Menggali Urgensi Selat Sunda (Bag-3/Habis)

Oleh. M. Arief Pranoto
(Menggali Urgensi Selat Sunda dalam Pertikaian Global dari Perspektif Geopolitik (Bag-3/Habis)


The Malacca Dilemma dan String of Pearls

Sepintas diurai pada awal catatan ini, bahwa Selat Malaka merupakan chokepoints shipping in the world. Tak bisa dipungkiri, Malaka memang selat paling sibuk setelah Hormuz. Dan peningkatan pelayaran merupakan keniscayaan seiring gegap dinamika baik kebutuhan maupun kepentingan pribadi, kelompok dan juga bangsa-bangsa di dunia. Kepentingan akan cenderung arogansi dan sering menampakan aroma pemaksaan oleh sekelompok adidaya, sedangkan kebutuhan lebih moderat. Artinya ada take and give dalam menyatukan aneka kebutuhan. Itulah sekilas kelebihan kebutuhan daripada kepentingan yang seringkali tampil dengan sikapnya yang lalim lagi sewenang-wenang.

Selanjutnya dampak tingginya frekwensi pelayaran, diyakini akan mengendala bagi para pengguna jalur di Selat Malaka. Kini pun tengah bermunculan. Seperti traffic congestions misalnya, adalah kemacetan akibat semakin sempitnya jalur. Atau pendangkalan di beberapa bagian selat. Timbul pelambatan jelajah kapal sebab pelayaran yang super sibuk, dan berpotensi muncul masalah baru seperti kerawanan pembajakan, atau kejahatan laut lain. Selain itu terdapat pula biaya tambahan karena waktu tempuh lebih lama, sistem pengamanan ekstra bagi kapal-kapal yang melintas, dan masih ada dilema-dilema lain terkait hal-hal teknis, operasional bahkan aspek politis dalam lingkup perairan dan pelayaran internasional. Inilah sekilas the malacca dilemma yang kelak akan menemui titik puncaknya.

Tampaknya the malacca dilemma menyimpan konsekuensi tersendiri bagi Cina. Adalah Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations mengatakan: “whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.” Ini rupanya! Bahkan Presiden Hu Jiantao menegaskan, “Malacca-Dilemma” merupakan persoalan kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80% impor minyak Cina melewati Selat Malaka, oleh karena itu keamanan jalur di “selat basah” ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi Negeri Paman Mao.

Sedangkan String of Pearls ialah strategi Cina dalam rangka keamanan suplai energi. Selain strategi ini mempunyai konsekuensi dibutuhkannya militer modern yang progresif, juga memerlukan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan. Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, Laut Arab dan Teluk Persia. Sehingga dalam peta, terlihat mirip untaian mutiara atau gambar kalung (Pearls).

Implementasi String of Pearls ini memang tergantung fasilitas militer yang memadai di Pulau Hainan; landasan terbang darurat di Pulau Woody, Kepulauan Paracel, jaraknya sekitar 300 mil dari laut timur Vietnam; kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan air dalam di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lainnya. Dalam beberapa kasus, ia memberi subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas lapangan udara di negara-negara target dengan kompensasi fasilitas dibuat sesuai standar Cina.

Jean Paul Rodrigue menyatakan, jalur transportasi minyak dan gas untuk kebutuhan energi di Asia Timur selain melalui Selat Malaka, juga melintas di Selat Sunda, Selat Lombok dan lainnya. Tak boleh dipungkiri, ketiganya merupakan selat vital bagi negara-negara Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Isyarat Rodrigue, jika terjadi hambatan pelayaran di Selat Malaka maka alternatif jalur paling singkat adalah Selat Sunda.

