Prosa-prosa yang hendak dilupakan

Oleh. Iswadi Pratama

I
Kita memang pernah berjumpa di kapal itu, kapal yang sampai sekarang tak kita ingat namanya. Memang ada yang kucatat, tapi itu cuma jadwal berangkat dan pluit larat yang kita lupakan setelah beberapa saat.

Di palka, bulan tak terlihat. Hanya gelap mengambang. Gelap yang seperti lubang maha besar darimana kita sempat melihat getar bintang; sebentar lalu pudar. Dan kita berharap ada semacam kerlip cahaya serupa pada sesak dada kita. Dada yang apabila malam menggemakan suara semua rahasia seperti lautan nun di bawah sana. Kadang kita meminta juga menunggu ada seorang yang berkenan menemani, mendengarkan suara-suara itu. Kita sebenarnya ingin sekali suara-suara itu segera menjelma ribuan pisau; mempersembahkan luka dan darah. Dan kita mereguk anggur dari setip kulit jengat yang tersayat hingga mabuk dan menjadi pengembara paling jalang.

Genap satu jam kapal menjauh dari dermaga yang masih menyimpan sisa lambaian dari tangan yang tak pernah tampak wujudnya. Kita belum juga rampung membereskan ihwal perasaan. Memilah-milah apa yang menyimpan harapan atu cuma kenangan yang kelewat cengeng dan melumpuhkan. Kedua matamu masih seperti ungu yang berkilauan; menduga-duga batas pantai dan aku perlahan-lahan mulai percaya bahwa engkaulah hasrat yang tak pernah terucap dalam setiap doa juga dosa. Membuatku menjadi pejalan kaki yang fakir belaka.

II
Engkaupun mulai bercerita tentang perasaan tergetar terhadap sesuatu yang sebentar; seperti sebuah firman dihunjamkan dari segala yang biasa. Membuatmu seperti tiba-tiba terbangun dari tidur menahun. Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri, saatnya sendiri, resah-risau tersendiri. Dan air matamu semacam salam selamat datang untuk semua itu.

Yang pernah menangis akan terisak lagi pada saat seperti ini, yang telahdiabaikan akan berharap kembali dalam situasi seperti ini. Ketika sedih dan bahagia tak punya beda, ketika hatimu menjelma prisma dimana setiap pendosa sepertiku mendapat maaf dan restu.

III
Apabila aku tak pernah memintamu untuk sekali saja tinggal dan bertahan menghadapi waktu bersamaku, bukan karena telah kutemukan satu arah yang kukuh. Melainkan karena aku tak ingin sepi yang mengutukku juga membelenggumu.

Kita memang pernah duduk di sebuah beranda menyaksikan sore tergesa, berlarian di sebuah lapangan desa menyisakan asam di ketiak kanak-kanak.

Kau menghidangkn kopi tapi tak berkata-kata, kedua pipimu lembab seperti bunga-bunga leli di pot tanah liat. Lenganmu tidak putih dan acap gemetar seperti 9 tahun yang lalu. Tapi itu semua peristiwa yang terlalu biasa bukan? Aku tak memeluk, apalagi menciummu. Engkau tak menyandarkan kepala di bahu ringkihku. Semua hal istimewa yang bisa dibayangkan dalam asmara tak ada pada kita. Bahkan cinta, mungkin memang ada, tapi tak sempat memberikan apa-apa. Barangkali juga bukan tak sempat melainkan tak mungkin.

Apabila aku tak memintamu kembali ketika kau berpamitan pergi itu lantaran kedua matamu telah menangisi sesuatu yang hanya dijumpai di lubuk paling sunyi.

Maafkanlah aku, karena akhirnya harus menuliskan semua ini. Jiwaku hanyalah sebuah wilayah gelap dan telah menjadi terang karena mencintaimu. Aku telah berada di tempat tertinggi dari semua puncak. Di mana jurang terdalam telah dengan sabar menantiku. Apabila kau mengabaikanku, itulah saatnya akau akan terjatuh dan menjadi rela kerenamu.


0 komentar

Write Down Your Responses