Menafsir “Dua Langkah” Beruang Merah bagi Indonesia

Oleh. M. Arief Pranoto

"Menafsir “Dua Langkah” Beruang Merah bagi Indonesia dalam Pergeseran Geopolitik"

Jika menyorot geopolitik global, maka “(pasar) konflik” sesuai ramalan dan prediksi Global Future Insitute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, memang dirasa sedang bergerak dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik )* Inilah keniscayaaan pergeseran geopolitik atau geopolitical shift yang tak terbantahkan. Namun catatan sederhana ini, tidak lagi membahas kenapa hal tersebut bergerak, apa indikasinya, bagaimana penyebab, dll kecuali sekilas untuk sekedar menyambungkan paragraf tulisan. 

Dalam dokumen GFI, perang militer secara terbuka (symmetric warfare, atau hard power) pun diprakirakan meletus di perairan Cina. Entah meledak di Laut Cina Selatan, atau kelak “diletuskan” di Laut Cina Timur via isue sengketa perbatasan yang memang marak di sekitar perairan tersebut, niscaya hanya soal pemicu serta momentum belaka. Demikian pula gerakan politik berpola aksi massa (smart power, atau asymmetric warfare) selaku suprastruktur ikutan daripada geopolitical shift yang tengah berproses, sepertinya juga bergerak lamban namun pasti melanda kawasan seperti Thailand, Malaysia, Kamboja dan lain-lain.

Ketika manuver kolonialisme melalui gerakan massa sebagaimana gejolak di Jalur Sutera dinamaiArab Spring, maka pointers diskusi terbatas di GFI memotret, bahwa pemindahan suprastruktur lain oleh Barat atas pergeseran geopolitik di Asia Pasifik layak disebut Asia Spring! (Baca:Welcome to Asia Spring di www.theglobal-review.com). Inilah prolog dan review singkat sebelum masuk ke pokok materi selaras judul tulisan ini.

Menurut Santos Winarso D )** Jika berbicara geopolitik di Asia Pasifik dan Timur Jauh, ada tiga paradigma politik luar negeri. Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Ketiga, Asia Pasifik dan Amerika Serikat (AS). Pertanyaannya, dimana posisi Rusia dan kemana ia melangkah? 

Dalam Roundtable Discussion di GFI tanggal 25 April 2013 tercatat, bahwa posisi Beruang Merah ---sebutan lain Rusia--- secara tersirat bisa dilihat pada lambang politik “elang kepala dua”. Ini adalah isyarat bahwa sejatinya Rusia itu berpaling ke kiri dan ke kanan. Menoleh ke Barat juga ke Timur. Mengapa melihat Barat, karena ia bagian daripada (ras) Eropa, dan kenapa ke Timur sebab wilayahnya sebagian berada di Asia, Timur Jauh dan Pasifik. Bahasannya ialah, bahwa kenyataan geopolitik yang melekat pada Beruang Merah itu disadari serta disyukuri sebagai “takdir politik” yang mutlak dilakoni dalam penjalanan politik negara berbasis keunggulan geografi. Itulahgeopolitical leverage, dan ini pula riil posisi (awal) Rusia dalam mapping geopolitik global.

Sebagai pembanding, silahkan mencermati letak dan posisi strategis republik (Indonesia) di antara dua benua dan dua samudra. Secara fisik, seharusnya geostrategi dimaksud dapat dirancang sebagai geopolitical weapon bagi republik ini, seperti halnya Iran dengan senjata geopolitik Selat Hormuznya, atau semacam Terusan Suez di Mesir, Selat Malaka bagi Singapura, dan lain-lain.

Pemberdayaan geopolitical leverage adalah sarana paling strategis guna meningkatkan daya lenting dan posisi tawar Indonesia di forum global, apabila ditujukan ke negara-negara yang memiliki ketergantungan tinggi atas berbagai raw material, atau mempunyai pangsa pasar di Tanah Air, terutama bagi negara yang sangat ketergantungan terhadap perairan Indonesia. Tengoklah, berapa kapal dan tanker-tanker milik asing hilir mudik di Selat Lombok, Selat Sunda, dan alur-alur laut lainnya? Adakah mereka dikenakan aturan dan fee lintasan dengan membayar pakai rupiah, atau wajib mengibarkan bendera merah putih di kapalnya, atau jangan-jangan malah dibiarkan lewat gratis?

