Negeri bijak Indonesia Raya
Oleh. Ghozila Hamid
Adalah negeri bijak. Ia bukanlah negara teknologi dan bukan pula negara keyakinan. Ia tidak di tengah tidak juga di kiri, atau di kanan, di pinggiran dan sebagainya. Negeri bijak terbit (bukan lahir) dan berdiri atas nama persatuan, perdamaian, dan kemakmuran. Di sana cukup maju teknologi tetapi tak semata logika. Ada gemuruh soal hal ikhwal keyakinan. Namun, bukan sekedar dogma. Oleh karena terdapat ukuran dan kriterianya.
Adalah negeri bijak. Ia bukanlah negara teknologi dan bukan pula negara keyakinan. Ia tidak di tengah tidak juga di kiri, atau di kanan, di pinggiran dan sebagainya. Negeri bijak terbit (bukan lahir) dan berdiri atas nama persatuan, perdamaian, dan kemakmuran. Di sana cukup maju teknologi tetapi tak semata logika. Ada gemuruh soal hal ikhwal keyakinan. Namun, bukan sekedar dogma. Oleh karena terdapat ukuran dan kriterianya.
Negeri punya kehormatan dan toleransi terhadap keragaman budaya. Ia cinta damai. Tetapi, lebih cinta kemerdekaan. Di sana ada kebebasan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Bukan kebebasan tanpa rujukan atau sak karepe dewe.
Bijak sesungguhnya ada lagi nyata, sesudah, bahkan sebelum kedua negeri tadi (logika dan keyakinan) berada. Tersamar kasat mata. Fenomena kemunculannya, tatkala "tuhan" teknologi dan keyakinan tak lagi mampu memangku dunia, sebab bertikai tak habis-habisnya demi isme/faham, tasawuf, dan ideologi ciptaan logika yang dikiranya membawa kebaikan menurut versi cara pandangnya. Padahal justru membelenggu "hakiki rasa" kemudian menjerumuskan rakyatnya.
Negeri bijak disebut pula negeri filsafat. Tempat sang Mukarabb bercengkrama dengan para cantrik-cantriknya yang tersamar dalam berbagai status, kelompok, golongan, atau pun massa. Negeri subur nan kaya raya seharusnya. Tetapi, miskin kenyataannya.
Negeri beraneka, unik, lagi sarat makna. Bahkan ada yang mengolok-oloknya sebagai negeri seribu satu bencana.
Negeri filsafat itu sesungguhnya negeri para dewa. Mayoritas warga dan suku bangsanya digerakkan rasa terkadang berlebihan meninggalkan logika. Banyak juga yang sok logika lalu meninggalkan rasa. Tatkala budaya bersumber dari rasa yang direkayasa menjadi stigma di suatu era maka rakyatnya pun berbondong menjauhinya. Alangkah piciknya! Rasa yang merupakan hadiah dari-Nya ditinggalkan cuma oleh karena provokasi belaka.
Negeri banyak musim. Tetapi, ada musim yang tidak kunjung usai yakni lelayu (kematian):
ada warga yang mati karena lapar, tetapi
ada warga tewas sebab kekenyangan
ada rakyat mati terkena wabah musiman
tidak sedikit yang bunuh diri karena putus cinta
banyak kematian karena 'molimo' dan kecelakaan
di jalanan, di lautan bahkan di belantara angkasa
ada yang meninggal karena kehilangan kekuasaan
beberapa mati selingkuh dan stres bingung sendiri
banyak kematian massal sebab ulahnya
tidak sedikit yang terbunuh karena azab-NyaDi negeri ini berkembang mitos kejayaan bangsanya yang konon terulang setiap tujuh abad:
abad VII disebut Nusantara I Sriwijaya namanya
abad XIV adalah Nusantara II Mojopahit sebutannya
abad XXI bakal disebut Nusantara III entah apa nanti namanyaRakyatnya sangat yakin lagi percaya bahwa suatu ketika tiba masa jaya bangsa dipimpin oleh Ratu Dewata Sakti Sejagad. Sosok pilihan gaib yang dilegendakan banyak orang dengan sandi tua, yaitu Satrio Paningit.
Negeri yang tengah porak poranda dilanda bermacam bencana baik dari atas, bawah, depan, belakang, kiri, dan kanan serta esok entah dari mana. Beredar rumor tanpa kriteria logika mengkambinghitamkan Tuhan tanpa melihat program dan proses mengapa bisa terjadi. Ini cobaan Tuhan! Itu cobaan Allah! Dia sudah murka! Dan sebagainya itulah ujung kalimat mengkambinghitamkan-Nya.
Muncul berbagai klenik serta perdukunan menawarkan ramalan bencana atau masa depan atas kebingungan masyarakatnya. Banyak kejanggalan dianggap biasa pada dinamika masyarakatnya.
Aib dan aurat yang wajib ditutup rapat-rapat justru dipertontonkan. Layaknya barang dagangan demi popularitas serta gemilang dunia. Munculnya kyai dan ustad-ustad baru bermodal satu-dua ayat dalam arti syariat ceramah ke mana-mana.Menjual potongan-potongan ayat dengan harga murah untuk sedikit harta, tahta, dan wanita.
Konon katanya. Setelah semua bencana dengan segala dampak berlalu dengan sendirinya atau karena usaha. Setelah tiap-tiap diri warga bangsa sadar dan insyaf atas kekhilafan masa lalunya; setelah karakter rukun, ramah, taqwa, tak sombong, semangat kekeluargaan, dan gotong royong menjadietos bangsa terutama kaum birokratnya. Maka negeri filsafat bergerak perlahan menggapai mercusuar dunia.
Itulah impian kejayaan masa depan. Itulah mitos nyata Nusantara III. Negeri kesatuan, kedamaian, dan kemakmuran. Inilah negeri tercinta Indonesia Raya di mana sang nyiur dan merah putih tak pernah lelah melambai-lambai.
Entah iya entah tidak. Entah benar entah salah. Entah nyata atau cuma legenda. Perhatikan dan cermati tanda-tanda alam bagi orang yang berpikir. Selanjutnya ketika malam merangkak menjemput fajar nan merah di suatu masa sesungguhnya itulah makna kalimat "Dengan menyebut Nama Tuhan yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang".
Kapan engkau tiba, wahai Nusantara III?
0 komentar
Write Down Your Responses