Benarkah negeriku tergadai ?
Oleh. M. Arief Pranoto
Pertama soal ketergantungan. Ya, ketergantungan Indonesia selain terhadap impor minyak dan bahan pangan, juga tidak kalah penting ---bahkan kemungkinan pemicu inti--- adalah ketergantungan pemerintah terhadap utang yang bersumber dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Moneter Funding (IMF), Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan lainnya. Hal ini membuat Indonesia jauh dari kemandirian politik, ekonomi dan lainnya. Setiapkali jatuh tempo pembayaran atau menjelang turunnya hard cash dari lembaga-lembaga tadi, maka berbagai “order kepentingan” membonceng di banyak kebijakan dimana substansinya lebih menguntungkan asing dan kelompoknya dibanding kepentingan nasional RI. Misalnya privatisasi aset-aset BUMN dan swasta nasional, cabut subsidi, jatah konsesi SDA dan lainnya. Lebih lengkap masalah “permainan utang” silahkan dibaca buku-bukunya John Perkins, Membongkar Kejahatan Internasional dll. Betapa para pejabat yang berkompoten cenderung membiarkan, tidak mampu berbuat apa-apa bahkan larut dalam “arus” tersebut. Inilah efek riil ketergantungan pemerintah terhadap asing. Republik ini seperti tidak lagi memiliki kedaulatan, terobang-ambing oleh muatan kepentingan-kepentingan luar. Belum lagi masalah ketergantungan impor pangan, minyak dan lainnya, semakin terlihat banyak ironisasi ditemui. Bayangkan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia tetapi justru impor garam dan ikan dari luar; atau negara dengan curah hujan tinggi namun mengimpor kedelai, beras, gula dan lainnya?
Kedua adalah sistem yang koruptif. Hal ini bermula dari pola politik yang telah meninggalkan local wisdom para leluhur. Digantinya nilai musyawarah untuk mufakat dengan one man one vote merupakan titik awal dari segala “bencana politik” di republik ini. Pola tiga partai diubah multipartai; mekanisme melalui perwakilan di parlemen menjadi pemilihan langsung; sentralisasi menjadi otonomi daerah dan lainnya. Hal tersirat yang vital ialah diubahnya “hak bicara tokoh" (musyawarah mufakat) dengan “hak suara rakyat" (pemilihan langsung). Hal ini memiliki implikasi signifikan secara langsung terhadap dominannya pola pencitraan pada dinamika dan sistem politik. Pada gilirannya siapapun orang, apakah kompeten atau tidak, atau ia penjahat atau kyai, mumpuni atau kurang, ukuran kredibelitas di masyarakat diukur tatkala mampu menebar sembako, uang dan tancap baliho disana-sini dalam jumlah banyak, niscaya bakal terpilih. Kuatnya sinyalir bahwa pola inilah sebagai penyebab utama merebaknya korupsi di Indonesia, karena siapapun pejabat niscaya akan berpikir “bagaimana modal kampanye kembali kepada pemilik modal”, kemudian “bagaimana menimbun uang agar kelak terpilih lagi” dan lainnya.
Sudah tentu cara termudah mengembalikan modal pencitraaan ialah melalui korupsi karena peluang terbuka lebar melalui dua sisi: 1) luasnya kewenangan bupati/walikota dalam otonomi daerah sehingga menciptakan “raja-raja kecil” serta potensi munculnya abuse of power di banyak hal dalam menjalankan pemerintahan di daerah, dan 2) pola dan model (pencitraan) seperti ini yang berkuasa sesungguhnya pemilik modal karena mampu “meremot” dari kejauhan agar setiap kebijakan elit penguasa senantiasa menguntungkan bisnis atau usahanya. Dengan demikian, korupsi di Indonesia sejatinya diciptakan oleh sistem itu sendiri.
Ketiga adalah merebaknya doktrin, nilai atau isue internasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa isue kebebasan, demokrasi, profesionalisme, globalisasi, HAM, dan lainnya mengalahkan pemahaman bangsa dan para elitnya tentang urgensi geopolitik negaranya sendiri. Bahkan geopolitik dituduh sebagai aliran pemikiran bidang pertahanan sehingga dianggap domain militer saja. Inti tujuan agar tercitra bahwa geopolitik dinilai tidak relevan lagi di era globalisasi, terutama bagi fungsi atau institusi non militer. Ia dibuat dangkal bahkan dinihilkan dalam dinamika berbangsa dan bernegara, termasuk materi di lembaga-lembaga pendidikan tinggi? Pada sisi lain, gencarnya sosialisasi bahkan internalisasi (pendarah-dagingan) doktrin profesionalisme di tiap-tiap instansi membuat praktek birokrasi “terkotak-kotak”. Timbul ego sektoral disana-sini. Ingin hebat sendiri, maunya menangnya sendiri. Sebagai contoh dibentuknya komisi-komisi baru bahkan komisi superbody pun, atau struktur tambahan (Wakil Menteri) di era reformasi bukannya efektif, karena selain membenani APBN juga memperpanjang rantai birokrasi. Akibatnya dinamika elit dan birokrasi justru disibukkan hal-hal kecil tetapi yang besar bagi kepentingan nasional RI malah dilupakan.
