myanmar,
Thailand, Vietnam, dan lainnya; apakah karena mereka telah masuk orbit
pengaruh AS dan sekutu? Retorika ini tidak untuk dijawab agar catatan
ini dilanjutkan.
Bersambung ke (2)
0 komentar
Write Down Your Responses