Konflik Maroko Versus Sahara Barat
Oleh. M. Arief Pranoto
(Konflik Maroko Versus Sahara Barat: Pola Kolonialisme Melestarikan Wilayah Tak Bertuan di Jalur Sutra)
Menurut bacaan penulis dengan merujuk berbagai sumber, siapapun orang apabila hendak menelaah konflik antara Maroko versus Sahara Barat (sejak 1975), rujukannya tidak boleh lepas dari dua aspek utama sebagai daya picu. Pertama adalah geopolitic leverage yang melekat (takdir) di kedua negara. Artinya selain letak (geostategy possition) yang strategis di tepi Lautan Atlantik, juga faktor kandungan minyak dan gas, apalagi setelah ditemukan cadangan hidrokarbon yang signifikan di Sahara Barat semakin menguatkan motivasi kedua belah pihak untuk tetap memperjuangkan klaim wilayah; dan kedua ialah kepentingan Kerr-McGee Corp dan Total, dua korporasi minyak dan gas milik Amerika Serikat (AS) serta Perancis yang memperoleh konsesi eksplorasi hidrokarbon dari Maroko (2001), meskipun akhirnya Total menarik diri (2004) karena ketidakpastian situasi.
Dengan demikian, langkah-langkah yang telah, sedang dan akan ditempuh dalam rangka kontribusi penyelesaian konflik baik melalui forum seminar, diplomasi bahkan sampai angkat senjata dan lain-lain, atau melibatkan berbagai lembaga internasional seperti PBB sebagai mediator, wajib mengaitkan dua faktor tadi sebagai “akar masalah”. Tanpa kedua hal di atas, maka pisau analisa, methode, solusi dan rekomendasi dari manapun terasa hambar bahkan terkesan didangkalkan. Inilah uraian singkat dan sederhana.
Barangkali sudah menjadi hukum alam, bahwa setiap bentuk penjajahan di muka bumi niscaya melahirkan perlawanan serta pergerakan-pergerakan rakyat (terjajah) lokal terhadap sang kolonial. Demikian pula pendudukan Spanyol di Sahara Barat sejak era 1884-an. Riak-riak perjuangan rakyat guna merebut kemerdekaaan dipelopori oleh Front Polisario, embrio pembebasan rakyat atas kolonialisme di negaranya. Dan secara de jure, front ini memang diakui oleh PBB (1979) sebagai wakil (aspirasi) rakyat Sahara Barat.
Singkat cerita, atas desakan berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri, maka Spanyol pun memberi kemerdekaan Sahara Barat melalui “Kesepakatan Madrid 1975” yang diteken oleh Spanyol, Maroko dan Mauritania. Namun entah kenapa, pasca penarikan (militer) Spanyol, Maroko langsung mengambil-alih Saguia El Hamra, sedang Mauritania mencaplok Rio De Oro. Keduanya merupakan wilayah Sahara Barat ex jajahan Spanyol. Tetapi pada saat yang sama, pada 27 Februari 1976 Front Polisario didukung Aljazair juga memproklamasikan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS). Dan secara masif, RDAS melancarkan perang gerilya guna meraih kemerdekaan terhadap penjajah baru yang dilakukan oleh Maroko dan Mauritania. Inilah mapping awal pergolakan.
Waktu pun berlalu. Karena satu dan lain hal, Mauritania pun menarik diri lalu mengakui kemerdekaan RDAS. Sikap ini sempat menimbulkan perpecahan antara Mauritania dan Maroko. Sebaliknya, Maroko bukannya melepas El Hamra justru mengklaim serta menganeksasi (Agustus 1979) secara sepihak wilayah ---Rio De Oro--- yang ditinggal oleh Mauritania. Akhirnya sekitar 20-25% wilayah menjadi kekuasaan RDAS, dan selebihnya dikendalikan oleh Maroko. Kekuasaan RDAS diakui 58 provinsi, sementara 22 provinsi menarik diri dan 12 provinsi lain akan menentukan sikap setelah ada referendum PBB.
Ya, kendati secara regional ada 75 negara mengakui dan menganggapnya sebagai anggota Uni Afrika (Africa Union/AU), namun ia belum sepenuhnya mendapat hak sebagai negara merdeka dan berdaulat. Hingga kini pusat pemerintahan dan militer RDAS berada di Tindouf, Aljazair sehingga pernah membuat panas hubungan politik antara Maroko dan Aljazair bahkan sempat memutus hubungan diplomatik.
