Heboh RPP Tembakau

Oleh. M Arief Pranoto.
(Heboh RPP Tembakau: Monster Kebohongan Versus Kepentingan Nasional RI)

"Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja” (Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, 1942)

Menarik sekali mencermati kontroversi tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau di masyarakat. Dalam pagelaran yang tampil, seolah-olah hanya dua pihak saling berhadapan. Yaitu antara yang pro dan kontra rokok. Tetapi sejatinya tidaklah demikian, oleh sebab konstalasi politik global mengajarkan, munculnya “pagelaran” apapun niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan (di balik layar). Ya, terdapat kekuatan luar turut meremot hiruk-pikuk RPP tembakau dari kejauhan. Juga jangan diabaikan ialah sistem perekonomian Indonesia yang tengah dijadikan target sasaran. Merujuk perhitungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, bila diberlakukan RPP tersebut diperkirakan ada 500.000 orang terkena PHK, bahkan sumber lain menyebut sekitar 30-an juta para pemangku kepentingan dunia rokok bakal sekarat. Selain itu berkurang kontribusi cukai terhadap APBN (selama ini terbesar), maka menjadi keniscayaan jika dampak PHK tersebut berpotensi menimbulkan gelombang aksi massa, kriminalitas, pengemisan dan lain-lainnya.

Selaras tulisan saya terdahulu di web Global Future Institute/GFI (27/6/2012) dan pernyataan sikap GFI, Jakarta (5/7/2012) tentang Upaya Asimetris Asing Hancurkan Industri Rokok Indonesia, sesungguhnya agenda Kepentingan Nasional kini tengah dalam ancaman dan mutlak harus diselamatkan oleh segenap tumpah darah Indonesia. Tak bisa tidak.

Membahas kontroversi RPP di atas, marilah melupakan dahulu isue persaingan bisnis, karena bila persaingan yang ditekankan, ini merupakan bentuk dari pendangkalan masalah. Dengan kata lain, sekedar menggiring opini publik agar bersikap apatis dan masa bodoh sebab dianggap kepentingan kelompok semata. Walaupun pertarungan dagang itu sendiri, sebenarnya ada lagi nyata meliputi tiga skenario: (1) pertarungan antar sesama pengusaha rokok nasional yakni produsen rokok putih versus rokok kretek; ke (2) antara pengusaha rokok domestik dengan pengusaha multinasional. Dan tak boleh dipungkiri, banyak perusahaan rokok multinasional punya hasrat kuat mendominasi industri dan pasar di republik tercinta ini.

Pada episode tertentu wajib diwaspadai, bahwa pertarungan bisnis bakal berakhir dengan “pengambil-alihan” saham rokok nasional oleh rokok mancanegara. Apakah kasus take over mayoritas saham PT. HM Sampoerna oleh Philip Morris masuk kriteria skenario ini? Let them think let them decide. Silahkan dipikir dan putuskan sendiri!

Skenario ke (3) adalah, pertarungan antara industri rokok melawan industri farmasi. Tak bisa dielak, bahwa kelompok perusahaan farmasi inilah yang mendanai hampir semua kampanye, namun materi kampanye bukannya anti nikotin yang dihembuskan, tapi tersirat hanya kampanye anti cara mengkonsumsi nikotin dengan pola konvensional (merokok dll). Tujuannya agar masyarakat khususnya perokok yang sekitar 70-an juta beralih ke cara baru dalam menikmati nikotin, secara bisnis lebih menguntungkan karena dikemas dengan “produk penghenti merokok”. Permen karet nikotin misalnya, atau semprot hidung, obat hirup, koyok transdermal, dan lain-lain. Itulah sekilas tiga skenario yang bergulir.

