Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur ? (5/Habis)
Oleh. M. Arief Pranoto
Lautan (Asia) Pasifik: “Kawasan Masa Depan” bagi Amerika
Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times, menyatakan: “politik praktis itu bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat”. Tatkala Obama, terutama Leon Panetta ---sewaktu masih Menhan AS--- mengatakan akan menggeser 60% armada angkatan lautnya ke Asia Pasifik hingga tahun 2020, maka yang mereka maksud ialah (rencana) penguasaan Lautan Pasifik.
Tak bisa tidak. Itulah wilayah perairan seluas sepertiga bumi (179,7 juta km) atau 69,4 juta mil dengan panjang 15.500 km (9.600 mi), terdiri atas 25.000-an kepulauan yang majoritas terletak di selatan khatulistiwa. Ia membentang di antara Laut Sulawesi, Laut Korea, LAUT CINA TIMUR, Laut Jepun, LAUT CINA SELATAN, Laut Sulu, Laut Tasman, Laut Kuning, dan lain-lain. Dalam hal ini, Selat Malaka hanya merupakan celah menuju Lautan Hindia di sebelah barat, sedang Selat Magellan adalah akses penghubung antara Lautan Pasifik dan Lautan Atlantik di sebelah timur. Inilah mapping umum daripada Lautan Pasifik.
Selanjutnya kenapa Paman Sam mengalihkan mayoritas armada laut ke Pasifik, terbukti bagian strategi barunya di Asia, selain upaya "steady, deliberate" dalam rangka meningkatkan peran di suatu wilayah yang dianggap penting untuk masa depannya. Pada perkembangan selanjutnya, semakin tampak, bahwa Asia Pasifik memang dinilai sebagai “kawasan masa depan” bagi Paman Sam. Entah kenapa, besar kemungkinan karena faktor geopolitik.
Selanjutnya membahas geopolitik Asia Pasifik dan Timur Jauh, tidak boleh lepas dari tiga paradigma politik luar negeri yang berkembang. Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan ketiga, Asia Pasifik dan AS. Lalu, dimana Rusia berada?
Mari keluar sejenak namun masih koridor (topik) Asia Pasifik. Alasan Rusia menggelar KTT APEC di Vladivostok (2012), sesungguhnya merupakan strategi Beruang Merah membangun kembali kesadaran tradisi terhadap Asia Pasifik, terutama semenjak diterbitkan “Vladivostok Consensus”-nya Gorbachev dekade 1986-an dulu. Kenapa dipilih Vladivostok, selain karena geostrategi pada pintu masuk ke Asia Pasifik melalui lautan, Vladivostok itu sendiri, dalam bahasa Rusia artinya "menguasai timur", sama seperti nama Vladikavkaz di daerah pengunungan Kaukasus, yang berarti "menguasai Kaukasus". Tak boleh dielak, ini daerah memang digadang-gadang para pengambil kebijakan sebagai calon ibukota Rusia di Timur Jauh.
Ibukota Rusia ada di Moskow, tetapi pusat kekuasaan Rusia kuno sebenarnya di Ukraina dimana St Petersburg sebagai ibukota. Namun kelak, ibukota ekonomi terletak di Vladivostok. Itu sebabnya, mengapa momentum sebagai tuan rumah KTT APEC 2012 begitu diidam-idamankan para petinggi Rusia, karena pagelaran tersebut dianggap batu loncatan guna meraih hegemoni di bidang ekonomi dan perdagangan.
Kembali ke topik awal. Demikian pula agaknya di jalur pelayaran pada alur perairan Cina. Apabila Asia Pasifik diibaratkan sebuah rumah, maka Laut Cina Timur sebagai beranda depan ---semacam pintu masuk--- menuju Samudera Pasifik, sedangkan Laut Cina Selatan merupakan bagian ‘dalam’ (isi) rumah. Retorikanya: bukankah membuka pintu bisa dimaknai bakalan masuk ke dalam rumah sebagai tujuan? Ini penafsiran lain terkait penyikapan atas panasnya hubungan antara Jepang versus Negeri Tirai Bambu yang dipicu penetapan ADIZ-nya Cina di Senkaku/Diaoyu.
Meliuk lagi. Masih ingat doktrin Alfred Mahan? Dogma pakar kelautan AS tadi masih sangat disakralkan sampai sekarang oleh angkatan laut Paman Sam. Ini kredonya: “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Jujur harus diakui, bahwa implementasi doktrin tersebut telah optimal diterapkan oleh militer AS di kawasan tersebut. Adanya pangkalan militer AS terbesar Diego Garcia, di Kep Chargos; atau pangkalan milter di Pulau Socotra, pintu masuk ke Laut Merah; berdirinya USAFRICOM; atau cengkramannya terhadap wilayah tak bertuan di Somalia, dll, hampir semua infrastruktur militernya berjajar dan melingkar pada jalur perairan menuju Lautan Hindia, termasuk akses masuk dari Laut Cina Selatan melalui Selat Malaka pun bercokol pangkalan militer Paman Sam, dan lainnya.