Menebalkan data-data di atas, sumber lain menyebut bahwa 2/3 wilayah Sahara Barat diduduki Maroko, sementara sisa sepertiga dikuasai oleh RDAS. Tapi yang pasti hingga kini PBB belum mengakui status apapun bagi Sahara Barat. Statusnya terkatung-katung. Bila diibaratkan ladang, ia semacam “wilayah tidak bertuan” karena belum ada pengakuan internasional (PBB) terhadap kekuasaan mana yang syah. Itulah yang terjadi.
Otonomi Khusus Bagi Sahara? Aneh!
Beberapa solusi ditawarkan guna menyelesaikan konflik panjang tersebut, namun selalu gagal. Tetapi segala usaha membuat damai dua negara yang bersengketa di ujung Afrika Utara terus dilakukan. Yang uniq ketika upaya penyelesaian meniru mekanisme proses damai seperti konflik Aceh dulu. Tampaknya gaung keberhasilan implementasi MoU Helsinki menarik perhatian dunia.
Awalnya ialah inisiatif Otonomi Khusus (Otsus) bagi Sahara Barat yang diajukan Kerajaan Maroko sebagai tanggapan atas seruan Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi Nomor 1570 tanggal 28 Oktober 2004. Tak kurang Menlu Perancis, Alain Juppe (7/3/2011) mendukung rencana Maroko memberikan wilayah sengketa Sahara Barat otonomi adalah usulan yang realistis untuk wilayah itu. Menlu AS Hillary Clinton pun juga mendukung. Ia memberi gambaran rencana otonomi sebagai “serius, kredibel dan realistis”.
Oleh karena itu, tanggal 22 Maret 2012 digelar Seminar Internasional tentang “Governance in Autonomy Statutes: Institutions and Mechanism” (Pemerintahan dengan Status Otonomi: Kelembagaan dan Mekanismenya). Seminar di Palais des Nations (Gedung PBB) Jenewa, Swiss, itu menghadirkan ahli-ahli otonomi daerah dari negara-negara yang memiliki Otsus, yaitu Indonesia, Puerto Rico-USA, Denmark, Barcelona-Spanyol, dan New Caledonia, dipandu oleh Profesor Bertrand Mathieu dari University of Paris, Prancis.
Satu dari lima topik yang dibahas dalam seminar yang dilaksanakan Permanent Mission of the Kingdom of Morocco to United Nations Office dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa ini adalah “Helsinki MoU and The Law on The Governing of Aceh, Comparative Analysis with The Sahara Autonomy Initiative”.
Topik lain yang dibahas adalah “The Experience of the Autonomy of Catalonia for the Autonomy of the Sahara Region” oleh Eliseo Aja, Professor of Constitutional Law University of Barcelona Spanyol, “Development of the Greenland Home Rule Model and its Relevance to an Autonomy Statute for Sahara Region” oleh Dr Lisa Lyck dari Copenhagen Business School, “The Maroccan Initiative for Western Sahara Seen through the Prism of the Autonomy Status of New Caledonia” oleh Dr Carina David dari University of New Caledonia, dan “Puerto Rico’s Political Status: Main Features and Some Comparisons with the Moroccan Initiative” oleh Efren Rivera Ramos, Professor of Law University of Puerto Rico.
Pertanyaannya adalah, mungkinkah pemecahan sengketa Maroko dan Sahara Barat disamakan pola dan tata caranya dengan proses damai seperti Aceh melalui Otsus? Ini yang menjadi masalah. Artinya solusi Otsus bagi Sahara niscaya menjadi bagian masalah baru karena berbeda kondisi. Aceh tidak pernah dijajah dan merupakan bagian Indonesia (NKRI), sedang Sahara Barat bekas jajahan Spanyol, kemudian dicaplok Maroko. Bukankah terdapat azas Uti Possedetis, salah satu pedoman baku hukum internasional yang hingga kini berlaku dimana esensinya ialah: “bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka”?