Ya, berbicara RPP tembakau, jangan pula didangkalan soal kesehatan atau kemiskinan akibat rokok. Selain dikecilkan, itu juga “kulit” lagi permasalahan hilir semata. Kurang nendang! Meskipun bagi pegiat atau para aktivis anti rokok, alasan kemisinan dan kesehatan mungkin dianggap paket kampanye handal, tepat lagi masuk akal. Tapi lucu! Rokok kok menyebabkan miskin? Kalau judi mungkin masih masuk akal. Apalagi adekdot orang kaya jatuh miskin karena berobat terus menerus akibat rokok. Barangkali bahan kampanye anti rokok tersebut berbasis data, bahwa tidak sedikit para perokok di negeri ini dari golongan papa. Dan konon ia dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi serta gangguan kehamilan dan janin, sebagaimana tersurat dalam peringatan pemerintah di setiap bungkusnya.

Robert A. Levy, ilmuwan dan pakar matematika dari National Institute of Standards and Technology Amerika mengungkapkan, perang terhadap rokok dimulai dari setitik kebenaran bahwa rokok itu memiliki suatu faktor resiko kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa hingga menjadi suatu monster kebohongan dan ketamakan, serta mengikis kredibilitas pemerintah dan mensubversi rule of law.

Hal senada diungkap pula oleh Judith Hatton, co-author buku “Murder a Cigarette”, bahwa pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang bahaya merokok tidak lebih dari propaganda yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik dan estimasi, tidak lebih dari “Lies Damned Lies” (kebohongan-kebohongan sialan). Begitu juga A. Colby, penulis buku “In Defense of Smokers”, dimana dalam kata pengantar ia menyebut, “saya menulis buku ini untuk menyangkal propaganda anti merokok yang liar, tidak bertanggung jawab dan tidak benar, yang mengaburkan kebenaran”.

Pertanyaannya adalah, kebenaran macam apa yang dikorbankan dalam kampanye anti rokok? Orang-orang kritis semacam Levy, Marimont, Hatton, Colby dan lainnya sepakat, bahwa tembakau bukan penyebab utama dan bukan satu-satunya resiko segala macam penyakit seperti yang disebutkan oleh WHO.

Sekilas Tembakau dan Kronologi Persaingan
"Semua biaya kampanye, baik secara langsung maupun tidak, didukung oleh korporasi-korporasi farmasi global, oleh sebab potensi pasar yang besar bagi produk penghenti merokok menarik minat industri farmasi”

Menurut John Joseslyn 1675, dikutip C.A. Weslager, Magic Medicines of the Indians, 1974, tembakau sudah dimanfaatkan sebagai obat oleh bangsa Indian di Benua Amerika jauh sebelum para cowboy dari Eropa menduduki, bahkan akhirnya orang kulit putih pun ikut pula memanfaatkan tembakau untuk menangani berbagai penyakit dan keluhan fisik hingga saat ini. Tembakau melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi melalui bau-bauan dan lainnya. Ya, tembakau bisa untuk menghangatkan badan dari kedinginan, sekaligus menyejukkan mereka yang berkeringat, menimbulkan rasa kenyang bagi yang kelaparan, memulihkan semangat yang loyo, mencegah nafsu makan, dijadikan asap untuk penyakit tuberkolusis, diuapkan untuk sakit rematik dan semua penyakit hawa dingin/lembab.

Laporan Surgeon General AS (1988) yang kali pertama menyatakan bahwa nikotin ialah zat yang menyebabkan kecanduan, mendorong kebiasaan (habituating) dan ketagihan (addiction) membuat para perokok terikat (rokok) perlu ditangani oleh ahli terapi perilaku dan dengan sarana obat-obatan yang membantu berhenti merokok. Berbasis laporan di atas, era 1980-an gerakan anti tembakau memperoleh momentum dimana baik tembakau maupun nikotin yang dikandung dicerca para pejabat kesehatan publik. Setidak-tidaknya laporan Surgeon yang disusun oleh Centers for Disease Control (CDC), selain menciptakan efek promosi produk-produk farmasi, juga membuat stigma buruk produk-produk nikotin industri tembakau dan rokok. Itulah titik awal gegap gempita propaganda anti rokok di dunia.

