Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir (Bag-2)
Oleh. M. Arief Pranoto
Ketika Syria dituduh lagi, atau dicap kembali oleh Barat
menggunakan senjata kimia membunuh rakyatnya sendiri, sebenarnya bukan
sekedar peristiwa berulang, namun boleh dinilai sebagai isue kuno, atau
stigma basi. Kenapa demikian, karena sebelumnya, Bashar al Assad, juga
telah menerima tuduhan dan stigma sama walau topiknya berbeda. Tragedi
Hawla misalnya, dimana rakyat Syria dibantai dengan tata cara non
militer seperti ditembak jarak dekat, ditusuk, digorok, dll hal mana
perbuatan tersebut dituduhkan kepada militer Assad. Tetapi akhirnya tak
terbukti dan humanitarian intervention PBB pun gagal ‘mendarat’
di Syria; selanjutnya pasca kekalahan milisi pemberontak (oposisi),
pihak Barat kembali menebar stigma dan kali ini militer Assad dituduh
menggunakan senjata kimia sarin.
Ya.
Stigma berawal dari klaim London yang didukung Washington, bahwa Badan
Intelijen Inggris (MI-6) menemukan sampel tanah Syria mengandung bahan
kimia yang dituduhkan pada pasukan Assad. Namun betapa lucu, klaim
mengemuka ketika sebelumnya, para penyelidik PBB justru menemukakan
fakta-fakta kebalikannya bahwa senjata kimia digunakan oleh milisi
teroris anti-Assad. Mereka mendapatkan kesaksian dari para korban dan
staf medis yang menunjukkan para milisi oposisi bersenjata menggunakan
gas sarin.
Reuters Senin
(6/5/13) melaporkan, Carla Del Ponte, anggota Komisi Independen PBB
untuk Penyelidikan di Syria mengatakan: “Kami tidak menemukan bukti
bahwa pasukan pemerintah Damaskus menggunakan senjata kimia terhadap
milisi bersenjata”. Dan agaknya counter berita oleh Ponte dari Komisi Independen PBB sempat meredakan suasana beberapa jenak.
Tetapi
tatkala stigma penggunaan kimia menguat kembali dimarakkan oleh Barat
melalui media. Inilah perang propaganda. Sebagaimana isyarat Joseph
Goebbels, Menteri Propaganda NAZI (1942): "Sebarkan
kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang,
akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar
ialah kebenaran yang diubah sedikit saja”. Lalu, pada kasus penggunaan
senjata kimia di atas, sesungguhnya siapa berbohong?
Dalam
tahapan kolonialisme, penyebaran isue, stigma, atau propaganda dan
lain-lain sejatinya hanya modus awal ataupun langkah permulaan karena
episode berikut niscaya ada ‘tema’ yang akan dimunculkan. Sebagaimana
pola yang sudah-sudah, membaca skenario kolonialisme Barat setelah
ditebar isue-isue di Syria, keniscayaan tema yang bakal diangkat ialah
penerbitan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB seperti dulu mereka tabur di
Irak melalui (stigma) senjata pemusnah massal, atau di Libya via isue
“pelanggaran HAM”-nya Gaddafi, dll dimana muara keduanya ialah ‘humanitarian intervention’. Artinya entah peace keeper yang
mengawaki mandat PBB nantinya, entah NATO, atau ISAF dan lain-lain,
tergantung situasi kondisi. Kendati hingga kini senjata pemusnah massal
tak pernah ditemukan, tetapi Irak terlanjur porak-poranda. Libya pun
demikian. Sekali lagi, siapa berbohong?
Sejenak keluar topik namun dalam koridor materi. Ya. Apabila mandat PBB diberikan peace keeper (pasukan
baret biru) biasanya bermuara pada jajak pendapat, pemilu ulang,
referendum, dst yang intinya memisah wilayah target dari negara induk.
Imperialis memang memiliki slogan: “Verdeel en heers”—pecahkan dan kuasai. Ini yang sering terjadi. Tak bisa tidak.
Tengoklah praktek di Sudan, model imperialisme melalui tata cara referendum, pemilu ulang dll akhirnya
‘sukses’ membelah Sudan menjadi dua negara (Sudan dan Sudan Selatan),
atau Timor Timur (Leste) kini menjadi negara merdeka, dan lain-lain.
Polanya sama. Ditebar duluan isue, lalu diangkat sebuah tema, sedang
skemanya adalah “pendudukan”, baik berupa penguasaan (pendudukan)
ekonomi maupun pencaplokan sumberdaya (SDA) di daerah target. Dalam
kolonialisme, isue dan tema boleh saja berubah-ubah sesuai keadaan, akan
tetapi “skema” tetap lestari, yakni penguasaan ekonomi dan pendudukan
SDA di wilayah target.