Bahwa akar masalah, latar belakang, dan kharakteristik antara Aceh dan Sahara Barat sangat jauh berbeda. Ibarat ibu-ibu gendut meniru cara seorang peragawati langsing mengenakan celana ketat lagi sexy, terkesan memang “dipaksakan”. Lucu! Ya, sepertinya solusi Otsus atas Sahara hanya ingin memberikan kesan kepada dunia bahwa seolah-olah ia bagian dari Maroko.
Siapa Dibelakang Maroko?
Merujuk awal tulisan ini, selain terdapat kepentingan Total dan Kerr-McGee Corp, tak boleh dielak bahwa kepentingan AS pun kuat tertancap di Maroko. Indikasinya terlihat ketika ia membantu menggagalkan dua kali kudeta terhadap Raja Hasan II. Atau dukungan tatkala Maroko hendak menguasai Spanis Barat (nama lain Sahara Barat). Alasan kenapa Uncle Sam mati-matian mendukung Maroko adalah faktor ideologis dan geopolitik, artinya Raja Hasan II merupakan sekutu utama AS di Afrika Utara guna menghadapi Islam Radikal dan pengaruh Komunis (Ian Willian and Stephen Zunes, 30 Agustus 2006).
Selain AS, Perancis ternyata mendukung secara penuh. Apakah gara-gara Total mendapat konsesi hidrokarbon dari Maroko, entahlah. Menurut data, Total menarik diri dari bisnis migas di Maroko pada 2004. Tapi yang pasti kedua adidaya menekan Spanyol agar turut mendukung Maroko. Ancaman kepada Spanyol pun tidak tanggung-tanggung yakni menghentikan bantuan militer dan teknologi, bahkan kalau perlu embargo lebih luas lagi. Pada akhirnya diketahui, bahwa AS maupun Perancis memberikan dukungan militer kepada Maroko (Jacob Mundy, 2012).
Gerakan Maroko dan Kerr-McGee “merambah” ke wilayah Sahara Barat, sesungguhnya telah menuai kritik bahkan ditentang banyak kalangan. Hans Correl misalnya, Sekretaris Muda PBB bidang Hukum membuat pernyataan dan surat resmi (“Legal Opinion of UN Office of Legal Affairs: on the legality of the oil-contrcts signed by Marocco”, ICJ Advisory opinion, http://www.wsahara.net.legalcounsel.htm), bahwa apa yang dilakukan Kerr-McGee adalah ilegal. Alasan pertama, “Kepakatan Madrid” tidak memberikan kepada Maroko hak apapun mengenai wilayah yang menjadi sengketa, karena sama sekali tidak melibatkan rakyat Sahara Barat. Alasan kedua, Resolusi Majelis Umum PBB mengenai pengelolaan kekayaan ekonomi wilayah-wilayah yang masih berada dalam pemerintahan administasi diabdikan bagi kesejahteraan rakyat yang bersangkutan membantu pemerintahan yang mandiri. Ia menambahkan,“Kesepakatan Madrid tidak mentransfer kedaulatan atas wilayah itu, juga tidak memberikan kepada salah satu penandatangan status kekuasaan administrasi, status Spanyol (red: sebagai penjajah) tidak bisa ditransfer secara sepihak”.
Demikian juga Miguel Angel Moratinus, Menlu Spanyol sang mantan negara penjajah pun membuatstatement lebih keras lagi, bahwa apa yang dilakukan oleh Maroko adalah ilegal. Tetapi tampaknya, baik McGee maupun Maroko tidak peduli. Mereka jalan terus.
Salah satu upaya Maroko ialah Green March yakni memobilisasi massa guna menduduki Sahara Barat menggeser penduduk asli. Pola ini persis methode Cina sewaktu mengatasi konflik etnis di Xinjiang dulu, dimana pemerintah Cina men-droup suku Han hampir sama jumlahnya dengan suku Uigur, penduduk asli di Xinjiang. Mungkin contoh aktual adalah terusirnya suku Rohangya dari kampung halaman karena “meletus”-nya konflik etnis di Arakan, Myanmar, dan lain-lainnya.
Sepertinya pertikaian dua negeri di tepian Lautan Atlantik tersebut adalah perpanjangan tangan atau bahkan merupakan implementasi dari skenario global, atau jangan-jangan justru grand strategy para adidaya dunia. Inilah yang mutlak dicermati. Asumsi umum bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global semakin relevan memotret konflik berlarut antara Maroko dan Sahara Barat.
