Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia (Bag-6)
Oleh. M. Arief Pranoto
Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik (Bag-6)
Prakiran politik global versi GFI mencatat, ada fenomena di
awal 2012-an yakni geliat Jepang dan Cina 'menolak US Dollar' dalam
setiap transaksi. Artinya perusahaan Cina dan Jepang bisa langsung
mengkonversi mata uangnya masing-masing tanpa mengkonversi ke dolar AS.
Inilah yang dicemaskan Paman Sam. Pengalaman Saddam Hussein yang
coba-coba mengubah transaksi minyak di Irak dari dolar menjadi uero,
atau Gaddafi yang hendak mencetak uang emas/dinar di Libya ---maka
dengan berbagai dalih--- berujung dengan luluh-lantaknya kedua negara
diserbu oleh AS dan NATO. Boleh ditebak. Pasca fenomena dimaksud, memang
timbul gelombang imitasi (meniru) ‘menolak dolar’ tak terkira sampai
kapanpun, dicontoh oleh negara-negara lain, entah karena snawball process alami.
Dan tampaknya kelompok Shanghai Cooperation Agreement (SCO)
dan BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) terlihat
kompak mengurangi peran dolar di setiap transaksi. Indonesia tak mau
ketinggalan, pemerintah telah melakukan currency agreement
dengan Cina tanpa menggunakan dolar AS, tetapi memakai mata uang
masing-masing. Yuan dianggap kandidat uang global dengan semakin
memudarnya peran dolar. "Satu lagi kandidat muncul adalah
Yuan, Cina. Ini akan diperdagangkan dan menjadi mata uang global," ujar
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi Johansyah, dalam
pelatihan wartawan ekonomi dan perbankan di Bandung, Sabtu (7/12/2013).
Bagi AS, memprovokasi (devide et impera)
antara Cina versus Jepang agar meletus konflik terbuka (militer) ialah
keniscayaan, artinya selain menerapkan kembali modus “utang dibayar bom”
sebagaimana sukses di Libya, juga untuk membendung gelombang imitasi
menolak dolar dimana kedua negara sebagai pemrakarsa!
Gejolak Thailand: Asia (Tenggara) Spring, atau Kebangkitan Timur
Melingkar sebentar namun masih koridor topik. Sebelum melanjutkan bahasan terkait geopolitical shift
dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik, sebaiknya mengupas sedikit
gonjang-ganjing politik di Thailand, terutama upaya pihak oposisi
menurunkan Perdana Menteri (PM) Yinkluck Shinawatra. Pertanyaannya:
"adakah keterkaitan gejolak tadi dengan pergeseran geopolitik global?".
Hal ini yang hendak diperdalam.
Tak
boleh dipungkiri. Gejolak di Negeri Gajah Putih kini dipicu oleh
kebijakan pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Amnesti. Agenda UU
tersebut ialah pengampunan bagi siapapun petinggi Thailand yang terjerat kasus 2004-2010. Kuat disinyalir, bahwa konsep Amnesti sebagai siasat Yingluck mengembalikan kakaknya, Thaksin Shinawatra, PM 2001-2006 yang terjungkal oleh kudeta militer dan hingga sekarang hidup di pengasingan.
Secara
politis, rakyat Thai terbelah dua. Tatkala pegelaran melimpah di
jalanan, maka jenis massa terbagi atas kelompok “kaos merah” versus
“kaos kuning”. Kaos merah dikendalikan oleh Thaksin Shinawatra yang kini
entah di (pengasingan) London, Kamboja atau Dubai, hanya “proxy”-nya
memang terlihat eksis di berbagai elemen bangsa, karena terbukti
---meski Thaksin jatuh--- partainya (Thai Party) mampu memenangkan
pemilu tahun 2008 dan 2010, sehingga Yinkluck adiknya, menjadi PM.
Sedangkan
massa kaos kuning dalam kontrol Suthep Thaugsuban, Mantan Wakil PM
2011, Sekjen Partai Demokrat dan kini bermetamorfosa memimpin (oposisi)
Komite Reformasi Demokratik Rakyat, yang meng-“ultimatum” Yinkluck
supaya mundur dari kursi PM dan menyerahkan kepada Dewan Rakyat. Ia juga
memimpin Civil Movement for Democracy (CMD), dimana dalam
konferensi pers dinyatakan, bahwa Suthep tak akan berhenti berjuang
sebelum rezim Thaksin musnah dari Thailand.