Pada kenyataan justru ditemui fakta sebaliknya, negeri Zamrud Khatulistiwa ini terjebak perangkap impor baik pangan, energi maupun (jerat) utang disana-sini. Ia terjerumus di lembah kolonisasi gaya baru. Pada gilirannya, timbul kondisi paradoxial yang sering saya ulang-ulang di beberapa artikel: “Betapa negeri agraris dengan curah hujan tinggi, kok impor jagung, kedelai? Ironi negara kelautan dengan pantai yang panjang, tetapi impor garam, ikan ? Katanya penghasil gas terbesar, kenapa kok impor gas?”.

Lebih jauh lagi, kenyataan sebagaimana diurai tadi merupakan pantulan cermin bahwa para elit dan pejabatnya sangat abai terhadap geopolitik negeri sendiri. Tatkala berkaca pada simbol Rusia, pertanyaan yang muncul adalah: kita ini melihat ke Barat, atau ke Timur sich, atau tak menoleh kemana-mana? Bagaimana akan kenal “diri” (bangsa dan negara)-nya, manakala “diri” pun enggan ditengok? Pada gilirannya, ia terlihat sendirian dalam kecamuk politik global. Tak punya pakta ekonomi semacam SCO, BRICS, dll juga tak pula ikut pakta pertahanan seperti NATO, ISAF, dll. Termangu di simpang jalan.

Kembali ke Rusia. Kemana ia akan melangkah dalam konstelasi geopolitical shift, silahkan menyimak falsafah “Kepentingan Nasional”-nya yang terjabar pada panggung hegemoni: “Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan”. Sekurang-kurangnya inilah hal yang dapat dipetik pada Rountable Discussion di GFI (25/4/2013).

Adapun breakdown atas pointers Kepentingan Nasional Rusia, terutama saat Vladimir Putin memegang tampuk kekuasaaan, antara lain ialah: (1) menjadikan dirinya sebagai peace conflict catalisator; (2) penyeimbang global; (3) keluar dari cengkraman AS dan sekutunya; (4) mengembalikan Rusia sebagai superpower. Dan tak bisa dielak memang, inilah kepak dan derap kaki Beruang Merah di panggung global. 

Tak heran bila beredar rumor, bahwa Putin tersinggung akibat “desakan” Pangeran Bandar bin Sultan, Kepala Intelijen Arab Saudi, agar menghentikan dukungannya terhadap rezim Syria dengan imbalan pembelian perlengkapan militer besar-besaran, dan jaminan terhadap kepentingan ekonomi Rusia di Timur Tengah. Dalam konteks ini, tampaknya Bandar bin Sultan “buta” tentang siapa kini Beruang Merah. Bukankah selain ia telah menjadi negara autarky (swasembada), net oil exporter, dalam pandangan Rusia, cengkraman atas geopolitic of pipeline dan geostrategi Syria adalah harga yang tak boleh ditawar?

Jika Putin melepas kendali atas Syria, ibarat secara cuma-cuma menyerahkan kedaulatan jalur pipa minyak dan gasnya kepada pihak asing, termasuk melemahkan sendiri derap kepentingan nasionalnya sebagai penyeimbang global dan peace conflict catasilator. Hal ini yang ‘tak terlihat’ oleh Bandar, Kepala intelijen Arab Saudi.

Maka berkaca dari geliat Rusia pada geopolitical shift, langkah pertama yang mutlak dikerjakan setiap bangsa ialah mengelola (how to manage) “takdir geopolitik” secara komprehensif integral. Tak boleh tidak. Abai akan geopolitik merupakan titik mula dari kehancuran sebuah bangsa. Ibarat orang yang tidak mengenal dirinya sendiri, bagaimana mau merebut kesempatan serta mengelola ancaman menjadi “peluang”, sedang kekuatan dan kelemahan diri sendiri tak dipahaminya?

Langkah kedua: merumuskan, mengenali (sosialisasi), dan memperjuangan setiap KEPENTINGAN NASIONAL-nya dalam kancah apapun, dimanapun dan sampai kapanpun. Manakala meyangkut Kepentingan Nasional, segenap elemen warga hendaknya SATU SUARA. Tak bisa tidak. Bukannya beraneka rupa sebagaimana sikap bangsa ini terkait penyadapan telepon beberapa petinggi negara oleh intelijen Australia.

Akhirnya, menyudahi artikel tak ilmiah ini, timbul pertanyaan tak terbendung: bagaimana implementasi dan analog “dua langkah” Rusia di Bumi Pertiwi ini? Jawabannya singkat: bangkitlah bangsaku! 

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

0 komentar

Write Down Your Responses