Wilayah Tak Bertuan, Urgensi Geopolitik AS di Afrika
Membahas konflik Maroko dan Sahara Barat di Afrika Utara, tidak lengkap jika tidak bicara peran US Africa Command (US Africom). Sudah tentu fungsinya tidak akan jauh berbeda dengan US Central Command (Centcom) di Timur Tengah, atau US Pasific Command (Pascom) di Hawai dan lain-lainnya.
Catatan menarik ketika Konferensi US Africom (18 Februari 2008) di Fort McNair, Wakil Laksamana Robert Moeller menyatakan: “Pedoman prinsip Africom adalah untuk melindungi aliran sumberdaya alam dari Afrika ke pasar global”. Selanjutnya masih dalam konferensi pers berikutnya (13 Maret 2008), Jenderal William Ward lebih lebih vulgar lagi mengutarakan hajat sesungguhnya dari Washington. Ia menyatakan bahwa ketergantungan AS terhadap minyak Afrika ditindaklanjuti dengan mengoperasikan US Africom berdasar prinsip dan tujuan teater “memerangi terorisme”. Luar biasa! Jelas sudah, statement pejabat US Africom di atas merupakan pengakuan bahwa “terorisme” dan isue-isue lain hanya sekedar dalih saja, atau semacam stigmaisasi guna memasuki kedaulatan Afrika, sedang tujuan pokok adalah minyak dan gas. Retorikanya, bagaimana dengan US Centcom di Middle East, US Pascom di Hawai, dan US Com lainnya? Niscaya tidak jauh beda.
Inilah gambaran terang asumsi Pepe Escobar, bahwa politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Jika Bush berbicara soal hak azasi manusia, maka yang ia dimaksud adalah minyak dan gas alam (Asia Times, 27/9, 2007).
Selanjutnya pada tulisan terdahulu (Mengurai Kiprah Perompak Somalia, 18/4/2011) pernah disinggung tentang pentingnya “daerah penopang” dalam operasi militer. Dalam konsep tempur contohnya, selain kesiapan logistik tak terbatas juga perlu (direncanakan) ”daerah penopang”, atau wilayah penyangga. Perkiraan terkendalanya atas supply dari pusat karena dihambat (sabotase) di jalan, atau karena faktor-faktor lain mutlak diperhitungkan. Tanpa daerah penopang (penyangga) niscaya dapat merusak strategi dan mengubah jalannya operasi.
Pilihan terhadap daerah penopang, lazimnya merupakan ”wilayah tak bertuan” dengan kriteria jarak yang relatif dekat dari medan inti tempur. Selain itu juga berfungsi menampung tentara desersi, cacat, trauma atau sebab lain yang menyebabkan mereka tidak layak melanjutkan pertempuran. Ini konsep lapangan, sehingga keberadaanya meski seolah-olah tak terekam oleh Markas Besar, tetapi dipahami. Artinya bila suatu ketika ada temuan pun niscaya dimaklumi – karena praktek operasionalnya dalam koridor kepentingan militer di daerah inti tempur sendiri, terutama bila menghadapi peperangan dalam skala besar dan lama. Kelebihannya di sisi lain, bahwa komando di kawasan ini mampu mencari ”logistik” sendiri dengan kelaziman tata cara militer karena lengkapnya peralatan, bahkan mungkin hampir sama dengan peralatan pasukan di daerah tempur inti.
Somalia misalnya, dalam perspektif taktis serta strategi perang AS dianggap daerah tidak bertuan. Ini merupakan analisa dan hipotesa. Kriteria selain jarak relatif tidak jauh dari Iraq dan Afghanistan, juga stigma negara gagal mendukung ia terpilih sebagai daerah penopang. Pada gilirannya, keterangan “daerah penopang” ini mampu menjawab kenapa pemerintah Somalia selama ini tidak berkutik atas ulah warganya melakukan perompakan di depan mata. Let them think let them decide!
Kembali ke Sahara Barat, apakah ia hendak dijadikan “wilayah tak bertuan” bagi kepentingan operasi militer AS dengan merujuk pedoman prinsip US Africom yaitu melindungi aliran sumberdaya alam dari Afrika ke pasar global, memang perlu penelusuran lagi.