Tidak
tanggung-tanggung, "Ia menghabiskan uang sekitar 5 juta baht per hari
(Rp 1,8 miliar) untuk membuat demonstran tetap ada di jalanan, pasti ada
orang-orang di belakangnya memberikan uang itu", kata Kan Yuenyong,
Direktur Eksekutif Siam Intelligence Unit, salah satu think tank di Thailand (South China Morning Post, Senin 1 Desember 2013). "Mereka
yang di belakang protes adalah orang-orang yang sama dengan kudeta 2006
lalu. Tak mungkin Suthep beraksi sendiri," ujar Yuenyong.
Dari mapping sementara,
Suthep bersama “kaos kuning”-nya terkesan ingin menegakkan Monarki
Konstitusional di Thailand sebagaimana diucapkan Ekanat, juru bicara
Komite Reformasi Demokratik Rakyat: "Dia akan berjuang dengan damai
sampai Thailand menjadi monarki konstitusional selengkapnya". Sedangkan
Thaksin lain lagi, meski didukung oleh masyarakat bawah, tetapi dibenci
elit tradisional, pebisnis besar, penasihat kerajaan, jenderal, dan
juga kaum kelas menengah. Selain masa lalu dan kiprahnya ketika menjadi
PM berorientasi kepada asing, ia terlihat kontra terhadap Sistem
Kerajaan di Negeri Gajah Putih. Inilah yang terjadi. Dan keduanya, baik
Suthep maupun Thaksin memiliki basis massa kuat dan meluas, serta
sama-sama militan.
Entah kaos kuning melawan
kaos merah, entah pihak yang pro dan kontra terhadap sistem monarki,
bukanlah persoalan penting bagi asing. Itu urusan internal. Termasuk
soal "lembek"-nya penanganan massa kuning oleh aparat keamanan setempat,
juga urusan internal negeri. Akan tetapi dari sisi asymmetric strategy
yang kini tengah dikembangkan oleh Barat, kondisi aktual di Thailand
ini merupakan “titik kritis” yang sewaktu-waktu dapat diletuskan. Bisa
dibelah. Ini yang mutlak diwaspadai. Setiap saat pun bisa diciptakan
huru-hara di Thailand, sebab bahan bakarnya (titik kritis) memang riil
nyata dan akut.
Tetapi tulisan ini tidak akan membahas, apakah Suthep murni berhasrat menegakkan local wisdom
leluhur (monarki konstitusional)-nya, atau sekedar menjalankan skenario
“titipan asing” yang ingin destabilisasi negara karena berbagai
kepentingan mereka akan terlindungi dengan timbul konflik internal?
Memang masih memerlukan kajian panjang. Tetapi jika menelisik track record Suthep ternyata bukanlah sosok yang bersih. Tak sedikit catatan hitamnya.
Berbagai
penyimpangan bahkan pelanggaran pekem konsitusi pun dilakukan oleh
Suthep baik saat menjadi Wakil PM, anggota parlemen, dll. Misalnya, ia
terlibat korupsi tahun 1995, oleh sebab memberikan tanah hak orang
miskin kepada keluarga kaya di Pukhet; ia pernah dipaksa mundur dari
parlemen dekade 2009-an atas tuduhan melanggar konstitusi karena
memiliki saham di perusahan media yang mendapat konsesi dari pemerintah;
ia turut pula memainkan peran dalam kerusuhan berdarah di Bangkok tahun
2010, sehingga mengakibatkan jatuhnya pemerintahan dan sekitar 92 orang
meninggal; dan pada Oktober 2012, Suthep juga didakwa
Kejaksaan Agung atas dugaan mengeluarkan perintah yang memungkinkan
militer menembaki para pengunjuk rasa, dan lain-lain.
Pertanyaannya ialah: apakah gejolak politik di Thailand ini merupakan KEBANGKITAN TIMUR, atau titik mula Asia Spring sebagai reinkarnasi Arab Spring yang ‘gagal’, terkait berubahnya geopolitik global dari Jalur Sutera ke Asia pasifik?
(Bersambung Bag-7)
0 komentar
Write Down Your Responses