Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur ? (Bag-3)

Oleh. M. Arief Pranoto

Implementasi Asumsi GFI dan KENARI
Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa memanasnya suhu politik beberapa negara di sekitar perairan Cina, selain tak lepas akibat “isue” dan “tema” yang ditebar (asymmetric strategy)kolonialisme Barat terkait geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik, juga silahkan simak rumusan GFI, Jakarta (2013), pimpinan Hendrajit, perihal garis besar konflik-konflik yang terjadi di dunia. Inilah asumsinya:

“Bahwa mapping konflik dari kolonisasi yang dikembangkan oleh Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”.

Demikian pula sesi-sesi diskusi di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI), Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan, kerapkali memetik pointers yang hampir identik dengan rumusan GFI di atas, yaitu: “conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow”.

Bila mencermati konflik-konflik di Tanah Air, lalu mencoba menselaraskan dengan asumsi GFI dan KENARI, bahwa penanganan konflik oleh Tim Terpadu baik di pusat maupun daerah oleh Kementerian Polhukam selaku leading sector, seyogyianya tak cuma mengkedepankan model penanganan dan pengelolaan konflik atas hal-hal yang timbul di permukaan semata, namun wajib mencermati secara jeli what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.

Ada asumsi lagi: “konflik lokal merupakan bagian konflik global”. Artinya, konflik di suatu kawasan bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, tetapi seringkali merupakan bagian dari skema besar para adidaya. Maka meramu beberapa asumsi di atas, seyogyianya Tim Terpadu harus mengantongi jawaban atas pertanyaan: adakah kepentingan geopolitik asing terkait minyak, emas, gas bumi, dan/atau bagaimana upaya pihak luar menguasai geostrategi kawasan tertentu di Bumi Pertiwi?

Konflik Sampang contohnya, jangan cuma dilihat dari sisi pertentangan budaya antara Syiah-Sunni yang dipenuhi virus takfiri (mengkafir-kafirkan kelompok lain), aroma sektarian, bener e dewe, dan lain-lain. Tim Terpadu hendaknya menelusur hingga ke dasar masalah di hulu persoalan --- bukannya akar persoalan di permukaan (hilir) saja. Adakah geopolitik Madura cq Sampang terkait kepentingan asing; berapa perusahaan luar beroperasi dan adakah persaingan di antara mereka sendiri; bagaimana pola perluasan area suatu perusahaan jika rencananya menabrak lokasi kelompok tertentu yang mutlak harus ‘diungsikan’? Atau pada wilayah konflik lain baik di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dll mutlak harus dipertanyakan dahulu: adakah potensi SDA-nya; bagaimana leverage geostrategi kawasan tersebut dari perspektif geopolitik global? Sekali lagi, conflict is protection oil flow!

Asumsi GFI dan KENARI jelas menyiratkan makna, bahwa konflik manapun yang meletus di “jalur basah”, kuat indikasi ia diciptakan terkait kepentingan geopolitik para adidaya. Sudah tentu, hal ini selain pararel dengan kajian Deep Stoat (if you would understand world geopolitic today, follow the oil), juga sebenarnya tergantung insight (menyelam)-nya survey serta ketajaman Tim dalam menganalisa untuk mengurai masalah, lalu menyelesaikan konflik yang muncul secara tuntas.

Lihatlah ethnic cleansing di Rohingya, Myanmar; tengoklah bentrokan antar suku di Balinuraga, Lampung; cermati benturan antara Syiah-Sunni di Madura, dst kenapa selalu dipicu oleh pola yang sama yaitu pelecehan seksual, berlanjut bentrok massa dan selalu berujung program relokasi penduduk (‘terusir’) yang hidup di atasnya. Sejauh ini, adakah kajian menyelam hingga di bawah permukaan?

Geopolitical Leverage
Untuk daya lenting, kemanfaatan atau leverage sebuah geopolitik yang layak disimak ialah kedahsyatan Papua dari aspek geostrategi. Catatan kecil dalam Perang Dunia (PD) ke-2 mengajarkan, bahwa ia memiliki nilai strategis bagi militer AS. Masa-masa PD dahulu, letak dan “posisi geografis”-nya sangat mendukung taktik lompat katak (leap frog)-nya Jenderal Douglas MacArthur, Panglima AS, sehingga dalam PD mampu unggul daripada tentara Jepang. Inilah kedahsyatan geopolitical leverage jika dimaksimalkan. Termasuk dalam hal ini ialah Selat Hormuz di Iran, Selat Malaka bagi Singapura, atau mungkin juga Selat Sunda, Selat Lombok, dll. Kendati untuk dua Selat terakhir (Selat Sunda dan Lombok) masih “terlantar“, artinya selama ini tak pernah diberdayakan oleh para pengambil kebijakan di republik ini guna kepentingan yang lebih besar.

Dengan demikian, telah bisa dibaca bahwa hasrat Barat (AS dan sekutu) terhadap Papua selain kepentingan what lies beneath the surface (hal-hal terkandung di bawah permukaan) juga tak kalah penting ialah penguasaan geostrategy position dalam konstelasi geopolitik global. Tampaknya, Paman Sam ingin mengulang kembali kesuksesan PD ke-2 apabila geopolitical shift yang tengah berlangsung bermuara serta berubah menjadi perang (militer) secara terbuka.

Kembali ke Laut Cina Selatan. Entah siapa memulai, siapa duluan memancing. Ketegangan politik di perairan Asia Pasifik terpantau hampir memuncak. Retorika pun muncul: apakah penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) oleh Negeri Tirai Bambu di Kep Diaoyu atau Senkaku ---kepulauan sengketa--- ujud dari ‘kegenitan’ Cina ingin segera tampil menjadi superpower? Atau insiden kecil tanggal 5 Desember 2013 di Laut Cina Selatan, dimana Kapal USS Cowpens (mengabaikan peringatan) menerobos tempat latihan Armada Laut Cina merupakan isyarat, bahwa Paman Sam pun sejatinya ingin cepat-cepat bertempur? 

(Bersambung Bag-4)

0 komentar

Write Down Your Responses