Berbagai kampanye tentang bahaya tembakau pun gencar dilakukan dan melibatkan berbagai pihak, para ahli farmasi, dokter, politisi, para penggiat anti tembakau, bahkan badan-badan nasional dan internasional. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari “lobi-lobi”, dukungan dana propaganda dan lain-lain guna meloloskan aturan-aturan pembatasan, larangan merokok, larangan promosi dan sponsorship bagi produk tembakau ini.

Kendatipun PP Muhamadyah mengeluarkan fatwa haram merokok, namun sebagian ulama tak hanya kalangan Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan rokok dan tembakau halal. Tapi kenapa UU Kesehatan yang sifatnya mengikat justru menyatakan haram? “Ini jelas sangat meresahkan dan merugikan petani," tegas Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian Pengurus Wilayah NU, Jawa Tengah Helmi Purwanto (8/12).

Keyataannya hampir semua biaya kampanye, baik secara langsung maupun tidak didukung oleh korporasi-korporasi farmasi global. Persoalan apakah perusahaan farmasi tadi berhasrat pada pasar bagi produk-produk penghenti merokoknya, barangkali itulah agenda (politik) tersirat. Politik praktis bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat (Pepe Escobar, 2007). Artinya tidak bakal terlacak secara fisik inti motivasinya di permukaan. No free lunch. Tidak ada makan siang gratis dalam budaya Barat. Meski belum lengkap benar, inilah data-data rujukan bahwa terdapat gelontoran dana dari korporasi farmasi global untuk mendukung total program anti rokok di Indonesia berasal dari Bloomberg Initiative:

(1) Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS 2009-2010; (2) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS 2008-2010; (3) Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS 2008-2010; (4) Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS 2008-2010; (5) Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS 2009-2011; (6) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS 2008-2010; (7) Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS 2010-2012, dan masih banyak lagi.

Sesuai dokumen GFI dalam pernyataan sikapnya (5/7/20120), dengan adanya data Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menerima USD 45.470 atau Rp 409.230.000,- merupakan cermin bahwa serangan asimetris asing terhadap sistem perekonomian Indonesia adalah “satu komando”. Secara koridor, kegiatan ICW di luar ranah kampanye anti rokok, namun bantuan tersebut dikemas dalam paket kampanye good governance terkait transparansi dan akuntabilitas pemerintah soal kebijakan tembakau.

Adapun industri farmasi yang berperan dalam produk penghenti merokok, antara lain: Johnson & Johnson (memasarkan koyok nikotin dan obat hirup nikotin dengan merek Nicotrol), GlaxoSmithKline (hasil merger dua raksasa perusahaan farmasi Glaxo Wellcome yang memasarkan Zyban dan SmithKlineBeecham yang memasarkan koyok nikotin Nicoderm CQ), Pharmacia & Upjohn (memproduksi obat anti merokok Nicorette dan Nicotrol), Advanced Tobacco Products, Inc (menjual hak paten teknologi nikotinnya yang merupakan basis produk Nicorette/Nicotrol Inhaler), Hoechst Marion Roussel (memproduksi permen karet Nicorette dan koyok Nociderm), Novartis (meluncurkan koyok nikotin Habitrol), Pfizer (mengembangkan bahan baru untuk membantu berhenti merokok, yang dikenal dengan nama CP-526-555). Dari semua perusahaan obat itu, tiga diantaranya adalah mitra WHO untuk proyek anti tembakau/program pengendalian tembakau global, yaitu; Johnson & Johnson, Pharmacia & Upjohn dan Novartis.

Anehnya semua produk terapi pencegahan kecanduan merokok itu juga berbasis nikotin, karena Nikotin diakui para ilmuwan sebagai “obat ajaib” dan zat kimiawi mencengangkan. Artinya selain bisa untuk terapi berhenti merokok juga merupakan obat macam-macam penyakit serta manfaat, misalnya meringankan nyeri, gelisah dan depresi, meningkatkan konsentrasi dan kinerja pada mereka yang menyandang kelainan hiperaktifitas dan lemah dalam pemusatan perhatian, meringankan beberapa gejala pada skizofrenia akut, sindroma tourette, parkinson, alzeheimer dan lainnya sebagaimana diurai di atas.