Sedang geopolitik Indonesia cukup strategis, kekayaan alam (SDA) melimpah-ruah serta posisi di antara dua samudera dan dua benua sesungguhnya memiliki “peran besar” dalam interaksi global. Tetapi bangsa ini tidak mampu mengelola secara tepat dan baik atas ke-strategis-an posisi dan kekayaan yang dimiliki. Ilmu dan wawasan geopolitik di republik ini diabaikan, sehingga bangsa ini tidak memahami, tidak mensyukuri, tidak bisa mengelola dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginalkan dalam kelimpahan SDA dan letak geografis negaranya.
Tengoklah Syria. Kendati minyaknya tidak sekaya Libya, Irak, Afghansitan dan lainnya namun diperebutkan berbagai adidaya dunia semata-mata geopolitic pipeline dan geostrategic possition di Jalur Sutra. Mencontoh Iran misalnya, ia mampu memaksimalkan geopolitik sehingga ketika Ahmadinejad mengancam penutupan Selat Hormuz maka hebohlah dunia, sebab banyak kepentingan adidaya dan negara lain hilir-mudik di selat tersebut. Bayangkan jika Indonesia menutup Selat Malaka, Selat Lombok atau Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal asing secara gratis. Sekali lagi, betapa pentingnya pemberdayaan geopolitic leverage bahkan ia bisa diubah menjadi geopolitic weapon!
Ketika mayoritas bangsa abai terhadap geopolitiknya sendiri, maka para elit cenderung menghabiskan waktu dan energi berdebat kian-kemari dalam koridor derivatif dengan berbagai paradigma serta teori sosial politik yang ternyata telah dihegemoni. Riuh diskusi pada tataran (kulit) di permukaan mengabaikan hal-hal tersirat, melupakan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan). Nilai-nilai right or wrong is my country telah dianggap usang. Pada gilirannya debatisme berbagai elemen bangsa dirajut oleh asing dan kelompok kepentingan (komprador) menjadi sebuah “industri demokrasi” melalui manufaktur perbedaan pendapat, demonstrasi, parlemen jalanan, fabrikasi ego sektoral dan lainnya yang mengakibatkan dinamika bangsa seolah-olah gegap gempita namun semu, karena sejatinya “jalan ditempat”.
Jujur saja, selain bangsa ini telah abai terhadap geopolitiknya, selama sekian dekade terutama sejak memasuki era reformasi seperti kompak meninggalkan dogma negara dan wisdom leluhur yang terbukti telah dua kali membawa kejayaan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit). Pemerintah justru mengakomodir nilai-nilai global dalam berbagai kebijakan dimana nilai tersebut belum teruji keampuhannya bagi perjalanan bangsa bahkan memecah-belah kesatuan melalui isue demokrasi, kebebasan, otonomi daerah dan lainnya. Sementara ketergantungan terhadap utang luar negeri dan impor baik minyak maupun beberapa komoditi pangan meletakkan Indonesia menjadi negara yang tidak mandiri baik secara ekonomi maupun politik. Inilah negeri pengimpor yang sebenarnya sangat berpotensi menjadi negara produsen karena berbagai raw material bahkan minyak pun telah tersedia namun pihak asing justru yang berpesta-pora atas kelimpahan berbagai SDA di bawah lindungan sistem dan aturan-aturan yang telah berpihak kepadanya.
Mengakhiri tulisan sederhana ini, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan antara lain:
(1) siapapun kelak rezim yang berkuasa harus melepas ketergantungan baik terhadap utang maupun import komoditi yang seyogyanya bisa diproduksi sendiri. Indonesia mutlak harus mengubah kelemahan menjadi kekuatan, lalu memutar ketergantungan menjadi kemandirian. Cina misalnya, ia mengembargo diri sebelum diembargo negara lain, sekian tahun kemudian menjadi adidaya baru; Iran pun digempur embargo kanan–kiri oleh Barat justru semakin maju di berbagai bidang. Ya, selain mengubah mindset rakyat dan pejabatnya menjadi bangsa produsen dan bangga dengan produk lokal, untuk sementara pembiayaan pembangunan melalui utang mutlak harus ditujukan untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri;
(2) dalam waktu dekat dan tempo sesingkat-singkatnya bangsa ini harus kembali kepada sistem politik yang berbasis kepada local wisdom leluhur dengan melakukan creative destruction (terobosan merusak) mengingat sistem yang ada justru menciptakan perilaku koruptif. Entah apa dan bagaimana ujud dari terobosan nanti, namun penulis pernah menyarankan perlunya revolusi industri di Indonesia (baca: “Menggebuk Korupsi dengan Revolusi Industri” di www.theglobal-review.com). Sudah tentu terobosan yang merusak namun guna kesinambungan bangsa dan negara tersebut harus merujuk pada upaya pelepasan negeri ini dari berbagai “jerat ketergantungan”; dan
(3) diinternalisasikan kembali nilai-nilai nasionalisme dan disemarakkan urgensi geopolitik dalam kancah global ke seluruh instansi, akademisi, masyarakat dan bangsa terutama elit politik secara gegap gempita dengan merujuk pada kepentingan nasional RI yang mutlak diutamakan.
Retorika terakhir, siapa sesungguhnya pembuat "bencana rakyat" di Bumi Pertiwi ini?
0 komentar
Write Down Your Responses