Welcome to Asia Spring (3)


Oleh. M. Arief Pranoto

“Ideologi Impor” dan Paradoxial
Mudahnya asing menancapkan skema kolonialisme melalui peperangan asimetris di Tanah Air, sesungguhnya tak lepas dari “ideologi impor” yang dianut beberapa elit politik dan pejabat terkait. Inilah aspek internal yang justru melancarkan praktek penjajahan gaya baru. Namun sebelum melangkah jauh ---mungkin sekedar review--- perlu dijelaskan sekilas, bahwa skema kolonialisme ialah penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negara koloni. Itulah skema permanen apapun penjajahan di muka bumi.

Kembali menyoal "ideologi impor", penulis mengambil hal-hal yang dicontohkan oleh Dina Y. Sulaeman, peneliti dari Global Future Institute (GFI), Jakarta. Ia menyatakan, (dalam kacamata Gita Wirjawan, Menperindag RI) pasar bebas adalah jalan mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi dimanapun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).

Gita dan para pejabat pendukung ekonomi pasar bebas lainnya, lanjut Dina, pura-pura tidak tahu bahwa pasar bebas belum pernah berhasil memajukan perekonomian negara-negara berkembang dan miskin. Indonesia misalnya, sebelum berlakunya Agreement of Agriculture –WTO, pada 1994 mengimpor beras hanya dalam angka ribuan ton. Pada 1995, impor beras melonjak menjadi 3 juta ton. Kini, 18 tahun kemudian, nilai impor pangan kita Rp 138 triliun dan ironisnya, bahan pangan yang kita impor itu adalah bahan pangan yang sebenarnya bisa tumbuh subur di tanah air, seperti beras, ubi kayu, cabe merah, atau bawang putih.

Ketika merujuk pakem nusantara, Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI hampir dalam setiap diskusi terbatas di GFI mengatakan, bahwa adanya pagelaran berarti terdapat kehendak untuk mewujudkan hajatan masyarakat, yang semestinya dihadirkan lakon/tema dan dalang guna meng-ORKESTRASI pagelaran tersebut. Hendrajit mengingatkan, apabila tidak ingin mengundang bencana/bala, maka lakon yang dipilih seyogyianya senafas dan selaras dengan hajatan itu sendiri. Itulah garis pakem nusantara.

Antara “Bala” dan Pakem Nusantara
Kenyataan pada implementasi ideologi impor, pakem (nusantara) tersebut seperti diabaikan bahkan cenderung dinihilkan. Pada gilirannya, ia mengendala serta menimbulkan kerancuan dalam proses pagelarannya. Hajatan siapa, lakonnya bagaimana, temanya entah kemana. Tak jelas. Akhirnya isue atau hajatan bangsa untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food security) tidak bisa dijembatani oleh tema serta dalang yang selaras dengan hajatan itu sendiri. Isue bangsa dalam rangka menuju food security tak bisa ditindak-lanjuti dengan upaya riil dan nyata di berbagai program guna mencapai swasembaga pangan. Secara riil, kebutuhan pangan memang tercukupi tetapi melalui cara (instan) impor.

Sewaktu datang bencana sesuai isyarat Hendrajit, adalah keniscayaan ketika bala dimaksud ialah “keadaan paradoxial”. Maksud paradoxial disini adalah kondisi berlawanan, atau semacam situasi pertentangan, atau keadaan yang bertolak-belakang dll. Betapa negeri khatulistiwa dengan dua musim, kenapa mengimpor daging dari negara empat musim; atau negara agraris dengan curah hujan tinggi tetapi kok impor kedelai, jagung, gula, dst yang di negeri sendiri bisa tumbuh subur. Atau lebih extreem barangkali, betapa bangsa beradab yang dulu terkenal ramah, mengapa tiba-tiba saling berbunuhan hanya karena berbeda budaya dalam agama; apakah ini juga termasuk “bala nusantara”? Untuk bala terakhir mungkin perlu pendalaman lanjut. Abaikan dulu. 

Sebagai catatan tambahan, selain kondisi bertolak-belakang, bala dimaksud juga dapat dimaknai semakin menguatnya“master virus” sebuah revolusi, gerakan, atau gejolak politik dimanapun. Dan virus utama itu bertajuk: “ketidakpercayaan rakyat terhadap elit dan pimpinannya”. Inilah yang kini mengental. Lalu, kapankah keadaan ini berlalu?

Bersambung (4)

0 komentar

Write Down Your Responses