Bagi Cina, the dilemma malacca bukanlah sekedar persoalan teknis dan taktis semata. Isyarat Yuncheng dan Jiantao menyebutkan, bahwa yang paling mengkhawatirkan justru bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutu di Singapura. Tak dapat dipungkiri, semakin menegangnya hubungan politik antara Paman Sam dan Paman Mao, niscaya memiliki implikasi negatif atas hilir-mudik pelayaran Cina di Selat Malaka. Shock and awe pun telah ditebar, melalui janji mengirim kapal tempur pesisir (LCS) USS Freedom di Selat Singapura, ujar Laksamana Thomas Rowden (10/5/2012). USS Freedom ialah kapal perang jenis terbaru AS, memiliki kecepatan hingga lebih 40 knot serta handal untuk perang di lautan dekat pesisir, mampu menyapu ranjau laut dan menyerang kapal selam.

Ya, meskipun data-data ini masih sangat terbatas, setidaknya sudah bisa dijadikan mapping sementara tentang kondisi geopolitik Asia Pasifik menjelang friksi terbuka sebagaimana ramalan PNAC 2002, baik terkait implementasi String of Pearl atau dinamika kapal-kapal negara lainnya.

Perspektif catatan ini mencermati, apabila dilemma malacca mencapai titik kulminasi akibat perang terbuka, maka besar kemunginan jalur Selat Malaka akan “tersumbat”. Sudah barang tentu, sesuai prakiraan Rodrigue jalur pelayaran akan beralih ke Selat Sunda karena dianggap rute alternatif tersingkat dari jalur-jalur lazimnya. Inilah keunggulan Indonesia secara geopolitik terutama bagi negara-negara yang terlibat konflik. Betapa dahsyat urgensi Selat Sunda dan alur-alur laut lain di mata dunia, karena banyak negara tergantung pada wilayah perairannya.

Sejatinya tinggal bagaimana faktor geografis dijadikan geopolitical leverage (daya ungkit) melalui pemberdayaan secara benar dan optimal berkenaan posisi strategis di antara dua benua dan dua samudera. Menurut Dirgo D. Purbo (2012), geopolitik dalam wawasan nusantara merupakan jawaban untuk Kepentingan Nasional RI di abad XXI. Tak bisa tidak, Kepentingan Nasional RI harus menjadi rujukan utama dalam memberdayakan daya ungkit (geopolitik) yang melekat sebagai takdir geografis.

JSS: Berkah atau “Bencana Geopolitik”?

Ketika Indonesia memberi peluang Cina terlibat dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), tawaran itu mungkin dianggap “berkah” dari langit. Kenapa demikian, selain nilai proyeknya menakjubkan (sekitar Rp 100-an triliun) juga secara geopolitik, kelak Cina-lah yang “menguasai” Selat Sunda dengan alasan profit bisnis selaku investor. Belum masalah String of Pearl dan implementasinya. Artinya peluang itu bukan hanya mengurangi malacca dilemma atau menghindari sekalipun, tetapi bahayanya justru Cina akan menjadi pengendali baru di selat ini. Ia berani memastikan tidak akan ada kendala signifikan pada sistem pelayarannya meskipun ada “sumbatan” di Selat Malaka akibat friksi melawan AS dan sekutu.

Tawaran kepada Cina, selayaknya perlu direnungkan atau dikaji ulang oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Praduga penulis, tanpa sebuah negosiasi yang merujuk Kepentingan Nasional RI, justru berpotensi timbul “bencana geopolitik”. Sudahkah para penggagas dan pengambil kebijakan JSS melek dan sadar geopolitik? Tolong jangan dilihat dari aspek sosial ekonomi saja, mutlak harus dicermati secara komprehensif atas prakiraan situasi kedepan. Beberapa opini mengkhawatirkan, bahwa JSS dapat mengikis identitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Tanpa perencanaan strategis dan pola nego canggih lagi handal, jangan-jangan rakyat di sekitar JSS cuma menjadi penonton belaka?

Telah banyak contoh di berbagai belahan dunia, ketika suatu wilayah menyimpan potensi gas, minyak dan aneka tambang lain dalam deposit relatif besar, kecenderungan warga yang hidup di atas dan sekitarnya justru berakhir Absentee of Lord, menjadi Tuan Tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri. Tanah Air hanya tinggal airnya, tanahnya dikapling-kapling oleh perusahaan entah dari mana. Mungkin “diciptakan” konflik komunal dengan aneka dalih, atau dibuat seolah-olah itu bencana, dan lainnya. Disini perlu wawasan dan perspektif geopolitik dalam rangka membangun JSS.

