Kemana negeri ini di bawa oleh pakar politik ?

Oleh. M. Arief Pranoto

“Pakar politik itu tak ada beda dengan makelar kambing di hari raya korban”. Tak boleh dielak, inilah sastra (filosofi) leluhur tentang perpolitikan yang tampaknya sudah tidak diindahkan lagi oleh banyak elemen bangsa. Entah kenapa. Apakah tidak pernah didengar oleh generasi penerus, atau salah dalam penafsiran, atau jangan-jangan justru pura-pura tak tahu?

Akan tetapi, di tengah keterpurukan (sistem) bangsa dan negara ini, tampaknya falsafah politis tersebut mulai mencuat kembali di permukaan. Syukurlah. Nah, catatan tak ilmiah ini, mencoba mengurai local wisdom tersebut meski ibarat nyala lilin di kegelapan, karena faktanya memang ditemui kebuntuan teori-teori politik modern (Barat) yang malah membawa republik ini ke ruang ketidakmandirian. Ruang dimaksud berupa status sebagai bangsa pengimpor atas banyak komoditi yang sesungguhnya berlimpah di Bumi Pertiwi. Inilah penafsiran sederhana atas sastra (leluhur) di atas.

Ya. Hari raya itu maksudnya kesenangan sesaat, atau dalam sastra dilantunkan: “raja tanpa bisnis ibarat ketoprak, enaknya cuma semalam”. Jadi entah bentuknya kemenangan, kemegahan, atau kemewahan-kemewahan lain. Maka itulah makna daripada “hari raya” yang sifatnya sejenak. Sekali lagi, kesenangan yang hanya sesaat. Kenapa demikian, oleh sebab esok (pagi) ia mesti turun panggung. Tak dapat dipungkiri, di era demokrasi liberal dan Otonomi Daerah (Otoda) kini tidak sedikit Petruk dadi ratu berujung pidana, akhirnya di penjara. Tanpa bisnis, bahkan memiliki binis pun sang Petruk asyik korupsi. Banyak permisalan aktual. Enaknya cuma semalam, karena paginya digelandang KPK.

Sedang makna makelar ialah demi “perut”-nya sendiri. Artinya jangan berharap mereka berpikir kepentingan masyarakat, boro-boro memikirkan kepentingan nasional, bahkan kelompok yang melambungkan kariernya pun sering ditinggalkan. Maka seringkali ditemui “kutu loncat”, atau istilahnya bunglon politik, dan lain-lain. Kepentingan bangsa dan negara cuma slogan di setiap orasi-orasi demi mendulang suara belaka.

Kemudian makna kambing disini adalah sosok, ataupun obyek sasaran –itupun sasaran antara--- daripada tujuan yang hendak “dicincang atau disembelih”, maka siapapun sosok dimaksud pasti akan dikorbankan, dijadikan tumbal politik, atau terkadang kebalikannya, ia diherokan ke publik sebagai sosok tanpa cacat. Inilah pemimpin masa depan. Propaganda diramu sedemikian rupa terhadap sosok yang dijagokan agar selaras dengan “kerinduan-kerinduan” serta aspirasi warga. Berbasis skenario dalam pencapaian tujuan melalui isue, stigma, pencitraan, promosi, dan lain-lain.

Perlu diingat, sosok disini sejatinya sekedar sasaran antara belaka. Istilahnya wayang. Pintu pembuka saja, karena masih ada dalang, dan pemilik hajatan yang menginginkan model skenario. Apa hendak dikata. Di setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan terutama pemilik hajatan di belakang layar. Ia meremot pagelaran dari kejauhan. Inilah mereka ---sang pemilik hajatan--- lazim disebut sebagai kelompok pemodal serta donator kampanye bagi “kambing” yang dicincang (propaganda, citra), atau disembelih (stigma, cap, dll).

Ya. Meski artinya banyak taktik, politik itu penuh rekayasa. Jika diibaratkan seutas tali maka terdapat pola permanen yang lestari yaitu “bundel” di bagian ujungnya. Kata bundel disini memiliki makna, bahwa kepentingan politik itu bermuara pada uang, uang dan uang. Ketika ada anekdot: “tidak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan”. Dan kata “kepentingan” disini, tidak lain dan tak bukan ialah uang. 