Dan lazimnya ketika mandat turun ke NATO bakal berujung bombardier dan pengerahan militer secara terbuka (NATO, ISAF). Ini pola (kolonialisme) berulang. Kendati keduanya, baik peace keeper maupun tentara koalisi sering pula bersinergi di wilayah target. Bahkan
seringkali tanpa mandat PBB pun, AS dan sekutu berani menyerbu
kedaulatan negara lain dengan alasan “Kepentingan Nasional”-nya
terancam. Invasi militer Barat ke Irak (tahun 2003-an) merupakan contoh
aktual. Ya, berbekal preemtive strike doctrine dan stigma bahwa
Irak menyimpan senjata pemusnah massal, Negeri 1001 Malam diobrak-abrik
lalu Saddam Husein pun digantung oleh AS dan sekutu. Sekali lagi, awal
penyerbuan Irak dahulu tanpa bekal mandat dari PBB, meski di tengah
operasi akhirnya terbit resolusi PBB, namun secara politis hanya
melegitimasi serangan ilegal tersebut. Dan dunia membisu seribu bahasa!
Kembali
ke Syria. Isyarat William Hague, Menteri Luar Negeri Inggris, negaranya
kemungkinan merespon penggunaan senjata kimia di Syria tanpa perlu izin
DK PBB, karena Cina dan Rusia hampir pasti mem-veto pemungutan suara di
DK. Seketika statement Hague mendapat respon langsung dari
Rusia. Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia menyatakan, bahwa
intervensi militer ke Syria tanpa mandat DK PBB merupakan pelanggaran
terhadap hukum internasional. Tetapi toh akhirnya parlemen Inggris tidak menyetujui rencana ‘invasi militer’ tersebut.
Menanggapi
perang diplomasi antara Inggris dan Rusia tersebut, Assad berkata:
"Adakah negara yang menggunakan (senjata) kimia atau senjata pemusnah
massal di sebuah tempat dimana pasukannya sendiri terkonsentrasi disana?
Bukankah hal itu bertentangan dengan logika dasar!". Lebih mengejutkan
lagi, tanggapan Bashar al-Assad seolah justru menantang hegemoni Barat,
karena ia mengingatkan jika AS memilih opsi serangan militer ke
Damaskus, maka Washington akan mengalami bencana seperti di Vietnam
(Rueters, Senin, 26 Agustus 2013). Sejak awal krisis, kami
telah menunggu musuh sejati kami menampakkan dirinya," kata Assad kepada
para pejabat Damaskus seperti dikutip surat kabar Lebanon al-Akhbar
pada Kamis (29/8). Ia menambahkan, Damaskus akan menjadi pemenang dalam
setiap konfrontasi militer yang mungkin terjadi dengan Amerika Serikat
dan sekutu.
Pertanyaan
menggelitik muncul: benarkah Paman Sam dan sekutu “nekad” memilih opsi
militer ke Syria dengan atau tanpa resolusi PBB? Beberapa analisa baik
dari pakar maupun pengamat memang berkembang menyikapi kondisi aktual
semacam ini. Ada yang pro dan kontra. Tetapi tidak kami bahas pro kontra
dimaksud sebab kurang signifikan.
Gelagatnya,
memang AS sudah mengirim kapal-kapal tempur termasuk empat kapal
perusak ke Laut Mediterania. Sementara Inggris juga telah mengerahkan
enam jet tempur Typhoon ke pangkalan militer Akrotiri di Siprus, walau
opsi parlemennya menolak serangan militer ke Syria.
Terlihat
pertemuan DK PBB pun berakhir tanpa mencapai kesepakatan. Sudah diduga,
sejumlah anggota DK mendorong resolusi penggunaan kekuatan terhadap
Syria, tetapi Rusia dan Cina menentang keras setiap serangan militer
apapun. Bahkan sebelumnya, sebuah memorandum telah dikeluarkan kantor
Kepresidenan Rusia (27/08/13) untuk Angkatan Bersenjata Rusia yang
isinya supaya melakukan serangan militer besar-besaran melawan Arab
Saudi jika Barat menyerang Suriah. Tampaknya Putin sangat marah setelah
pertemuan dengan Bandar bin Sultan awal Agustus lalu, karena ia
mengancam Rusia akan mengerahkan teroris Chechnya jika Moskow menolak
permintaan agar melepas dukungannya terhadap Syria. Apalagi menurut
laporan FNA Selasa (27/8), bahwa Dinas Intelijen Saudi pimpinan Bandar
bin Sultan itu telah mengalokasikan 70 juta dolar secara langsung untuk
mendorong para pejabat politik keamanan AS menyerang Syria!
(Bersambung Bag-3)
0 komentar
Write Down Your Responses