Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia (Bag-3)
Oleh. M. Arief Pranoto
Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik (Bag-3)
Edward Snowden = False Flag
Pada dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit (silahkan dibaca: “Edward Snowden dan Model-Model Operasi Bendera Palsu”; “Tebaran Isue Snowden Bikin ‘Panas’ Suhu Politik”; dan beberapa analisa lain tentang Edward Snowden, Julian Assange dan WikiLeaks di situs www.theglobal-review.com) menyebut, bahwa aktivitas Snowden merupakan kelanjutan false flag operation Paman Sam cq Julian Assange melalui kendaraan WikiLeaks.
False flag operation atau operasi bendera palsu ialah operasi rahasia yang dilakukan oleh suatu negara, pemerintah tertentu, perusahaan, atau organisasi lain, dirancang untuk menipu publik sedemikian rupa bahwa peristiwa yang muncul seolah-olah dilakukan entitas lain (pihak musuh/lawan), padahal untuk kepentingan sendiri. Semacam deception atau penyesatan. Kegiatan ini dapat dilakukan tidak terbatas dalam masa perang dan kontra-pemberontakan saja, tetapi juga bisa dikerjakan pada masa damai. Tergantung situasi. Itukah penjelasan sekilas false flag operation. Seolah-lah bekerja sama dengan kita padahal demi kepentingan musuh!
Dan agaknya, kharakter topik keduanya baik tebaran isue oleh Assange maupun Snowden memiliki watak sama yakni adu domba (devide et impera). Intinya selain menimbulkan gonjang-gonjing perpolitikan global, yang utama adalah menciptakan kondisi "saling tidak percaya" serta kegaduhan, baik kegaduhan sosial di internal negeri yang ditarget maupun kisruh politik di antara negara-negara. Lebih janggal lagi, media-media massa malah menggebyarkan 'kepahlawanan' keduanya, padahal seharusnya justru merupakan tamparan bagi insan-insan media karena telah mengambil alih tugas dan perannya, serta cermin atas kemalasan jurnalisme (lazy journalism).
‘Musim semi Arab’ atau Arab Spring misalnya, jelas akibat isue provokatif yang ditebar oleh Assange plus WikiLeaksnya via propaganda media mainstream (arus utama) secara gegap gempita. Tak boleh dielak, bahan-bahan dasar isue dimaksud memang riil nyata, baik bahan isue korupsi, pemimpin tirani, isue tidak demokratis, dll. Maka timbulah ketidak-percayaan rakyat terhadap para elit dan pemerintahan di negara-negara sepanjang Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara). Muncul benih-benih kegaduhan sosial politik di beberapa negara tersebut.
Dalam kajian asymmetric warfare, peran WikiLeaks sebenarnya hanya sekedar organ pengusung “isue” saja, sedang yang mengawaki “tema” lain lagi lembaganya. Dalam Arab Spring di Jalur Sutera misalnya, tema kolonial berupa gerakan massa tidak lagi dikendalikan oleh WikiLeaks, tetapi oleh Central Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS). Ia merupakan kepanjangan tangan National Endowment for Democracy (NED), LSM milik Pentagon spesial ganti rezim (lebih lengkap, baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review, dan banyak lagi artikel lainnya).
Ya, “skema” Barat di Jalur Sutera adalah tata ulang kekuasaan sebagai pintu masuk dalam rangka penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA-nya. Dan pada pagelaran Arab Spring,meskipun terlihat sukses menjatuhkan Abdullah Saleh di Yaman, Ben Ali di Tunisia, Mobarak di Mesir, dan lainnya, akan tetapi gagal menerjang Libya, Syria, dan lainnya dikarenakan selain model kepemimpinan Moamar Gaddafi dan Bashar al Assad yang berani dan independen, adanya dukungan kuat dari rakyatnya, juga kedua negara tersebut tergolong makmur serta rakyatnya sulit diprovokasi melalui isue-isue kacangan.
Akhirnya, gagal memprovokasi rakyat (Arab Spring), Barat mengubah atau menaikkan kadar serangan asimetris menjadi “pemberontakan bersenjata” atau perang sipil, baik di Libya maupun di Syria (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria diwww.theglobal-review.com). Ini hanya sekedar contoh. Catatan tambahan disini, bahwa isue Assange pun ternyata gagal pula memprovokasi antara Cina versus Korut, juga tak mempan mengadu domba antara Saudi Arabia melawan Iran.
Kembali ke Snowden, perannya ternyata tak berbeda dengan Julian Assange. Ia hanya sebatas penebar isue yang berwatak devide et impera. Misalnya, membakar benih kebencian rakyat untuk dihadapkan dengan para elit politik serta para pejabat negara dimaksud melalui isue-isue korupsi, tidak demokratis, dll di internal negeri, atau mengadu domba antara para pihak yang berkepentingan.
Pertanyaan menggelitik muncul, jika tebaran isue Snowden dalam telaah asymmetric warfare hanya permulaan belaka, lalu apa “tema” dan “skema” yang hendak ditancap di Bumi Pertiwi oleh Paman Sam, si pemilik hajatan?
0 komentar
Write Down Your Responses