Merujuk awal catatan ini, hakiki geo (tanah, bumi, dsb) dimanapun, seharusnya tidak sekedar membawa orang, kelompok, bangsa dan negara pada gerbang kemerdekaan, tetapi yang pokok adalah membentuk warga bangsa yang hidup di atasnya menjadi terhormat, memiliki martabat dan hidup sejahtera di muka bumi. Demikian juga bagi bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat di sekitar Selat Sunda pada khususnya. Ya, geopolitik memang takdir.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Tibalah di ujung catatan sederhana ini. Sesuai judul dan uraian-uraian tadi diperoleh pointers yang bisa dianggap sebagai simpulan sekaligus rekomendasi. Antara lain sebagai berikut:

Pertama: Memanasnya suhu politik antara Cina melawan AS dan sekutu, selain menggeser geopolitik global dari Heartland ke Asia, juga meniscayakan perubahan konstelasi di Asia Pasifik terutama Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Apalagi jika kelak benar-banar meletus konflik terbuka di perairan;

Kedua: Inilah “perang skema” antara adidaya Barat dan Timur, dimana Paman Sam via Kekaisaran Militer ---meminjam istilah Connie--- asyik membangun pangkalan militer di berbagai belahan dunia, sedangkan Cina mengimbangi melalui String of Pearls di jalur-jalur utama serta alur alternatif perairan;

Ketiga: Kelak bila terjadi perang terbuka di perairan, bukannya akan langsung berhadapan antara Cina versus AS, tapi pagelaran cenderung menampilkan perang proxy (perpanjangan) antara Cina melawan kelompok negara common wealth di sekitarnya. Akan tetapi para negara satelit tersebut didukung sepenuhnya oleh armada laut AS;

Keempat: Dari mapping prakiraan situasi tadi, semakin terlihat urgensi Selat Sunda dari sisi geopolitik. Artinya ketika Selat Malaka telah menjadi “jalur tidak aman” bagi pelayaran internasional akibat perang, maka rute alternatif tersingkat baik dari dan ke Lautan Hindia serta Lautan Pasifik dipastikan akan melintas di Selat Sunda dan selat lainnya dalam koridor ALKI di Indonesia;

Kelima: Perlu dibidani produk-produk hukum terkait geopolitical leverage (pemanfaatan geopolitik), misalnya “penutupan sementara” selat-selat di Indonesia ketika dinamika pelayaran telah mengancam keamanan nasional dan Kepentingan Nasional RI. Hal ini mutlak segera dilangkahkan oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini sebagai respon terhadap situasi yang berkembang sekaligus penyikapan peralihan geopolitik global;

Keenam: Bila JSS memang merupakan program yang tidak boleh ditunda, maka rujukan pokok selain menekankan Kepentingan Nasioanal RI juga aspek geopolitik, baik dari sisi kedaulatan negara, kesejahteraan maupun kepentingan pendukung lain bersifat lintas fungsi dan departemen serta melibatkan berbagai tokoh dan masyarakat sekitar. Syukur-syukur ditunda hingga menunggu waktu yang tepat. Tapi paling minimal adalah tinjau ulang atas proposal JSS agar tidak semata-mata mengkedepankan aspek sosial ekonomi belaka;

Ketujuh: Salah satu prioritas pembangunan RI kedepan mutlak harus menguatkan sistem pengawasan dan pengamanan selat-selat Indonesia (ALKI) yang ditopang oleh lembaga dan departemen terkait dengan TNI-Polri sebagai ujung tombak;

Kedelapan: Kelak dengan sistem pengamanan dan pengawasan perairan yang canggih lagi handal, niscaya akan meningkatkan “daya tawar” Pemerintah Indonesia di forum global manapun, dan lebih jauh lagi adalah mengubah skema geopolitical leverage menjadi geopolitical weapon, atau senjata geopolitik bagi republik tercinta ini.

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

0 komentar

Write Down Your Responses