Dekade 2000-an di Amerika, penjualan obat “berhenti merokok” berbasis nikotin produk industri farmasi mencapai US$ 700 juta, belum termasuk penjualan Zyban obat berhenti merokok non nikotin. Angka ini tidak termasuk penjualan di luar Amerika yang terus meningkat. Luar biasa. Sehingga bisa disimpulkan bahwa obat berhenti merokok merupakan bisnis miliaran dolar, bahkan menjanjikan keuntungan lebih besar lagi di masa depan karena kebijakan WHO justru mendorong program berhenti merokok secara global.

Kebijakan WHO
“my part in the founding of WHO was 90% diplomatic and 10% medical. It was politics all the time" (Dr Szeming Sze, pendiri WHO dikutip Profesor Pierre Lemieux, 2001).

Berbagai penelitian menunjukkan, meskipun gangguan tembakau bisa dikurangi melalui pendekatan komprehensif termasuk pendidikan, kegiatan berbasis komunitas dan media, penanganan farmakologi atas kecanduan nikotin, regulasi iklan dan promosi, regulasi udara bersih, larangan penjualan rokok kepada konsumen di bawah umur dan pajak untuk produk-produk tembakau, tetapi di satu sisi, kebijakan-kebijakan tadi apakah bisa megurangi tingkat merokok masyarakat, tentu masih dalam perdebatan. Sedang pada sisi lain, keuntungan perusahaan-perusahaan farmasi tidak dapat diperdebatkan. Mutlak.

Tampaknya WHO tidak mau kompromi. Paparannya perihal “Tobacco & Health in the Developing World” dalam “High Level Round Table” di Brussel Februari 2003 meramalkan bahwa sekitar 4,9 juta kematian/tahun disebabkan karena tambakau. Tanpa tindakan lebih lanjut, diperkirakan tahun 2020 angka kematian menjadi dua kali lipat dan kebanyakan di negara-negara berkembang. Dan konon setelah HIV/AIDS, tembakau dianggap sebagai penyebab kematian paling cepat juga penyebab kematian prematur di tahun 2020-an kelak.

Selajutnya bila memahami latar kepentingan bisnis di balik agenda anti tembakau baik tingkat nasional maupun internasional, maka bahan materi yang disampaikan sejatinya tidak lebih sekedar kampanye (politik) dagang semata.

Menurut Dr. Szeming Sze, pencetus ide dan pendiri WHO: “my part in the founding of WHO was 90% diplomatic and 10% medical. It was politics all the time” (Profesor Pierre Lemieux, 2001). Jelas sudah. Kebijakan WHO kental dengan nuansa politik. Isyarat Guilford dalam buku Energy Policy (1973) mirip bahkan persis seperti pengakuan Dr Sze di atas, bahwa bila menyangkut minyak maka lebih kental nuansa politik (90%) dan sisanya perihal teknis minyak itu sendiri. When it comes to oil is 90% all about politic and 10% its about oil it self. Agaknya seluk beluk antara perminyakan dan dunia tembakau cuma beda-beda tipis saja. Ya, lebih kental politis daripada aspek teknisnya.

Lalu, masih maukah kita “dibujuki” (dibohongi) hanya memperdebatkan hal teknis di hilir sungai, sedang ancaman asimetris tengah bergerak mengancam nasib jutaan stakeholderes industri rokok dan petani tembakau, itulah Kepentingan Nasional yang mutlak diselamatkan.

Mengakhiri catatan tidak ilmiah ini, saya teringat ucapan Bung Karno (BK), salah satu Founding Fathers Republik Indonesia (RI). Dekade 1959-an ia sudah mengingatkan kepada segenap bangsa, inti pesan BK adalah kelak ada tiga golongan yang harus diwaspadai karena kiprahnya cenderung memundurkan kehidupan berbangsa dan bernegara, memberatkan Kepentingan Nasional RI dan lain-lain. Nah, golongan itu disebut komprador yang terdiri atas kaum blandis, kompromis dan reformis.

Demikian adanya, demikianlah sebaiknya.

(Dari berbagai sumber)

0 komentar

Write Down Your Responses