Mitos Nyai Loro Kidul: Pola Kolonisasi Kaburkan Sejarah Nusantara! (Bag-1)
Oleh. M. Arief Pranoto
Siapa tak kenal tokoh Ratu Pantai Selatan, atau Kanjeng Ratu
Kidul, atau populer disebut Nyai Loro Kidul? Jangankan orang Jawa dan
Sunda, bahkan suku Batak pun tampaknya mempercayai. Ia ditengarai
sebagai penguasa lautan serta memiliki kekuatan mistik guna
mengendalikan perairan di selatan Pulau Jawa (Samudra Hindia).
Gambaran Ratu Kidul ialah sosok perempuan cantik, rambutnya panjang
terurai, berpakaian dominan warna hijau ala wanita Jawa, ada mahkota di
kepala sebagai tanda bahwa dia seorang raja/ratu pada sebuah kerajaan
entah dimana.
Sejak kapan gaung
klenik itu timbul lalu berkembang, belum dijumpai literatur secara
pasti. Maka lazimnya legenda, kendati masih antara iya dan tidak
---hukumnya sunah--- boleh percaya boleh tidak. Namun sebagian besar
warga, terutama yang hidup di sepanjang pantai selatan Jawa sangat
mempercayai bahwa “barang” itu seolah-olah ada, seakan-akan nyata dan
“hidup” di dalam benak masyarakat meski beragam versi.
Gaung di Mataram (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta)
misalnya, justru mensinyalir Nyai Loro Kidul adalah "istri spiritual"
para raja kedua kraton dimaksud. Ketika acara “sedekah laut” digelar
saat-saat tertentu di Pantai Parangkusuma, Bantul dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri,
selalu dikaitkan sebagai persembahan kepada si Nyai. Entah benar atau
rumor belaka, panggung Sanggabuwana di Kraton Solo pun konon merupakan
tempat pertemuan antara Sunan dengan Kanjeng Ratu.
Manakala
lebih dalam lagi menelusuri legenda ini, Ratu Pantai Selatan itu
sebenarnya terdiri atas dua orang. Pertama adalah Kanjeng Ratu Kidul itu
sendiri, yang kedua merupakan pembantu setia Kanjeng yang bernama Nyai
Lara (dibaca: Loro) Kidul. Konon si pembantu ini menyukai warna hijau
dan kerap “mengambil” satu atau beberapa orang yang memakai atribut
hijau sewaktu mereka berada di pantai untuk dijadikan pelayan atau
pasukannya. Oleh karena itu, beredar himbauan kepada para pengunjung
pantai di selatan Pulau Jawa, bila tidak ingin menjadi “korban” agar
menghindari mengenakan pakaian hijau.
Legenda di Sunda
ternyata berbeda dengan Jawa, bahwa Ratu Kidul versi Sunda malah
diyakini sebagai titisan putri Pajajaran yang diusir keluarganya karena
menderita penyakit yang membuat malu keluarga lainnya, karena putus asa
ia pun bunuh diri di laut selatan. Akan tetapi, dalam kepercayaan Jawa,
tokoh ini dianggap bukan Ratu Laut Selatan yang asli, melainkan Nyai
Loro Kidul, pembantu setianya. Hal ini berdasar kepercayaan bahwa usia
Ratu Kidul jauh lebih tua dan telah menguasai laut selatan jauh sebelum
sejarah Pajajaran berdiri.
Versi lainnya, konon Panembahan
Senopati adalah raja pertama yang menyunting Nyai Loro Kidul. Berbasis
kepercayaan ini, diciptakanlah Tari Bedaya Ketawang oleh kraton
Kasunanan Surakarta (era Sunan Pakubuwana I) sebagai penghormatan
terhadap Kanjeng Ratu. Maka di setiap pagelaran tari tersebut, di
sebelah (disamping) singgasana Sunan selalu disediakan kursi kosong.
Entah kenapa. Konon kursi itu diperuntukkan bagi “istri”-nya ---tak
kasat mata--- yang ikut menikmati sendratari di Kraton. Fenomena ini
menimbulkan asumsi pengamat sejarah, bahwa keyakinan akan keberadaan
Kanjeng Ratu Kidul sengaja digelorakan guna melegitimasi dinasti Mataram
dahulu, atau bahkan hingga kini? Entahlah.
Ada pula
versi lain. Bahwa Nyai Loro Kidul adalah Dewi Nawang Wulan, bidadari
yang turun ke bumi serta pernah diperisteri Jaka Tarub. Semakin ragam
saja cerita berkembang tentang si Nyai. Sebenarnya masih ada kisah-kisah
lain yang tak secara spesifik menyebut asal muasal, kecuali ia
merupakan puteri raja di Jawa, demikian seterusnya.
Lain
legenda yang berkembang dalam masyarakat Jawa dan Sunda, lain pula
mitos di Batak. Ada sinyalemen bahwa Kanjeng Ratu Kidul berasal dari
Tanah Batak bukanlah tanpa alasan. Ini versi lain ceritanya.
