Belajar dari cinta dan kebenaran

Oleh. M. Arief Pranoto


Tatkala orang bicara soal cinta dan kebenaran, sesungguhnya ia tengah mencari dan memilih "sesuatu" dalam hidup serta kehidupan. Salah mencari bisa tersesat lalu terjerumus. Was-was memilih menjadi ragu-ragu. Atau terlampau yakin cenderung gegabah bahkan bisa terjebak rasa takabur lagi sombong. Tidak untuk ketiganya. Setiap diri pasti ingin menjadi orang yang benar, benar dan benar.

Adalah keniscayaan bahwa cinta dan kebenaran selalu menarik diperbincangkan, dinyanyikan bahkan dibuat legenda banyak orang bahkan bangsa dimanapun. Oleh karena sejatinya hidup berawal dari cinta dan kehidupan menjadi menarik, indah dan mempesona sebab manusia meyakini akan sebuah kebenaran. Asal jangan merasa benarnya sendiri saja?

Hidup itu sendiri. Hanya kehidupan yang bersama-sama. Hidup ditentukan oleh diri sendiri. Kehidupan dapat ditentukan orang lain dan lingkungan. Setiap hidup berbeda, cuma kehidupan yang bisa dan boleh diseragamkan. Hidup itu manunggal rasa, hanya berbeda rupa berbeda warna/suasana.

Seandainya ia garis, hidup itu vertikal - kehidupan ialah garis horizontal. Pada dimensi bilangan, hidup itu nol maka kehidupan adalah angka-angka sesudahnya. Jikalau cinta itu zat, maka ia tak berwarna dan kebenaran yang memberi warna-warni. Ibarat tubuh, cinta ialah darah yang mengaliri hidup, sedangkan kebenaran adalah kaki penyangga kehidupan.

Tidak ada kehidupan tanpa hidup. Bermanfaat dan mudharatnya hidup karena kehidupan. Tak ada hidup tanpa cinta. Sia-sia kehidupan tanpa kebenaran. Demikian aneka unsur jalin-berjalin antara hidup, cinta, kehidupan dan kebenaran. Pertanyaannya adalah: siapa sejatinya dibalik makna (hakiki) cinta dan kebenaran dalam hidup serta kehidupan ini?

Konon, cinta ialah sesuatu berbentuk pengungkapan, perasaan, pengorbanan, pengertian dan program. Pertanyaan hipotesa adalah: (1) bagaimana dikatakan cinta, sedangkan kamu belum pernah mengungkapkan apa-apa; (2) bagaimana bisa mengatakan bahwa cintamu sungguh suci, sedangkan kamu tak punya perasaan apa-apa; (3) bagaimana disebut cinta, sementara kamu tidak pernah berkorban apa- apa; (4) bagaimana bisa menerima cintanya, sedangkan kamu tidak punya pengertian apa-apa; (5) bagaimana mungkin cintamu disebut tulus dan ikhlas, sedangkan dirimu tidak memiliki program apa-apa?

Lalu kebenaran adalah sesuatu berbentuk penyelidikan, permasalahan, pembahasan, penerapan dan petunjuk. Pertanyaan retorikanya: (1) bagamana mungkin sesuatu dianggap benar, sedangkan hal itu belum diselidiki; (2) bagamana mungkin sesuatu dianggap benar, sedangkan hal itu belum pernah ada masalah sebelumnya; (3) bagaimana mungkin sesuatu dianggap benar, jika sebelumnya tidak pernah dilakukan pembahasan; (4) bagaimana dikatakan benar, sedangkan kamu belum pernah menerapkannya; (5) bagaimana tindakanmu dikatakan benar, sedang langkah yang kamu tempuh tidak sesuai petunjuk?

Itulah cinta dan kebenaran. Tatkala mencarinya wajib melalui tata-hukum yang dijalankan secara benar guna mengetahui “sesuatu”. Atau mengetahui dulu dengan benar ikhwal jalannya hukum tentang sesuatu dimaksud. Jangan dipenggal. Jangan pula diacak atau dibolak-balik, bisa menimbulkan kerancuan, stagnasi, distorsi dan seterusnya. Karena pemaknaan sepotong-sepotong, seringkali ngawur serta cenderung mengada-ada.

Mereguk cinta dan kebenaran dalam hidup serta kehidupan, ternyata membutuhkan persyaratan, tata krama dan kriteria logika. Oleh karena meraih cinta dan kebenaran jalannya ada lagi nyata. Bukan seperti mimpi, ada tetapi tak nyata. Cinta bukanlah soal perasaan belaka, bukan masalah pengungkapan saja, bukan perasaan saja, bukan pula soal pengertian semata. Cinta butuh pengorbanan. Ia butuh program-program nyata.

Demikian pula hal ikhwal kebenaran. Ternyata ia bukan sekedar petunjuk pimpinan, tidak pula fatwa para ulama, atau doktrin-doktrin semata. Kebenaran butuh penyelidikan karena ada masalah sebelumnya. Kebenaran membutuhkan pembahasan. Dan kebenaran butuh penerapan tindakan sebagai bukti untuk meyakinkan bahwa hal itu memang benar adanya.

Menyatakan cinta tanpa ada kriteria dan persyaratan logika adalah gombal belaka. Seperti remaja dimabuk cinta, cuma syahwat yang bicara. Ia akan berlalu ketika mereka terlena dibuai cinta. Menyebut kebenaran tidak dengan tata krama logika adalah dogma. Apakah dogma ialah keyakinan yang diterima tanpa kritik tanpa selidik. Cuma soal waktu saja, lambat laun dogma berubah basi dimana manfaatnya hanya sekedar mitos ataupun stigma. Letaknya dimulut berselimut gengsi dan kebohongan belaka.

Oleh karena itu, janganlah berpindah dari suatu hal kepada hal lain sebelum kamu mengetahui hakikat kebenaran, terutama kebenaran mencinta, dicinta serta kebenaran dalam bercinta. Sesuatu dikatakan benar adalah sesuatu yang bergerak menurut sifat dan tuntutan zaman. Selain daripada itu masih belum dapat dikatakan benar secara mutlaq, karena sesungguhnya kebenaran itu berasal dari Dia, Rabb Yang Maha Kekal.

0 komentar

Write Down Your Responses