Sebuah permainan politik, sangat berbeda dengan permainan catur yang ketika diserang (skak), pihak lawan akan terpojok lalu mati. Bukan seperti itu mainnya. Oleh karena tidak ada (rumus) mati langkah dalam politik. Bahkan dalam posisi terjepit, ia bisa keluar arena, tetapi bukan menyerah apalagi mengaku kalah. Di luar arena pun tak cuma menonton, mereka dapat memberi “warna” serta mengacaukan irama permainan yang tengah berlangsung. Maka ada istilah “mentor” dalam dunia politik.

Oleh sebab itu, silahkan dicermati kemana republik ini melangkah serta dibawa oleh orang atau golongan yang mengaku sebagai pakar politik. Hendak diantar pada kejayaan bangsa, atau malah digiring ke jurang kehancuran? Era demi era yang telah dilalui oleh republik ini, setidak-tidaknya bisa dijadikan cermin bersama.

Apa boleh buat. Menggerakkan negara dalam rangka meraih tujuannya memang melalui langkah-langkah politik, tetapi membuat negara menjadi kuat, mutlak harus menggunakan piramida politik. Retorikanya adalah: bagaimana piramida politik dan implementasinya agar sesuai pakem kejayaan nusantara dulu?

Kenapa semua terjadi di Bumi Pertiwi, karena kita tidak mau berkaca pada berbagai kejadian baik peristiwa dulu, kini, maupun kedepan. Kental kecenderungan hanya mengutamakan kepentingan sejenak (politik praktis). Kepentingan sejenak? Itulah contoh makna “hari raya” daripada sastra dalam prolog di atas. Hal ini merupakan indikasi, bahwa republik tercinta ini masih kuat dikelola oleh para pakar politik, si makelar kambing di hari raya korban.

Selanjutnya berbicara tentang kaca atau cermin, seyogyianya kita memotret tiga kelompok atau golongan yang kini tampak menggejala. Antara lain:

Pertama: Kelompok Pecundang. Inilah kaum koruptor, kendatipun secara hakiki korupsi di Indonesia itu diciptakan oleh sistem (politik). Persoalan pokok bangsa ini bersemayam di hulu. Kenapa kita tidak berupaya mem-breakdown, lalu mengubah sistem tersebut? Sepertinya segenap tumpah darah Indonesia malah larut dalam hiruk-pikuk yang diakibatkan oleh sistem koruptif tersebut. Banyak elemen bangsa ini memaki “gembira” jika indeks korupsi meroket. Inikah fenomena terseret arus?

Kedua: Golongan Penghianat. Telah banyak disaksikan hasil perbuatan atau ucapan orang-orang plin-plan, mencla-mencle, dll. Pagi kedelai sore tempe. Lalu yang kita rasakan sebuah proses pembodohan secara berkala, dan ‘kedustaan’ (melalui pencitraan) yang nyata di sana-sini. Sudah barang tentu, hasilnya pasti hanya mengenyangkan dan menyenangkan diri, kelompok dan golongan mereka sendiri.

Ketiga: Kelompok Nasionalisme. Inilah kaum atau golongan cinta tanah air yang masih memiliki keyakinan, baik keyakinan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahwa kelak Indonesia bakal kembali pada KEJAYAAN NUSANTARA. Right or wrong is my country. Masih adakah jiwa-jiwa semacam itu di republik ini? Masih banyak! Betapa rindu anak bangsa ini pada era keagungan nenek moyang dulu. Benih-benihnya pun mulai terlihat bersemi. Tentunya untuk mengubah dan memberdayakan jiwa-jiwa semacam ini, mutlak harus dengan SISTEM yang dimulai dari HULU, bukan seperti yang sekarang berlangsung, kegelisahan serta perjuangan segenap elemen bangsa yang mulai tercerahkan hanya gaduh di tataran HILIR semata. Sungguh memprihatinkan.

Melalui cermin ketiga golongan tadi, gilirannya dapat dicermati apa yang tengah terjadi, ataupun yang kelak terjadi nanti. Bila merujuk ketiga kelompok di atas, lebih banyak mana golongan yang mendiami Bumi Pertiwi ini, dan termasuk kelompok manakah kita? 

Terimakasih

,

0 komentar

Write Down Your Responses