Dalam hegemoni AS, menguasai perairan Cina (baik Laut Cina Timur maupun Cina Selatan), identik dengan menguasai dua jalur perairan strategis dunia yaitu Lautan Hindia dan Lautan Pasifik, karena akses penghubung kedua lautan tadi, yakni Selat Malaka pun telah bertengger pangkalan militer Amerika di Singapura, dan beberapa negara persemakmuran lainnya.
Pointers SimpulanMenyudahi tulisan sederhana ini, sekaligus menjawab judul: “Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?”, jawabannya singkat: “sangat mungkin sekali”. Ada beberapa pointers yang barangkali bisa dijadikan pertimbangan awal dalam membaca konstalasi geopolitik global kedepan. Inilah butirannya:
Pertama, kendati ada beberapa faktor penyebab mengapa geopolitical shift berubah dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik, bahwa Asia Pasifik memang dinilai sebagai “masa depan” Paman Sam, itulah alasan dan faktor utama;
Kedua, dalam hegemoni AS, entah Laut Cina Timur atau Laut Cina Selatan, itu sama saja ---satu tarikan nafas--- oleh karena tujuan pokok pergeseran geopolitik ialah melenggangkan cengkraman armada lautnya di perairan Cina hingga ke Lautan Hindia melalui pintu Selat Malaka;
Ketiga, jika Laut Cina Timur dijadikan titik proxy war, bagi AS, peristiwa tersebut seperti mengulang modus “utang dibayar bom” yang pernah ia terapkan di Libya, karena pada titik dimaksud niscaya bakal berhadapan Cina versus Jepang, dimana kedua negara justru pemegang surat utang terbesar milik Paman Sam;
Keempat, seirama dengan PNAC-nya Pentagon pada prolog catatan ini, bahwa mengendalikan jalur pelayaran di sepanjang Laut Cina, selain identik membendung gerak laju Cina, juga menguasai geopolitiknya. Artinya menjadi pengendali jalur pelayaran dan mencaplok SDA di wilayah tersebut. Dengan demikian, asumsi geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik, terutama di Laut Cina (Timur dan Selatan) ialah keniscayaan yang tak terelakkan.
Wait and see!
Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times, menyatakan: “politik praktis itu bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat”. Tatkala Obama, terutama Leon Panetta ---sewaktu masih Menhan AS--- mengatakan akan menggeser 60% armada angkatan lautnya ke Asia Pasifik hingga tahun 2020, maka yang mereka maksud ialah (rencana) penguasaan Lautan Pasifik.
Tak bisa tidak. Itulah wilayah perairan seluas sepertiga bumi (179,7 juta km) atau 69,4 juta mil dengan panjang 15.500 km (9.600 mi), terdiri atas 25.000-an kepulauan yang majoritas terletak di selatan khatulistiwa. Ia membentang di antara Laut Sulawesi, Laut Korea, LAUT CINA TIMUR, Laut Jepun, LAUT CINA SELATAN, Laut Sulu, Laut Tasman, Laut Kuning, dan lain-lain. Dalam hal ini, Selat Malaka hanya merupakan celah menuju Lautan Hindia di sebelah barat, sedang Selat Magellan adalah akses penghubung antara Lautan Pasifik dan Lautan Atlantik di sebelah timur. Inilah mapping umum daripada Lautan Pasifik.
Selanjutnya kenapa Paman Sam mengalihkan mayoritas armada laut ke Pasifik, terbukti bagian strategi barunya di Asia, selain upaya "steady, deliberate" dalam rangka meningkatkan peran di suatu wilayah yang dianggap penting untuk masa depannya. Pada perkembangan selanjutnya, semakin tampak, bahwa Asia Pasifik memang dinilai sebagai “kawasan masa depan” bagi Paman Sam. Entah kenapa, besar kemungkinan karena faktor geopolitik.
Selanjutnya membahas geopolitik Asia Pasifik dan Timur Jauh, tidak boleh lepas dari tiga paradigma politik luar negeri yang berkembang. Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan ketiga, Asia Pasifik dan AS. Lalu, dimana Rusia berada?