Masih ingatkah Jalur Sutra? Inilah bahasan terakhir tulisan ini. Berdasarkan diskusi, telaah dan penelusuran Global Future Instite (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit di banyak literatur, tidak bisa dipungkiri bahwa ia merupakan jalur melegenda sejak abad ke-2 sampai akhir abad ke-19 bahkan hingga kini.
Jalur Sutra membentang sepanjang 7000-an kilometer dari Cina, Asia Tengah sampai ke Eropa. Terdiri atas banyak cabang. Tetapi secara garis besar terdapat tiga jalur utama di utara, di tengah dan di selatan : (1) Jalur Utara : terhubung antara Cina – Eropa hingga Laut Mati melalui Urumqi dan Lembah Fergana; (2) Jalur Tengah : Cina – Eropa hingga tepian Laut Mediterania, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia/Iraq; (3) Jalur Selatan : Cina – Afghanistan, Iran dan India melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir. Itulah awal dikenal atau sebutan Jalur Sutra.
Selanjutnya selain jalur ekonomi, budaya dan militer lintas benua, hampir semua negara di sepanjang jalur ini merupakan penghasil minyak, gas dan jenis-jenis tambang lainnya. Sebuah “Jalur Basah” lagi menggiurkan bagi para kaum kapitalis di dunia.
Sir Halford Mackinder (1861-1961) dari Inggris mengatakan bahwa siapa negara menguasai kawasan ini (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki kandungan sumberdaya alam dan aneka ragam mineral, bakal menuju arah “Global Imperium”. Ia menyebut kawasan ini sebagai “Heartland”, jantungnya dunia.
Dalam perspektif adidaya dunia, geopolitik kawasan ini sangat prospektif lagi dahsyat karena membelah dua dunia, yakni antara (kepentingan) Barat dan Timur. Maka dengan berbagai cara, adidaya Barat seperti jajaran Uni Eropa, AS dan para sekutu mengurai pengaruhnya. Didirikan US Centcom, US Africom, dan lainnya ialah dalam rangka menancapkan hegemoni. Tak ketinggalan para adidaya baru dari Timur (Rusia dan Cina) pun menjalin hubungan pada negara-negara di kawasan tersebut guna menebar pengaruh.
Menurut David Rockefeller, jalur tersebut melintas antara Maroko (Afrika Utara) hingga perbatasan Cina dan Rusia. Sedang asumsi GFI, riil jalur melegenda kini membujur di antara Cina dan perbatasan Rusia – via UTARA melalui Kyrgystan, Kazakhtan, Uzbekistan, Turmeniztan, Iran, Iraq, SYRIA, Turki dan selanjutnya terus ke Eropa; sedangkan via SELATAN membentang antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, SYRIA, Mesir dan terus berlanjut ke negara-negara Afrika Utara hingga MAROKO.
Titik pisah kedua Jalur Sutra (Utara dan Selatan) adalah SYRIA. Maka pantas jika kini Syria diperebutkan para adidaya dunia, karena selain geopolitic pipeline juga faktor geografinya(geostrategy possition) merupakan “titik simpul” Jalur Sutra. Barang siapa menguasai “simpul” jalur ibarat sudah menguasai separuh dari perjalanan (Jalur Sutra). Termasuk jalur (pengembangan) melalui perairan adalah Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Lautan Hindia, Laut Merah, dan Laut Mediterania yang kini tengah “panas-panas”-nya disengketakan antara Cina melawan AS dan sekutunya di Asia.
Merujuk uraian di atas dan terutama statement David Rockefeller di atas, secara tersirat tergambar bahwa Jalur Sutra kini dimulai dari perbatasan Rusia/Cina (Xinjiang) hingga ke Maroko sebagai ujungnya. Maka simpulan sementara yang dapat ditarik dengan berlarutnya konflik antara Maroko dan Sahara Barat yang tak kunjung selesai, semata-mata ialah urgensi geopolitik dan “kesengajaan” para adidaya terutama AS dalam rangka menciptakan “wilayah tak bertuan” sebagai daerah penopang dalam rangka menguasai Jalur Sutra.
Terimakasih
0 komentar
Write Down Your Responses