Mencermati Blunder PM Erdogan dari Perspektif Geopolitik

Oleh. M. Arief Pranoto

Kiprah Perdana Menteri (PM) Recep Tayyib Erdogan di Turki bersama partai Adalet ve Kalkinma Partisi/ Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dekade 2010-an kebawah, sebenarnya relatif berhasil dalam percaturan politik. Pertanyaan kenapa demikian, oleh karena selain kebijakannya bersifat komprehensif, artinya tak terdikotomi oleh polarisasi global juga ia lebih menekankan soft power berkenaan dengan pembangunan politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. 

Setidaknya “langkah” Erdogan kala itu mampu mematahkan tesis Samuel P Huntington yang menganggap Islam sebagai ancaman. Menurut Huntington, pasca Perang Dingin yang ditandai runtuhnya Uni Sovyet, persoalan ideologi yang sebelumnya kental mewarnai konflik global niscaya berproses dan berganti menjadi “benturan peradaban”. Dalam konteks ini yang saling berhadapan ialah peradaban Islam versus Barat. Terkait pecahnya dinamika (internal) politik para elit Turki seolah-olah ia berada di ujung tanduk, sebab sebagian elit lebih condong ke Barat namun banyak pula yang dekat dengan Timur Tengah. Itulah sepintas ramalan Huntington.

Akan tetapi, justru inilah keunggulan "a double-gravity state" –-istilah Philip Robins--- geopolitik Turki. Artinya ia bisa menjalin dua jaringan secara bersamaan, misalnya bersahabat dengan komunitas Atlantik Eropa di satu sisi, juga dekat dengan para tetangga di Timur Tengah pada sisi lain. Kebijakan ini melahirkan dua aksiologi. Pertama ialah prinsip non-intervensi terhadap negeri negara lain. Kedua zero problems with neighbours. Hal ini hampir mirip “kebijakan non ideologis” Putin yang terbukti eksis berselancar di antara kelompok negara yang saling bertikai di Dunia Arab. Tak boleh dipungkiri, Rusia menjalin hubungan dengan Israel namun juga berkawan dekat dengan Iran, Syria bahkan Hamas yang secara ideologis bertentangan dengan Israel. Demikian pula Turki, tampaknya ia mampu merangkul potensi ancaman di Timur Tengah, Asia, Balkan dan Trans Caucasus menjadi partner strategis melalui dialog secara komprehensif guna menciptakan keamanan dunia.

Agaknya Erdogan memainkan geopolitical leverage, selain berbasis banyak keunggulan seperti geografi yang strategis, aspek budaya, juga memanfaatkan kuatnya pengaruh masa lalu sebagai sarana interaksi pada kancah internasional. Rangkaian kebijakan tersebut memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan politik di Turki. Turki semakin erat dengan negara tetangga yang dianggap saingan baik dari Uni Eropa (UE), Rusia, maupun beberapa negara di Timur Tengah seperti Iran dan Suriah, bahkan ia juga menjalin hubungan dengan wilayah otonomi Kurdi di Irak.

Hubungan dengan Rusia dan Timur Tengah misalnya, berhasil meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi. Total ekspornya ke Timur Tengah meningkat menjadi 20% (2009) dibanding sebelumnya hanya 12,5% (2004). Perdagangan dengan Iran naik 6 kali lipat mencapai 7,5 Miliar USD (2007), dengan Suriah meningkat dari 1,1 Miliar USD (2007) menjadi 1,4 Miliar USD (2008), dan lain-lain.

Takdir geopolitik sebagai jalur penghubung aliran gas dan minyak dari Timur Tengah ke Eropa pun dimanfaatkan secara maksimal. Gara-gara “takdir” ini Turki mempunyai pengaruh kuat atas UE dalam hal pasokan gas dan minyak. Sebenarnya ini merupakan embrio gas weapon Turki atas jajaran UE, sebagaimana cara Rusia mengendalikan Eropa Timur karena 100% pasokan gas-nya bergantung dari Beruang Merah.

Kemudian dari sisi militer pun cukup mencengangkan. Menurut The Stockholm Peace Research Institute (SIPRI) mengestimasi pengeluaran anggaran sekitar 20 Miliar USD, atau 2,2% dari GDP(Gross Domestic Product) –nya. Inilah budget militer terbesar kedua di NATO setelah Amerika Serikat (AS).

Ketika negara-negara Eropa tertimpa krisis ekonomi tahun 2009, GDP Turki justru melesat dari 589 Milliar USD (2000) menjadi 991 Miliar USD (2008) dan merupakan pendapatan ke 16 terbesar dunia dan masuk dalam negara G-20. Kepulihan ekonomi Turki pasca krisis 2008-2009 dinilai cepat dengan angka pertumbuhan 5%.

Implementasi politik luar negeri Turki ---cerminan politik dalam negeri--- sebagaimana diurai di atas dengan beberapa negara sekitarnya semakin kokoh dan mandiri, bahkan ia dianggap sebagai negara yang memiliki power signifikan di kawasannya. Tetapi itu dahulu. Sekali lagi, itu dulu! Kini sudah tidak lagi. Kenapa?