Mari keluar sejenak namun masih koridor (topik) Asia Pasifik. Alasan Rusia menggelar KTT APEC di Vladivostok (2012), sesungguhnya merupakan strategi Beruang Merah membangun kembali kesadaran tradisi terhadap Asia Pasifik, terutama semenjak diterbitkan “Vladivostok Consensus”-nya Gorbachev dekade 1986-an dulu. Kenapa dipilih Vladivostok, selain karena geostrategi pada pintu masuk ke Asia Pasifik melalui lautan, Vladivostok itu sendiri, dalam bahasa Rusia artinya "menguasai timur", sama seperti nama Vladikavkaz di daerah pengunungan Kaukasus, yang berarti "menguasai Kaukasus". Tak boleh dielak, ini daerah memang digadang-gadang para pengambil kebijakan sebagai calon ibukota Rusia di Timur Jauh.
Ibukota Rusia ada di Moskow, tetapi pusat kekuasaan Rusia kuno sebenarnya di Ukraina dimana St Petersburg sebagai ibukota. Namun kelak, ibukota ekonomi terletak di Vladivostok. Itu sebabnya, mengapa momentum sebagai tuan rumah KTT APEC 2012 begitu diidam-idamankan para petinggi Rusia, karena pagelaran tersebut dianggap batu loncatan guna meraih hegemoni di bidang ekonomi dan perdagangan.
Kembali ke topik awal. Demikian pula agaknya di jalur pelayaran pada alur perairan Cina. Apabila Asia Pasifik diibaratkan sebuah rumah, maka Laut Cina Timur sebagai beranda depan ---semacam pintu masuk--- menuju Samudera Pasifik, sedangkan Laut Cina Selatan merupakan bagian ‘dalam’ (isi) rumah. Retorikanya: bukankah membuka pintu bisa dimaknai bakalan masuk ke dalam rumah sebagai tujuan? Ini penafsiran lain terkait penyikapan atas panasnya hubungan antara Jepang versus Negeri Tirai Bambu yang dipicu penetapan ADIZ-nya Cina di Senkaku/Diaoyu.
Meliuk lagi. Masih ingat doktrin Alfred Mahan? Dogma pakar kelautan AS tadi masih sangat disakralkan sampai sekarang oleh angkatan laut Paman Sam. Ini kredonya: “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Jujur harus diakui, bahwa implementasi doktrin tersebut telah optimal diterapkan oleh militer AS di kawasan tersebut. Adanya pangkalan militer AS terbesar Diego Garcia, di Kep Chargos; atau pangkalan milter di Pulau Socotra, pintu masuk ke Laut Merah; berdirinya USAFRICOM; atau cengkramannya terhadap wilayah tak bertuan di Somalia, dll, hampir semua infrastruktur militernya berjajar dan melingkar pada jalur perairan menuju Lautan Hindia, termasuk akses masuk dari Laut Cina Selatan melalui Selat Malaka pun bercokol pangkalan militer Paman Sam, dan lainnya.
Dalam hegemoni AS, menguasai perairan Cina (baik Laut Cina Timur maupun Cina Selatan), identik dengan menguasai dua jalur perairan strategis dunia yaitu Lautan Hindia dan Lautan Pasifik, karena akses penghubung kedua lautan tadi, yakni Selat Malaka pun telah bertengger pangkalan militer Amerika di Singapura, dan beberapa negara persemakmuran lainnya.
Pointers SimpulanMenyudahi tulisan sederhana ini, sekaligus menjawab judul: “Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur?”, jawabannya singkat: “sangat mungkin sekali”. Ada beberapa pointers yang barangkali bisa dijadikan pertimbangan awal dalam membaca konstalasi geopolitik global kedepan. Inilah butirannya:
Pertama, kendati ada beberapa faktor penyebab mengapa geopolitical shift berubah dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik, bahwa Asia Pasifik memang dinilai sebagai “masa depan” Paman Sam, itulah alasan dan faktor utama;
Kedua, dalam hegemoni AS, entah Laut Cina Timur atau Laut Cina Selatan, itu sama saja ---satu tarikan nafas--- oleh karena tujuan pokok pergeseran geopolitik ialah melenggangkan cengkraman armada lautnya di perairan Cina hingga ke Lautan Hindia melalui pintu Selat Malaka;
Ketiga, jika Laut Cina Timur dijadikan titik proxy war, bagi AS, peristiwa tersebut seperti mengulang modus “utang dibayar bom” yang pernah ia terapkan di Libya, karena pada titik dimaksud niscaya bakal berhadapan Cina versus Jepang, dimana kedua negara justru pemegang surat utang terbesar milik Paman Sam;
Keempat, seirama dengan PNAC-nya Pentagon pada prolog catatan ini, bahwa mengendalikan jalur pelayaran di sepanjang Laut Cina, selain identik membendung gerak laju Cina, juga menguasai geopolitiknya. Artinya menjadi pengendali jalur pelayaran dan mencaplok SDA di wilayah tersebut. Dengan demikian, asumsi geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik, terutama di Laut Cina (Timur dan Selatan) ialah keniscayaan yang tak terelakkan.
Wait and see!
0 komentar
Write Down Your Responses