Catatan tentang Kongres Kebangsaan Forum Pemred





Beberapa hari lalu ada perhelatan luar biasa hebat, spektakuler, tapi disambut sepi oleh rakyat, yaitu Kongres Kebangsaan. Ingat, tidak ada huruf t pada kata kebangsaan, ya. Bayangkan, tema besarnya saja adalah bagaimana Indonesia 100 tahun ke depan, alias mereka-reka. Tepatnya ingin merancang sosok negeri luar biasa kaya sumber daya alam tapi justru miskin semangat kebangsaan itu sendiri.

Tema mahabesar ini seharusnya melibatkan sebanyak mungkin komponen bangsa yang sahih untuk membicarakan bagaimana nasib negeri kita dalam tahun 2045, pihak-pihak yang seharusnya mumpuni di bidang masing-masing. Kongres yang seharusnya besar ini justru diselenggarakan oleh “hanya” satu “komponen bangsa” yang kehadirannya penuh cibir di bibir di kalangannya sendiri yaitu Forum Pemimpin Redaksi. Kongres spektakuler ini – dengan tema maharaksasa – diselenggarakan di hotel dan dihadiri para anggota Forum Pemred itu sendiri, yang penuh canda tawa.

Menurut Presiden Republik Indonesia yang terhormat Bapak Jenderal TNI (Purnawirawan) Dr Soesilo Bambang Yudhoyono, yang berpidato penuh semangat, pers adalah pilar keempat untuk mendukung pembangunan dan (mungkin saja) merancang negeri ini 100 tahun mendatang, di samping legislatif, eksekutif dan yudikatif. Amboi, luar biasa betul. Pers melengkapi tiga tiang lain yang sudah keropos dan menanti judul Robohnya Negeri Kami. Pers sendiri kini mengalami krisis identitas akut. Ia telah kehilangan elan perjuangan '45 para pendiri bangsa kita, dan menyerah pada semangat kapitalisme penuh yaitu uang.

Pers yang dulu ditempatkan di posisi luhur kini cuma sekadar unit bisnis biasa, sama seperti warung sembako, warung pecel lele. Padahal, pers ini sejatinya agen perubahan, salah satu motor penggerak peradaban. Jadi, tugasnya memang berat. Oleh karena itu, pers dituntut memiliki standar moral tertinggi karena tuntutan tugasnya itu. Tapi, duh Gusti, tegakah kita menggantungkan nasib kita atau anak cucu kita di tahun 2045 pada institusi yang sekarang justru menderita “sakit parah” dan perlu “pertolongan darurat” seperti itu? Satu institusi yang dituntut untuk netral, tapi malah joged-joged menjadi narasumber sendiri, atas tunggangan kapitalisme, serta ambisi sempit para pemilik untuk menjadi presiden, misalnya. Atau, untuk membela bisnis mereka?

Ruang untuk rakyat di benak pers semakin menyempit saja. Bagaimana Forum Pemimpin Redaksi memformulasikan konsep-konsep “hidup berbangsa dan bernegara” pada 100 tahun Indonesia? Ini pertanyaan orang awam yang berdiri di pinggir jalan, menonton centang-perenang lalu-lintas politik yang semakin lucu sekaligus dungu.

Duh, Gusti. Tiga pilar lainnya sudah amburadul terbaui aroma uang, korupsi, dan ambisi sekadar mengejar hidup enak lalu akan ditambah dengan pilar berikut yang sami mawon alias sama saja? Maka, jangan sampai negeri tercinta ini menjadi terban walaupun ditopang oleh empat “pilar” negeri karena pilar-pilar itu tidak padat, tidak masif, melainkan keropos berongga-rongga. Rapuh.

Apa pendapat seperti ini bisa disebut sebagai pesimistik? Bisa saja. Tapi, yang terpenting adalah satu logika umum bahwa pondasi hendaknya jauh lebih kuat daripada bangunan yang ditopangnya. Usaha memperkuat empat pilar sedang dalam proses, masih jauh dari tujuan jangka panjang dan pendek sekalipun. Maka, memikirkan apa yang terjadi di negeri ini pada tahun 2045 atau 32 tahun lagi sungguh satu kemewahan, atau bisa jadi bisa disebut absurd belaka.

Kapan Membumi ?
Kenapa “empat pilar” negeri itu memikirkan tujuan jauh di awang-awang, sedangkan problema aktual negeri tak kurang-kurang untuk diatasi seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran, kesehatan dan pendidikan? Dan, yang paling aktual adalah melejitnya nilai dolar hingga Rp12.000.

Itu karena mereka gagal mengatasi masalah kekinian. Sebagai kompensasinya, mereka mengarang novel untuk 100 tahun Indonesia merdeka. Pelarian atau escaping yang juga gagal karena dibuat seadanya, terburu-buru nafsu karena (bisa jadi) didorong rasa malu disebabkan oleh pengakuan atas ketidakmampuannya. Maka, muncullah Kongres Kebangsaan (sekali lagi, tidak ada huruf t dalam kata kebangsaan) yang bergaung kecil pun tidak! Duh Gusti, kapan mereka mulai membumi? *

0 komentar

Write Down Your Responses