Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia (Bag-7/Habis)

 Oleh. M. Arief Pranoto

Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik (Bag-7/Habis)

Menyimak, mencermati dan menarik benang merah ketegangan (hubungan) diplomatik antara Indonesia – Australia, serta menelaah dampak sosial politik di kedua negara akibat bocoran Edward Snowden terkait penyadapan yang dilakukan oleh jajaran intelijen Aussie terhadap beberapa petinggi di republik ini, ada beberapa pointers bisa dijadikan simpulan, antara lain ialah:

Pertama, bahwa isue “bocoran dan penyadapan” bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, tetapi hanya bagian dari skenario yang hendak dimainkan oleh Paman Sam terkait pergeseran sentral geopolitik dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik;

Kedua, jika ketegangan hubungan antara Indonesia  - Aussie diibaratkan sebuah (panggung) pembuka, maka peran Edward Snowden hanya “wayang” semata , sedang “dalang”-nya yakni Aussie dan Singapura, sementara “pemilik hajat”-nya justru Paman Sam;

Ketiga, bahwa aktivitas Snowden merupakan false flag operation (operasi bendera palsu) Paman Sam, kelanjutan operasi rahasia yang pernah dijalankan oleh Julian Assange plus WikiLeaks. Fungsinya hanya pembuka pintu saja. Langkah berikut, apakah digelar asymmetric warfare atau symetric warfare sebagai lanjutan, maka tergantung kondisi di lapangan. Dalam Arab Spring misalnya, peran Assange cuma penebar isue (provokasi);

Keempat, sebagaimana watak isue (Assange) WikiLeaks di Jalur Sutera, tebaran isue (bocoran) Snowden pun memiliki watak yang sama, yakni devide et impera. Memecah belah dari sisi internal. Artinya, selain mengadu domba antara rakyat dengan para elit penguasa, atau menimbulkan suasana saling tidak percaya, ataupun berefek “hancur”-nya RASA KEPERCAYAANAN rakyat terhadap para pemimpin akibat blow up terus menerus kasus korupsi oleh media, dan isue-isue dimaksud, sengaja menciptakan gonjing-ganjing politik di kawasan target;

Kelima, maka jangan diharap akan ada permintaan maaf secara resmi dari Australia, oleh sebab selain kharakter ausignares yang dianut pemerintah Aussie, sikap Tony Abbott dalam hal ini hanya ‘menunggu perintah’ guna memainkan skenario lanjutan dari pemilik hajatan; 

Keenam, menganalogikan pengalaman manuver Barat (AS dan sekutu) di Jalur Sutera melalui sinergi antara hard power (militer) dan smart power (gerakan massa), manuver di Asia Pasifik pun tampaknya tak akan jauh berbeda. Artinya, ia juga akan gunakan hard power melalui adu domba antara Cina versus kelompok “proxy”-nya seperti Jepang, Korsel, Taiwan, Philipina, dll, via modus ‘utang dibayar bom’. Sedangkan destabilisasi kawasan-kawasan lain, dalam hal ini termasuk Indonesia ialah melalui smart power, atau gerakan massa, atau istilah populernya asymmetric warfare

Singkat kata, perubahan sentral geopolitik yang digeser oleh Paman Sam dari Jalur sutera menuju Asia Pasifik terutama di Laut Cina Selatan dan sekitarnya, membawa konsekuensi logis tak terelakkan, artinya kawasan target dan sekitarnya niscaya menjadi proxy war (medan tempur) baik dalam ujud symmetric warfare (peperangan militer) maupun asymmetric warfare (peperangan non militer, gerakan massa, dll).

Rekomendasi

Menyudahi catatan tak ilmiah ini, tanpa bermaksud menggurui siapapun, terlebih kepada pihak yang lebih ahli, berkompeten dan berkepentingan, penulis ingin memberikan sumbang saran pemikiran. Seandainya dijumpai perbedaan pendapat, persepsi dan lain-lain maka anggaplah sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam tanpa perlu syak wasangka, atau kewaspadaan, apalagi sampai bersikap saling curiga. Kenapa demikian, tak ada niatan apapun selain hal-hal yang disampaikan demi kebaikan bersama dalam rangka menegakkan harga diri bangsa dan kedaulatan negara, dan utamanya, guna mempompa benih semangat KEBANGKITAN NUSANTARA di dunia internasional.  

Apa hendak dikata. Rekomendasi ini tidak bersifat teknis dan taktis, tetapi merupakan garis besar saja. Antara lain:

Pertama, kita tak perlu menanggapi atau terpancing untuk bermain symetric (militer) dengan pihak Aussie tetapi cukup melalui asymmetric strategy, misalnya menghentikan bentuk kerjasama di segala bidang;

Kedua, putuskan semua jenis impor baik gula, garam, daging, dan lain-lain, karena secara geopolitik, sesungguhnya Aussie merasa cemas bila terputus hubungan sebab hampir 80% APBN-nya tergantung republik ini. Indonesia itu buffer zone bagi Aussie, selain merupakan pasar bagi komiditi ekspornya, juga kapal-kapal dan kontainernya hilir mudik membawa barang ekpor-impor melalui perairan Indonesia. Maka jika diputus segala impor Aussie, atau ditutup semua perairan kita terutama “selat-selat” lintasan, maka akan “terbakar” Australia, terbakar dari sisi internal dengan maraknya gejolak sosial akibat hilangnya pasar, pekerjaan dan lintasan distribusi dari komoditinya;

Ketiga, sesekali perlu dilakukan test case atas pemberdayaan geopolitical leverege yang melekat sebagai “takdir” republik ini, berupa penutupan Selat Lombok dalam jangka tertentu untuk Latihan Gabungan (Latgab) TNI-Pori dalam rangka memerangi terorisme, separatisme, illegal logging, illegal fishing, dan lain-lain.

Terimakasih.

0 komentar

Write Down Your Responses