Pers dan keterbukaan publik

Oleh. Juniardi, SIP. MH
(Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung)

Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi informasi berdampak langsung terhadap era keterbukaan. Saat ini setiap orang mampu menerima informasi secara langsung dan lebih cepat dari sebelumnya. Sumber berita yang dulu hanya didapat dari media massa kini semua orang sudah bisa menjadi reporter, wartawan, atau nara-sumber lain. Keterbukaan ini membuat masyarakat seakan berada di dalam dunia yang tanpa batas, baik batas waktu, batas wilayah, batas profesi, batas agama, batas norma, batas realita, bahkan batas-batas susila. Keterbukaan informasi menjadi manfaat besar bagi banyak masyarakat, keterbukaan informasi juga menjadikan sistem negara demokrasi menjadi lebih terbuka, dan keterbukaan informasi menjadi alat penting dalam era keterbukaan pemerintahan.
Saat ini sudah diberlakukan UU No 14 Tahub 2008 tentang keterbukaan informasi public (KIP) sejak tahun 2010, UU itu secara lebih luas mengatur aspek-aspek kebebasan informasi. Dengan tujuan menjamin dan melembagakan hak hak publik untuk mengakses informasi-informasi penyelenggaraan pemerintahan di semua lini dan semua level birokrasi. Prinsip universal kebebasan informasi menempatkan kebebasan pers sebagai bagian dari ruang-lingkup kebebasan informasi. Tujuan pelembagaan prinsip prinsip kebebasan informasi dalam rangka pembentukan dan penguatan good and clean governance. Untuk mencapai tujuan itu, dengan jelas mensyaratkan berkembangnya pers yang bebas, independen dan profesional.
Agus Sudibyo, dalam bukunya tentang “Keterbukaan Informasi dan Pers” menyatakan bahwa selama ini masih banyak problem yang sering dihadapi pers atau wartawan dalam mengakses informasi. Banyak Informasi publik yang tidak tersedia, padahal sangat urgens untuk segera disampaikan kepada publik. Terkadang informasi terlambat diberikan, sehingga kehilangan relevansi dan nilai, sementara jurnalisme menuntut kecepatan penyampaian informasi. Ada lagi Informasi yang diklaim rahasia secara sepihak, tanpa penjelasan yang memadahi, tanpa mempertimbangkan kepentingan publik untuk mengetahui informasi tersebut. Hal semakin komplek ketika mekanisme pelayanan informasi yang buruk, tidak jelas petugas atau bagian mana yang melayani akses informasi publik, sehingga wartawan sering di-”ping-pong” kesanakemari. Tak jarang, kemudian informasi didapatkan dengan cara-cara yang tak selayaknya. Informasi harus didapat dengan memberikan uang tempel kepada petugas, memanfaatkan kedekatan dengan pejabat tertentu, dan seterusnya. Ada juga akses informasi yang asimetris hanya wartawan yang dekat dengan pejabat tertentu yang mendapatkan informasi atau dokumen. Sementara wartawan yang mencoba menempuh prosedur formal atau yang tidak mempunyai kedekatan dengan pejabat, tidak mendapatkan informasi atau dokumen yang dibutuhkan.
Klaim rahasia negara sering dilakukan pejabat public. Padahal tidak semua klaim rahasia negara yang sering dilontarkan pejabat publik atau pemerintah merujuk pada informasi informasi strategis yang benar-benar dapat membahayakan kepentingan negara jika dibuka (UU KIP). Perahasiaan informasi sering dilakukan secara semena-mena, dan hanya untuk melindungi kepentingan birokrasi, kepentingan pejabat atau kepentingan politik tertentu. Di Indonesia political secrecy dan bureaucratic secrecy justru lebih dominan daripada genuine national security. Agus Sudibyo merujuk pada Steven Aftergood (1996), genuine national security secrecy adalah rahasia negara yang benar-benar untuk melindungi keamanan nasional, sedangkan political secrecy adalah rahasia negara sebagai rekayasa untuk melindungi kepentingan-kepentingan bersifat politis, dan bureaucratic secrecy adalah klaim rahasia negara yang hanya ditujukan untuk melindungi kepentingan birokrasi. Padahal, UU Pers secara spesifik mengatur segi-segi kebebasan pers. Tercakup di dalamnya pengaturan tentang fungsi pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi, fungsifungsi sosial media, hubungan antara media, masyarakat dan negara, pengaturan keorganisasian media. UU Pers tegas menyatakan bahwa hak wartawan atas informasi adalah bagian integral dari hak publik atas informasi.

Subyek dalam UU Pers adalah media atau wartawan, dan subyek dalam UU KIP adalah publik, warga negara, setiap orang. Jelas terlihat perbedaan UU Pers dan UU KIP, dan eksistensi kedua UU tersebut. Diberbagai negara, seperti Amerika Serikat misalnya, tidak memiliki UU Pers, dan dalam prakteknya, UU KIP (Freedom of Information Act) banyak digunakan untuk mendukung dan melindungi kerja-kerja media. Sementara UU Pers hanya mengakui hak media untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi, namun tidak mengatur kewajiban narasumber, khususnya pejabat publik untuk memberikan informasi publik kepada wartawan. Meski UU Pers memang tidak mengatur sanksi yang tegas untuk pejabat publik yang menolak permintaan informasi dari wartawan, meskipun informasi tersebut jelas-jelas dibutuhkan public, tapi ada sangsi bagi yang menghalang halangi kerja pers. UU Pers tidak mengatur mekanisme pemberian informasi yang mencakup jangka waktu pemberian informasi, biaya akses, petugas pelayanan informasi, klasifikasi informasi, dan jenisjenis medium penyampaian informasi publik (papan pengumuman, website, brosur, pelayanan langsung dst). Tetapi rumusan kepastian hukum tentang informasi publik dan informasi yang dikecualikan, prosedur pelayanan informasi, klasifikasi informasi, pengecualian (perahasiaan) informasi yang terbatas dan dapat dibatalkan melalui uji konsekuensi, dan sanksi untuk berbagai bentuk pelanggaran atas prinsip-prinsip informasi public, dan itu diatur dalam UU No 14 Tahun 2008, tentang keterbukaan informasi publik. Kita berharap kepada masyarakat, menggunakan hak nya, untuk menjadi pemohon informasi, sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

0 komentar

Write Down Your Responses