Sekurang-kurangnya dekade 2011-an ke atas, entah faktor ‘tekanan’ Barat atau atas kajian thing tank internal, Erdogan dinilai telah membuka “kotak pandora” yang justru menjadikan Turki seperti terkucil di kawasan. Pandora dan blunder itu berupa kesalahan perhitungan (miscalculation) pada langkah politik yang diambilnya. Antara lain:

Pertama, ia sendiri melanggar kebijakan luar negerinya dan ikut intervensi urusan dalam negeri negara lain. Dalam konflik Syria contohnya, ia menyatakan bahwa Bashar al-Assad saatnya turun sebagai Presiden atas desakan "demokrasi" rakyat. Statement ini menjadi penyebab “panas”-nya hubungan antara Turki dengan beberapa negara sekutu Assad seperti Rusia, Cina, Irak, Iran, Hizbullah dan lain-lain. Mulanya ia berharap, bahwa manuver ini akan semakin mengokohkan perannya sebagai negara pro-demokrasi agar meningkat kredibilitas Turki di mata negara-negara pengusung demokrasi Barat. Namun justru inilah titik tolak miscalculation. Betapa selama ini Erdogan menganggap dirinya sebagai kepala negara yang mampu mengharmonisasikan Islam dan demokrasi, tetapi akhirnya terjatuh dalam jebakan imperialisme/kapitalisme AS, UE dan Israel terutama terkait konflik di Syria.

Kedua, manakala ia memutuskan wilayah perbatasan Turki-Syria (Kota Hakari) sebagai tempat pelatihan para pemberontak Syria, ini membuat Turki malah dianggap bukan pendukung demokrasi melainkan mendukung terorisme, oleh sebab gerakan "demokrasi" di Syria dibajak oleh Jabah al Nusra (al-Qaeda) yang motifnya sekedar sektarian. Terlihat ia hanya sekedar pion daripada kepentingan Barat. 

Ketiga, kebijakan membuka kembali kerjasama dengan Israel pasca permintaan maaf Israel atas kasus Mavi Marmara (serangan pasukan Israel di kapal bantuan Turki untuk Palestina). Tak boleh disangkal, langkah politik ini telah mengecewakan negara-negara Timur Tengah dan kelompok Islamis di Turki.

Selanjutnya selain ketiga langkah gegabah di atas, yang utama ialah sikap arogan akibat sukses atau keberhasilan di bidang ekonomi dan politik di kawasan. Ia mulai otoriter dan merasa berhak mengatur rakyat Turki semaunya. Hal ini membuat internal elit dan rakyat Turki membenci, termasuk sekutu (Barat) terdekat Turki, seperti AS dan UE pun mulai mengkritik berbagai kebijakan represif Erdogan terhadap para demonstran.

Agaknya mengentalnya ‘kebencian’ baik dari sisi internal maupun eksternal terhadap kiprah Erdogan dipicu oleh hasrat mulia untuk membangun kembali (fisik) nilai-nilai kejayaan Dinasti Utsmaniyah dahulu. Diduga golongan internal yang kurang suka atas kebijakan tersebut berasal dari kelompok Kemalis (sekuler), sedangkan dari sisi eksternal bisa dipastikan ialah Barat bersama "kaki-kaki"nya di Turki sendiri. Intinya, mereka tidak ingin nilai-nilai Utsmaniah tempodoeloe bersemayam lagi di hati rakyat. Romantisme kekhalifahan Utsmani kemungkinan besar dinilai oleh Barat sebagai potensi spirit bangsa Turki kembali pada jati diri kedigdayaan melalui sistem Islamiah, tanpa via sitem demokrasi ala Barat selama ini. Sudah barang tentu, fenomena ini merupakan ancaman bagi kepentingan Barat kelak di kemudian hari. 

Kasus Taman Gezi misalnya, yakni pembangunan replika barak militer Utsmani yang dahulu dihancurkan oleh Kemal Attaturk dekade 1940-an, rencana dipadu pembangunan pusat perbelanjaan sebagai simbol kemakmuran ekonomi juga pendirian pemukiman elite --- dijadikan sebagai isue sentral dan pintu masuk bagi perlawanan rakyat atas kepemimpinan PM Erdogan. Kenapa demikian, karena Gezi dan kawasan Taksim sejatinya representasi dari simbol hegemoni sekularisme (kaum Kemalis). Maka tatkala ia harus ditata ulang atau dirombak untuk mewakili rezim Erdogan dan AKP yang Islamis, mungkin dianggap Barat sebagai ancaman karena selama ini justru diuntungkan dengan “ideologi sekuler” yang diterapkan dalam sistem pemerintahan di Turki.

Dengan demikian, diluar ketiga langkah gegabah PM Erdogan tadi, apakah miscalculationkebijakan politik terutama pembangunan fisik nilai-nilai Utsmaniah di Turki merupakan sisi lain dari “Kebangkitan Islam” sebagaimana kini bersemi di Jazirah Arab, atau memang murni blunderpolitik?

)* Data-data dipungut dari berbagai sumber

0 komentar

Write Down Your Responses