Alkasih,
perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang memiliki dua
putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan putra kedua diberi
nama Raja Isumbaon. Putra sulungnya, Guru Tatea Bulan memiliki 11 anak
(5 putera dan 6 puteri). Kelima putera bernama: Raja Uti, Saribu Raja,
Limbong Mulana, Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam puteri
bernama: Biding Laut, Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si
Bunga Pandan.
Putri tertua yakni
Biding Laut memiliki kecantikan melebihi adik-adik perempuan lainnya.
Dia juga memiliki watak yang ramah lagi santun kepada orangtua. Karena
itu, wajar bila Biding Laut menjadi anak yang paling disayang. Namun
kedekatan orangtua terhadap Biding Laut menimbulkan kecemburuan
saudara-saudaranya. Pada gilirannya mereka sepakat untuk menyingkirkan
Biding Laut.
Singkat cerita,
saudara-saudaranya Biding Laut yang terbakar oleh api iri dan dengki
melalui berbagai siasat berhasil membawa Biding keluar, lalu
meninggalkan sendirian di sebuah pulau saat ia tidur. Tetapi Biding tak
berprasangka buruk kepada saudara-saudara yang hendak mencelakakan
dirinya. Tanpa pikir panjang, setelah terbangun ia menaiki perahu
kemudian mendayung menuju pantai Sibolga.
Akan
tetapi ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah kelahiran.
Selama beberapa hari terombang-ombang di pantai barat Sumatera. Entah
sudah berapa kali ia pingsan akibat kelaparan serta terpaan hawa panas
dan dingin udara. Penderitaan berakhir ketika perahunya terdampar di
Tanah Jawa, sekitar daerah Banten. Seorang nelayan melihat, lalu
menolong Biding Laut. Di rumah nelayan tadi, Biding memperoleh
perawatan. Ia merasa bahagia berada di tengah-tengah keluarga baru.
Dalam sekejap, keberadaannya telah menjadi buah bibir masyarakat
sekeliling, terutama selain keramahan juga karena pesona kecantikannya.
Syahdan.
Suatu ketika kampung nelayan tersebut kedatangan seorang raja dari Jawa
Timur. Agaknya sang Raja tertarik akan pesona Biding Laut, lalu raja
pun meminang dan memboyongnya ke Jawa Timur.
Biding
Laut hidup berbahagia bersama suami. Tetapi kebahagiaan itu tidak
berlangsung lama, sebab muncul intrik di istana yang menuduh Biding
berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum kerajaan pun diterapkan, ia
harus dihukum mati. Keadaan ini menimbulkan kegalauan Raja. Ia tidak
ingin isteri yang sangat dicintainya dihukum mati, raja lalu mengatur
rencana untuk mengirim kembali Biding Laut ke Banten melalui lautan.
Maka dengan menggunakan perahu, Biding dan beberapa pengawal raja
berangkat menuju Banten. Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang
dikenal dengan Laut Selatan.
Namun
sungguh malang nasib mereka, dalam perjalanan perahunya tenggelam
diterjang gelombang besar, dan Biding beserta pengawalnya tenggelam di
dasar Laut Selatan. Itulah sekelumit legenda perihal asal muasal Nyai
Loro Kidul di Batak. Apakah masih ada versi lainnya? Silahkan diurai
sendiri.
Retorikanya sekarang:
warga kini mempercayai keberadaan Nyai Loro Kidul yang mana; Nyai yang
dari Batak; dari Sunda; Nyai Jawa; atau Nawang Wulan, bidadari yang
turun ke bumi? Retorika memang tidak membutuhkan jawaban. Namun ditemui
beberapa fakta menarik, bahwa manajemen hotel di sepanjang
pantai selatan Jawa dan Bali hampir semua menyediakan ruang serta kamar
khusus bagi Ratu Pantai Selatan. Luar biasa!
Betapa kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach
sangat terkenal. Oleh karena kamar 327 merupakan satu-satunya ruangan
yang tak tersentuh api tatkala terjadi kebakaran besar Januari 1993-an.
Sehingga pasca renovasi, kamar 327 dan 2401 terus dirawat, diberi hiasan
warna-warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, tetapi tak
boleh dihuni oleh siapapun karena dipersembahkan untuk Nyai Loro Kidul. Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu pun demikian. Kamar 308 sengaja dikosongkan buat si Nyai. Di dalam ruangan dipajang beberapa lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya Basoeki Abdullah. Di Yogyakarta juga ada. Hotel Queen of The South, dekat Parangtritis mereservasi kamar 33 buat Ratu Pantai Selatan.
Sekali
lagi, retorika yang kembali muncul ialah: kepada siapa kamar-kamar
tersebut akan dipersembahkan; apakah untuk Nyai Loro Kidul jelmaan Dewi
Nawang Wulan; atau buat Nyai yang titisan putri Pajajaran; atau
reinkarnasi Biding Laut; atau barangkali dipersiapkan bagi Nyai ---istri
spiritual para raja--- di Tanah Jawa?
(Bersambung Bag-2)
0 komentar
Write Down Your Responses