Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia (Bag-1)
Oleh. M. Arief Pranoto
Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik (Bag-1)
Latar belakang tulisan ini sesungguhnya keprihatinan, betapa banyak anak bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia masih tidak ‘satu suara’ dalam menyikapi ketegangan hubungan antara Indonesia – Australia (Aussie) akibat isue penyadapan intelijen Aussie terhadap beberapa petinggi Republik Indonesia (RI). Negara manapun di muka bumi, bila ‘disentuh' atau diganggu perihal "Kepentingan Nasional"-nya niscaya meradang, mengamuk, melawan dll, mungkin sudah menjadi kodrat alam. Apalagi jika yang disentuh perihal Kepentingan Nasional UTAMA seperti harga diri bangsa, kedaulatan negara dan sejenisnya. Maka sebagai konsekuensi logis, selayaknya segenap elemen bangsanya mutlak harus SATU SUARA, bukannya bermacam-macam suara.
Tetapi entah kenapa, tak sedikit tokoh-tokoh, para elit politik, kaum akademisi, kalangan awam, dll justru “berwarna-warni” dalam menyikapi peristiwa tidak beradab tersebut. Ada yang pro dan kontra.
Penyadapan percakapan telepon Presiden, Ibu Negara, Wakil Presiden, dan beberapa Menteri RI sungguh melanggar etika diplomatik dan pakem apapun. Aksi intelijen tak senonoh oleh Aussie di era modern kini, justru semakin diperparah oleh sikap Perdana Menteri (PM) Tony Abbot yang cuma menyesalkan peristiwa tersebut tanpa permintaan maaf secara resmi. Benar-benar pongah!
Apa boleh buat. Tulisan ini memang tidak akan mengkaji “warna-warni” pendapat di internal negeri, tak juga membahas ausignares orang Aussie yang menggambaran karakter bebal, angkuh dan senang mencuri informasi untuk menaikkan posisi tawar dalam kerja sama. Memang dalam konteks politis, sikap ausignares cenderung mengekspresikan naluri pemberontakan dari kaum keturunan kriminalis yang tidak butuh simpati. Bukankah keberadaan bangsa Aussie diawali 26 Januari 1788-an ketika 11 kapal merapat di Sydney Harbour menurunkan 1.500 orang narapidana? Termasuk seperlima penjahat lelaki yang hidup di bawah ancaman kekerasan seksual. Agaknya hingga kini, dalam beberapa kasus sepertinya mereka bangga dan mempertahankan watak sebagai keturunan kaum yang mudah datang, mudah pergi, kaum yang sedikit tinggi, sedikit rendah. Kaum yang mudah membunuh dengan pistol menyalak, dan bahagia ketika musuh sudah tewas!
Sekali lagi, tulisan ini tak hendak membahas fakta-fakta “menyedihkan” di atas. Penulis menjauh dari gaduh kepentingan serta hiruk-pikuk persepsi, mencoba menyelam lebih dalam, lalu berusaha menguak hidden agenda dibalik tebaran isue-isue Edward Snowden, dalam hal ini ---dari sisi intelijen--- covernya mantan kontraktor National Security Agency(NSA), Amerika Serikat (AS).
Alasan pokok kenapa geopolitik dijadikan pisau bedah (perspektif) guna mengurai artikel ini, oleh karena geopolitik merupakan ilmu tua yang mampu mengintegrasikan semua hakikat keilmuan, karena di atas geo itulah seluruh permasalahan manusia diselesaikan. Manakala abai terhadap geopolitik, hal itu merupakan titik awal dan sumber bencana bagi ilmu-ilmu (politik) yang ada.
Ya. Geo itu bahasa Inggris, arti Indonesianya adalah bumi, tanah, dan seterusnya. Ia adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan angin serta merupakan asal-usul manusia (Adam) dulu. Dimanapun geo, seharusnya tak hanya mengantar manusia atau bangsa pada gerbang kemerdekaan tetapi lebih jauh lagi yakni membentuk bangsa dan negara yang hidup di atasnya bermartabat di dunia.
Memahami geopolitik itu tidak usyah rumit-rumit seperti “Teori Ruang”-nya Friederich Ratzel (1844 - 1904); atau “Teori Kekuatan”-nya Rudolf Kjellen (1864 - 1922); “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869 - 1946); atau teori Sir Halford Mackinder (1861 - 1947) tentang Heartland (Jantung Dunia); atau tak perlu secanggih “Teori Kekuatan Maritim”-nya Sir Walter Raleigh (1554 - 1618) dan Alfred T. Mahan (1840 - 1914). Sederhanakan! Atau “bumi”-kan teori-teori tersebut biar tidak sekedar di awang-awang.
Implementasi geopolitik menurut Panglima Besar Soedirman adalah: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947). Kemudian Bung Karno menyebut “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik” (1965). Pak Harto dahulu sering menyatakan: “.. kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara” (1967).
Sedang menurut Dirgo D. Purbo, dosen pasca sarjana Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia sekaligus pakar perminyakan Indonesia menyebut bahwa wawasan nusantara merupakan agenda kepentingan nasional Republik Indonesia (2003). Sederhana ‘kan?
Geopolitik meniscayakan orang belajar tentang realitas dan hakikat materi serta non materi. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas dari kedua dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non materi), sementara ilmu dan filsafat membentang dalam spektrum di atas permukaan. Dengan demikian geopolitik sebagai ilmu dan kenyataan hidup, umurnya sudah setua bumi bahkan seuzur kehidupan manusia itu sendiri.
Di era modern, geopolitik suatu bangsa sering didangkalkan bahkan dinihilkan dengan doktrin-doktrin global seperti kebebasan, demokrasi, profesionalisme, globalisasi, HAM dan lainnya. Ia dituduh sebagai aliran pemikiran bidang pertahanan, dianggap hanya sekedar domain militer belaka. Inti tujuannya mungkin agar tercitra bahwa geopolitik kini sudah tidak relevan lagi di era globalisasi, terutama bagi fungsi atau institusi non militer.
Teori Machinder, Guilford, Rudolf Kjellen dan lainnya tentang geopolitik sebenarnya hanya “meramu” atau mapping kawasan berbasis potensi pertambangan, padahal dari aspek histori ilmu, geopolitik adalah realitas politik semenjak Adam turun ke bumi. Perselisihan antara Habil dan Qabil pada awal kehidupan dahulu merupakan contoh realitas politik yang tak boleh dipungkiri siapapun. Bahkan segala bentuk peperangan di era Fir’aun, atau sejak zaman Babylonia, Romawi, Perang Dunia, atau kerusuhan sosial politik di berbagai negara baik konflik vertikal maupun horizontal serta kolonialisme gaya baru di masa kini, disebabkan karena kepentingan geopolitik. Contoh aktual ialah Syria. Negeri ini meskipun tak kaya minyak seperti Lybia, Irak, atau Arab Saudi namun diperebutkan berbagai adidaya dunia semata-mata karena geopolitic of pipeline serta geostrategic position. Dengan demikian, kalimat pamungkas tentang geopolitik sebenarnya sederhana sekali, yaitu: “Jalankan politik berbasis keuniqan geografis”.
0 komentar
Write Down Your Responses